I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam suatu bahasa, makna
kata saling berhubungan, hubungan ini disebut relaksi makna. Relasi makna dapat
berwujud bermacam-macam. Dalam setiap bahasa termasuk bahasa Indonesia,
seringkali kita temukan adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara
sebuah kata atau satuan bahasa lainya dengan kata satuan bahasa lainnya.
Relasi makna adalah hubungan
semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa
lainnya. Satuan bahasa dapat berupa kata frase
maupun kalimat; dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna.
Pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna atau juga kelebihan
makna. Relasi makna biasanya dibicarakan masalah-masalah yang disebut sinonim,
antonim, polisemi, homonimi, hiponimi, ambiguiti, dan redundansi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah, yakni:
1.
Apakah definisi relasi makna?
2.
Apakah bagian relasi makna?
C. Tujuan
Berdasarka rumusan masalah di atas, maka penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1.
Mendeskripsikan tetang relasi
makna
2.
Memahami pembagian relasi
makna.
D. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini yakni untuk
menambah khazanah pengetahuan pembaca tentang relasi makna dan pembagiannya.
II
RELASI MAKNA
Relasi makna adalah hubungan kebermaknaan antara sebuah kata
atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya. Hubungan
kebermaknaan mungkin menyangkut hal kesamaan makna, kebalikan makna, kegandaan
makna, ketercakupan makna dan sebagainya.
A.
Sinonimi
Verhaar (1978) mendefiniskan sinonim sebagai ungkapan
(berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna
ungkapan lain.
Misal:
- buruk dan jelek
- bunga dan kembang
- bapak dan ayah
Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat
dua arah. Misalnya bunga besinonim
dengan kembang, maka kembang bersinonim dengan bunga. Makna dua buah kata yang
bersinonim tidak pernah mempunyai makna yang sama persis, mutlak atau simetris.
Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris tidak ada dalam perbendaharaan
kata dalam bahasa Indonesia. Hal itu disebabkan oleh faktor-faktor sebagai
berikut:
1. Waktu
Misalnya kata hulubalang dan
komandan merupakan dua buah kata yang bersinonim tetapi karena faktor waktu,
maka kedua kata tersebut tidak bisa dipertukarkan. Hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno, sedangkan komandan cocok untuk situasi masa kini.
2. Tempat atau daerah
Misalnya kata saya
dan beta merupakan dua kata yang
bersinonim , tetapi kedua kata tersebut tidak dapat dipertukarkan. Beta hanya cocok digunakan dalam konteks
pemakaian bahasa Indonesia timur (Maluku).
3. Sosial
Misalnya aku dan saya adalah dua buah kata yang
bersinonim, teapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya dan tidak
digunakan kepada orang yang lebih tua atau status sosialnya lebih tinggi.
4. Bidang Kegiatan
Misalnya kata tasawuf,
kebatinan, dan mistik adalah tiga
buah kata yang bersionim. Namun kata tasawuf
hanya lazim dalam agama islam, kebatinan
untuk yang bukan islam dan mistik
untuk semua agama.
5. Nuansa Makna
Misalnya kata-kata melihat,
melirik, melotot, meninjau, atau mengintip
adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat bisa digunakan secara umum,
tetapi kata melirik hanya digunakan
untuk menyatakan melihat dengan sudut mata, melolot
hanya digunakan dengan mata terbuka lebar, meninjau
hanya digunakan hanya dugunakan hanya dugunakan untuk menyatakan melihat dari
tempat yang jauh.
Dalam bahasa Indonesia selain kata yang mempunyai sinonim
ternyata terdapat satuan lain yang juga mempunyai sinonim, satuan-satuan
tersebut adalah:
1. Sinonim antara morfem (bebas) dengan
morfem (terikat)
Misalnya dia dengan nya,
saya dengan ku
a) Minta bantuan dia
Minta bantuannya
b) Bukan teman saya
Bukan temanku
2. Sinonim antara kata denga kata
Misalnya mati
dengan meninggal, buruk dengan
jelek, dsb.
