BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Iklan selalu hidup dan berada kapan saja dan di mana saja
dalam kehidupan kita. Bentuk iklan yang terpublikasi ke media bersandar pada
bahasa verbal yang tertulis dan tercetak. Kekuatan utama iklan terletak
pada bahasa, gambar, serta penggarapan kreatif tata letaknya. Setiap pengiklan
selalu menginginkan agar produk yang dipromosikan laku. Efek langsung dan cepat
terhadap penjualan menjadi salah satu ukuran keberhasilan iklan. (Siminto,
2004) mengatakan sebuah iklan diciptakan dengan memperhitungkan secara cermat
aspek keberterimaan oleh masyarakat umum.
Berbagai jenis layanan telah hadir di Indonesia. Tentu saja
media promosi yang digunakan adalah media untuk menyakinkan konsumen. Perusahaan menawarkan beragam keunggulan dalam mencari
pelanggan mereka. Beragam keunggulan yang ditawarkan oleh perusahaan disampaikan melalui bahasa. Bahasa yang
memikat dengan pilihan kata yang kreatif selalu dimanfaatkan dalam menjaring konsumen.
Bahasa yang dipergunakan dalam iklan di media massa dan
elektronik seringkali tidak sesuai dengan kaidah bahasa yang baik dan benar. Iklan
memerlukan tampilan yang dikemas dengan bahasa membumi, kontekstual, dan
‘gaul’. Kondisi ini yang menyebabkan adanya keprihatinan pada banyak kalangan.
Ada yang berpendapat bahwa bahasa iklan tidak mesti sesuai dengan kaidah bahasa
Indonesia yang baik dan benar, tetapi belum ada kriteria bagaimana sebaiknya
bahasa iklan tersebut.
Sebagai bagian dari pengungkapan ide, iklan harus memiliki kesatuan atau keutuhan wacana
atau tulisan yang dapat mencerminkan ide yang diungkapkan oleh penulis sehingga informasi atau hal-hal yang ingin
diungkapkan dapat dimengerti dengan mudah oleh masyarakat dari berbagai latar
belakang.
Suatu wacana dituntut
memiiki keutuhan struktur. Keutuhan dibangun oleh komponen-komponen yang
terjalin di dalam sutau organisasi kewacanaan (Mulyana, 2005: 25). Keutuhan
tulisan dapat mencakup kohesi, koherensi, dan unsur-unsur gramatikal yang ada di dalam tulisan. Kohesi dan koherensi merupakan bagian yang harus ada di dalam
suatu tulisan yang dapat menjadikan
tulisan yang dibaca bermakna atau memiliki ide atau informasi yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca.
Selain kohesi dan koherensi, di dalam suatu tulisan juga harus memperhatikan unsur
gramatikal, seperti: referensi, subtitusi, elipsis, paralelisme, dan konjungsi.
Masing-masing pembuat iklan mengungkapkan secara intens
karakteristik model iklan dalam bahasa tuturan yang secara semantik memiliki
pertentangan arti. Segala kemungkinan bentuk desain iklan diekspresikan dengan
berbagai cara agar tercapai sasaran yang akan dituju. Iklan tidak muncul tanpa
hambatan. Kaidah-kaidah, norma-norma, peraturan yang berlaku tertulis atau
tidak tertulis, ikut memaksa para kreator periklanan untuk lebih berkreasi di
tengah hiruk-pikuk persaingan ide dan gagasan.
Tidak semua audiens
atau pemirsa dapat memahami makna kontekstual dari setiap slogan iklan yang ditayangkan
pada layar televisi. Kesulitan audiens untuk
memahami secara kontekstual slogan-slogan yang digunakan di dalam iklan sedikit
banyak disebabkan karena orang sulit memahami bahasa dan struktur iklan.
Secara ringkas, tulisan ini akan memaparkan pilihan kata
yang digunakan dalam bahasa iklan. Penelaahan dapat ditentukan pola pilihan
kata dalam wacana iklan berbahasa Indonesia dan makna acuan yang terkandung
dalam wacana iklan berbahasa Indonesia. Tulisan ini adalan kajian singkat
terhadap iklan berbahasa Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
paparan di atas, rumusan masalah makalah ini sebagai
berikut.
1. Bagaimana struktur wacana iklan?
2. Bagaimana makna pilihan kata wacana
iklan?