3. Sinonim antara kata dengan frase
atau sebaliknya
Misalnya meninggal
dengan tutup usia, pencuri dengan tamu tak diundang
4. Sinonim antara frase dengan frase
Misalnya
ayah ibu, dengan orang tua
5. Sinonim antara kalimat dengan
kalimat
Misalnya adik
menendang bola dengan bola ditendang
adik
Beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam sinonim bahasa Indonesia
-
tidak semua kata dalam bahasa Indonesia memiliki sinonim
-
kata-kata bersinonim
pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Mislanya kata benar dan betul, tetapi kata kebenaran
dan kebetulan tidak bersinonim.
-
ada kata-kata yang yang dalam arti sebenarnya tidak
mempunyai sinonim, tetapi dalam arti kiasan justru mempunyai sinonim, misalnya
kata hitam dalam arti sebenarnya
tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti kiasan hitam bersnonim dengan gelap,
mesum, buruk, jahat dsb.
B.
Antonimi atau Oposisi
Verhaar (1978) mendefinisikan antonimi adalah ungkapan (bisa berupa
kata, tetapi dapat juga berbentuk frase, atau kalimat) yang maknanya dianggap
kebalikan dari makna ungkapan lain. Mislanya kata bagus berartonim dengan kata
buruk, besar dengan kecil, membeli dengan menjual dsb. Hubungan makna antara
dua buah kata yang berantonimi bersifat dua arah. Jadi kalau bagus berantonim
dengan buruk maka buruk berantonim dengan bagus.
Antonim
disbut juga dengan istilah lawan kata,
lawan makna atau oposisi.
Berdasarkan
sifatnya oposisi dapat dibedakan menjadi:
1. Oposisi Mutlak
Terdapat
perlawanan makna yang mutlak. Misalnya antara hidup dengan mati terdapat batas
yang mutlak, sebab sesuatu yang hidup pasti tidak mati, dan sesuatu yang mati
pasti tidak hidup.
2. Oposisi Kutub
Makna
kata-kata yang termasuk oposisi kutub ini pertentanganya tidak bersifat mutlak,
melainkan bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada
kata-kata tersebut, misalnya kata kaya dan miskin, terdapat tingkatan pada kata
tersebut misalnya agak kaya, cukup kaya, sangat kaya dan paling kaya
begitu juga dengan kata miskin.
Kata-kata
yang berasoiasi kutub ini umumnya berasal dari kelas kata adjektif, misalnya jauh-dekat, panjang-pendek, tinggi-rendah
dsb.
3. Oposisi Hubungan
Makna
kata-kata yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi.
Artinya kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain yang menjadi
oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada.
Misalnya
kata menjual beroposisi dengan membeli, suami degan istri.
Kata-kata yang beropsosisi hubungan ini bisa berupa kata-kata kerja seperti
maju-mundur, pulang-pergi, pasang-surut, belajar-mengajar atau berupa
kata benda misalnya ayah-ibu, buruh-majikan, guru-murid dsb.
4. Oposisi Hierarkial
Makna
kata kata yang beroposisi hierakrial ini menyatakan suatu deret jenjang atau
tindakan. Oleh karena itu kata-kata yang beroposisi hierarkial ini adalah
kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang dan isi), nama satuan
hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan dan sebagainya. Misal meter beroposisi dengan kilometer karena beraada dalam satuan
yang menyakatan panjang. Kuintal beroposisi dengan ton karena keduanya berada dalam satuan ukuran yang menyatakan
berat.
5. Oposisi Majemuk
Dalam
bahasa Indonesia ada beberapa kata yang beropsisi dengan lebih dari satu kata.
Mislanya kata berdiri bisa beroposisi dengan kata duduk, berbaring,berjongkok
dsb. Misalnya kata diam beroposisi dengan berbicara,
bergerak, dan bekerja.
Tidak
semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai antonim atau oposisi. Misalnya mobil, rumput, monyet dsb.
C.
Homonimi, Homofoni, dan Homograf
1. Homonimi
Verhaar
(1978) mendefiniskan homonimi sebagai ungkapan
(berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain
tetapi maknanya tidak sama. Widjono (2012: 138) menyatakan bahwa homonim
berasal dari bahasa homo berarti
sama dan nym berarti nama. Homonim dapat diartikan sama nama, sama bunyi,
sebunyi, tetapi berbeda makna.