C. Tujuan
Penelitian
Tujuan dalam
penelitian ini adalah untuk
dapat mendeskripsikan:
1.
Mendeskripsikan struktur
wacana iklan.
2.
Mendeskripsikan makna pilihan kata wacana iklan.
D. Manfaat
Penelitian
Hasil dari analisis ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis.
1. Manfaat teoretis, hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan
dan pengalaman baru bagi masyarakat dalam menganalisis wacana suatu iklan khususnya iklan ditinjau dari segi struktur wacana (baik kohesi, koheransi, dan unsur
gramatikal) serta
makna pilihan kata yang terdapat dalam dalam iklan .
2. Manfaat praktis yang dapat diambil dari analisis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
yang positif dalam bidang tulis-menulis agar memperhatikan keutuhan suatu
wacana dan
wacana kontekstual dalam iklan .
BAB II
KAJIAN TEORI
KAJIAN TEORI
A. Iklan
Kata iklan didefinisikan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia sebagai berita pesanan untuk mendorong, membujuk kepada
khalayak ramai tentang benda dan jasa yang ditawarkan; iklan dapat pula berarti
pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang dijual,
dipasang di dalam media massa seperti surat kabar dan majalah (KBBI:
322). Informasi melalui iklan dinilai berpengaruh langsung maupun tak langsung terhadap persepsi, pemahaman,
dan tingkah laku masyarakat (Darmawan, 2006).
Iklan memiliki fungsi untuk
menyebarkan informasi tentang penawaran suatu produk, gagasan atau jasa.
Keberadaan suatu barang atau jasa diketahui konsumen lewat iklan. Iklan
berusaha memberikan informasi tentang keunggulan, kelebihan, manfaat dan sifat
yang diberikan barang, jasa atau gagasan yang dimaksudkan atau dianjurkan. Di
sisi yang lain iklan merupakan alat persuasi agar konsumen membeli atau
menggunakan barang, jasa atau gagasan tersebut. Berbeda dengan sebuah berita
dalam suratkabar, iklan tidak sekedar menyampaikan informasi tentang suatu
benda atau jasa, tetapi mempunyai sifat "mendorong" dan
"membujuk" agar orang menyukai, memilih dan kemudian
membelinya. Dalam proses periklanan terjadi proses yang berkaitan dengan
disiplin psikologi; mulai dari tahap penyebaran informasi sebagai proses awal,
hingga ke tahap menggerakkan konsumen untuk membeli atau menggunakan jasa
adalah suatu proses psikologi. Iklan dapat dikatakan berhasil apabila mampu
menggerakan konsumen untuk pertama kali saat melihat penampilan iklan tersebut;
rangsangan visual dari penampilan iklan langsung mendapat perhatian dari
pemerhati. Proses berikut adalah hadirnya penilaian akhir terhadap isi atau pesan
dari iklan, dengan mempertimbangkan perasaan calon konsumen, yang memunculkan
tindakan atau sikap sesuai dengan penilaian akhirnya. Fenomena-fenomena
sosial-budaya seperti fashion, makanan, furniture, arsitektur, pariwisata,
mobil, barang-barang konsumer, seni, desain, dan iklan dapat dipahami
berdasarkan model bahasa (Yasraf Amir Piliang,1995: 27). Pragmatik merupakan
tataran yang ikut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa.
B. Analisis Wacana Kritis
Menurut Douglas dalam Mulyana (2005:
3), istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya
berkata, berucap. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi
wacana.
Kridalaksana dalam Yoce (2009: 69)
membahas bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirearki gramatikal
tertinggi dan merupakan satuan gramatikal yang tertinggi atau terbesar. Wacana
direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh, seperti novel, cerpen, atau
prosa dan puisi, seri ensiklopedi dan lain-lain serta paragraph, kalimat, frase,
dan kata yang membawa amanat lengkap. Jadi, wacana adalah unit linguistik yang
lebih besar dari kalimat atau klausa.
Menurut Kamus Linguistik Dewan
Bahasa dan Pustaka (1997) dalam Tengku Silvana Sinar (2008: 5), wacana
diterjemahkan sebagai discourse yaitu unit bahasa yang lengkap dan tertinggi
yang terdiri daripada deretan kata atau kalimat, sama ada dalam bentuk lisan
atau tulisan, yang dijadikan bahan analisis linguistik. Kata wacana berasal
dari kata vacana ‘bacaan’ dalam bahasa Sansekerta. Kata vacana itu kemudian
masuk ke dalam bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Baru wacana atau vacana atau’
bicara, kata, ucapan’. Kata wacana dalam bahasa baru itu kemudian diserap ke
dalam bahasa Indonesia menjadi wacana ‘ucapan, percakapan, kuliah’ (Poerwadarminta
1976: 1144).