Misal:
bisa
yang bermakna racun ular dan bisa yang bermakna sanggup. Ada dua sebab
kemungkinan terjadinya homonimi yaitu:
a. Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu
berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya bisa yang berati racun
berasal dari bahasa Melayu, sedangkan bisa yang berarti sanggup berasal dari
bahasa Jawa.
b. Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu
terjadi sebagai hasil proses morfologis. Mislanya mengukur dalam kalimat. Ibu mengukur
kelapa di dapur, adalah berhomonim pada kalimat ayah mengukur luasnya halaman
rumah kami.
Homonimi juga terjadi pada tataran
morfem, kata, frase, dan kalimat
- Homonimi antarmorfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya. Mislanya morfem –nya pada kalimat, ini buku saya, itu bukumu dan dan yang disana bukunya berhomonim dengan –nya pada kalimat mau belajar tapi bukunya tidak ada.
- Homonimi antarkata misalnya bisa yang bermakna sanggup dan bisa yang bermakna racun ular. Semi yang bermakna tunas dan semi yang bermakna setengah.
- Hominimi antarfrase, misalnya antara frase cinta anak yang bermakan cita seorang anak kepada orang tuanya dengan cinta anak yang bermakna cinta orang tua kepada anaknya. lukisan saya yang bermakna lukisan karya saya, lukisan milik saya atau lukisan wajah saya.
- Homonimi antarkalimat misalnya istri lurah yang baru itu cantik yang bermakna lurah yang baru dilantik itu mempunyai istri yang cantik, dengan lurah itu baru saja menikah dengan seorang wanita cantik.
2. Homofoni
Homofoni berasal dari dua kata yaitu
kata homo yang bermakna sama dan fon yang bermakna bunyi, jadi homofoni adalah kata-kata yang mempunyai
bentuk yang berbeda, maknanya berbeda tetapi mempunyai bunyi yang sama. Misal: kata bang dengan bank. Bank adalah lembaga yang mengurus lalu
lintas uang, sedangkan bang berasal
dari abang yang bermakna kakak laki-laki. Sangsi
dengan sanksi, sangsi yang bermakna
ragu dengan sanksi yang bermakna akibat atau konsekuensi.
3. Homografi
Homografi secara etimologi beras
dari kata homo yang bermakna sama
dengan graf yang bermakna tulisan,
jadi homografi adalah kata-kata
mempunyai tulisan yang sama tetapi bunyi dan maknanya berbeda. Misalnya teras dengan teras, teras yang pertama
dilafalkan tǝras bermakna inti kayu dan teras yang kedua dilafalkan teras
yang bermakna bagian dari rumah. Apel
dengan apel, apel yang pertama dilafalkan apěl
yang bermakna upacara dan apel yang
dilafalkan apɛl yang bermakna buah apel.
D.
Hiponimi dan Hipernimi
1. Hiponimi
Verhaar (1978:137) hiponim adalah ungkapan biasanya berupa
kata, tetapi kiranya dapat beupa frase atau kalimat) yang maknanya dianggap
merupakan bagian dari makna suatu
ungkapan lain. Misalnya gurame adalah
hiponim dari ikan. Sebab makna gurame
termasuk dalam makna kata ikan. Gurame memang ikan tetapi bukan hanya gurami
yang termasuk juga bandeng, tenggiri,
salmon, mujair, cakalang, teri, mas dan sebagainya. Hubungan antara gurame, teri, cakalang dan ikan –kan
lain disebut hubungan kohiponim. Jadi gurame berkohiponim dengan tenggiri,
bandeng dan sebagainya.
Hubungan hiponim ini hanya bersifat satu arah, artinya
hiponim dari bandeng adalah ikan, tetapi ikan tidak berhiponim dengan bandeng melainkan ikan berhipernim
dengan bandeng.
2. Hipernimi
Konsep hipernimi adalah kebalikan
dari konsep hiponimi. Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas
bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna
kata lainnya. Oleh karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan
hipernim dari sebuah kata merupakan hipernim dari kata lainnya, akan menjadi
hiponim terhadap kata lain yang hierarkial di atasnya.
Misal: kata mahluk berhipernim dengan manusia
dan binatang tetapi binatang berhipernim juga dengan ikan, kambing, monyet, gajah dan
sebagainya, ikan berhipernim juga
dengan gurame, tongkol, bandeng dan
sebagainya. Disamping istilah hiponimi dan hipernimi terdapat istilah lain
yaitu meronimi. Kedua istilah ini mengadung konsep yang hampir sama.
Bedanya kalau hiponimi menyatakan adanya kata (unsur leksikal) yang maknanya
berada di bawah makna kata lain, sedangkan meronimi menyatakan adanya kata
(unsur leksikal) yang merupakan bagian bagian dari kata lain. Misalnya ikan mempunyai bagian-bagian tubuh,
kepala, sirip, ekor, ingsang, sisik, dan sebagainya maka bisa dikatakan bahwa
meronimi dari ikan adalah kepala, sirip, ekor, ingsang, sisik dan
sebagainya.
E.
Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata,
frase) yang memiliki makna lebih dari satu.
Misal: kata kepala dalam bahasa Indonesia
memiliki makna:
- Bagian tubuh dari leher ke atas (seperti terdapat pada manusia dan hewan)
- Bagian dari sesuatu yang terletak di bagian atas atau depan yang merupakan bagian yang penting (kepala Ketera api, kepala meja).
- Bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat (kepala paku, kepla jarum)
- Pemimpin atau ketua (kepala sekolah, kepala kantor)
- Jiwa orang seperti dalam kalimat “setiap kepala menerima bantuan RP. 5000.000”
- Akal budi seperti dalam kalimat “ badanya besar tetapi kepalanya kosong”.
Konsep polisemi hampir sama dengan konsep homonimi.
Perbedaanya adalah homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata atau
lebih yang kebetulan maknanya sama. Tentu saja homonimi itu bukan sebuah kata
maka maknanya pun berbeda. Makna kata
pada homonimi tidak ada kaitannya atau hubungannya sama sekali antara yang satu
dengan yang lainnya. Sedangkan polisemi
adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu, makna kata pada
polisemi masih ada hubungannya antara makna yang satu dengan yang lain karen memang
kembangkan dari komponen-komponen makna kata-kata tersebut.
F.
Ambiguitas
Ambiguitas adalah ketaksaan sering diartikan sebagai kata
yang bermakna ganda atau mendua arti. Pengertian ambiguitas hampir sama dengan
pengertain polisemi. Perbedaanya terletak pada kegandaan makna dalam polisemi
dari kata, sedangkan kegandaan makna pada ambiguitas berasal dari satuan yang
lebih besar yaitu frase atau kalimat dan terjadi akibat penafsiran struktur
gramatikal yang berbeda.
Misal:
buku sejarah
baru dapat
ditasfirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu berisi sejarah zaman baru
Pengertian ambiguitas hampir sama dengan homonimi.
Perbedaanya terletak pada apabila homonimi dilihat sebagai bentuk yang
kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah
sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya
penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Ambiguitas hanya terjadi pada
tataran frase dann kalimat sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan
gramatikal.
G.
Redundansi
Istilah redundansi sering diartikan sebagai berlebih-lebihan
pemakaian unsur segemental dalam suatu bentuk ujaran.
Misal:
bola ditendang udin dengan bola ditendang oleh si udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua
tersebut dianggap sebagai sesuatu yang redundasi, yang berlebihan dan
sebenarnya tidak perlu.
III
PENUTUP
A. Simpulan
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat
antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan
bahasa dapat berupa kata frase maupun kalimat; dan relasi semantik itu dapat
menyatakan kesamaan makna. Pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan
makna atau juga kelebihan makna. Relasi makna biasanya dibicarakan
masalah-masalah yang disebut sinonim, antonim, polisemi, homonimi, hiponimi,
ambiguiti, dan redundansi.
DAFTAR PUSTAKA
Hs, Widjono. 2012. Bahasa Indonesia: Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Grasindo.
bagus mkalahnya tapi sayang nggak bisa di copas jadi kurang dehh
BalasHapusboleh di copy mbak, tapi gak bisa
BalasHapus