Lukmana, Aziz dan Kosasih (2006: 12)
mengatakan bahwa analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) mempunyai
ciri yang berbeda dari analisis wacana yang bersifat “non-kritis”, yang
cenderung hanya mendeskripsikan struktur dari sebuah wacana. Analisis wacana
kritis (Critical Discourse Analysis) bertindak lebih jauh, diantaranya dengan
menggali alasan mengapa sebuah wacana memiliki struktur tertentu, yang pada
akhirnya akan berujung pada analisis hubungan sosial antara pihak-pihak yang tercakup
dalam wacana tersebut.
Analisis wacana kritis menyediakan
teori dan metode yang bisa digunakan untuk melakukan kajian empiris tentang
hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial dan kultural dalam
domain-domain sosial yang berbeda (Jorgensen dan Philips, 2007: 114). Tujuan
analisis wacana kritis adalah menjelaskan dimensi linguistik kewacanaan
fenomena sosial dan kultural dan proses perubahan dalam modernitas terkini
(Jorgensen dan Philips, 2007: 116).
Secara garis besar, dapat disimpulkan
pengertian wacana adalah satuan bahasa terlengkap daripada fonem, morfem, kata,
klausa, kalimat dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan,
yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau
tertulis ini dapat berupa ucapan lisan dan dapat juga berupa tulisan, tetapi
persyaratanya harus dalam satu rangkaian dan dibentuk oleh lebih dari sebuah
kalimat.
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai di dalam berbagai disiplin ilmu dengan berbagai pengertian.Titik singgung analisis wacana adalah studi yang berhubungan dengan pemakaian bahasa. Menurut A.S Hikam dalam Eriyanto (2001: 4) ada tiga paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa. Pertama, pandangan positivisme-empiris; kedua, pandangan konstruktivisme; dan ketiga pandangan kritis.
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai di dalam berbagai disiplin ilmu dengan berbagai pengertian.Titik singgung analisis wacana adalah studi yang berhubungan dengan pemakaian bahasa. Menurut A.S Hikam dalam Eriyanto (2001: 4) ada tiga paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa. Pertama, pandangan positivisme-empiris; kedua, pandangan konstruktivisme; dan ketiga pandangan kritis.
Dengan demikian, analisis wacana
kritis merupakan teori untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan
antara wacana dan perkembangan sosial budaya. Untuk menganalisis wacana, yang
salah satunya bisa dilihat dalam area linguistik dengan memperhatikan
kalimat-kalimat yang terdapat dalam teks (novel) bisa menggunakan teori
analisis wacana kritis. Teori analisis wacana kritis memiliki beberapa
karakteristik dan pendekatan.
C.
Hakikat Kohesi dan
Koherensi
Kohesi merupakan salah satu unsur pembentuk
teks yang penting. Menurut Mulyana (2005: 26) menyatakan bahwa kohesi dalam
wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk
ikatan sintaktikal. Kohesi wacana terbagi di dalam dua aspek, yaitu kohesi
gramatika dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal antara lain adalah referensi,
subtitusi, elipsis, konjungsi, sedangkan yang termasuk kohesi leksikal adalah
sinonimi, repetisi, kolokasi.
Sejalan
dengan pendapat di atas Yayat Sudaryat (2008: 151) menyatakan bahwa kohesi
merupakan aspek formal bahasa dalam organisasi sintaksis, wadah kalimat-kalimat
disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Sedangkan Abdul Rani,
Bustanul arifin, Martutik (2006: 88) menyatakan bahwa kohesi adalah hubungan
antarbagian dalam teks yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa. Oleh karena itu,
wacana dikatakan kohesif apabila terdapat kesesuaian bentuk bahasa baik dengan
ko-teks (situasi dalam bahasa) maupun konteks (situasi luar bahasa). Menurut H.
G. Tarigan (dalam Mulyana, 2005: 26) mengemukakan bahwa penelitian mengenai
kohesi menjadi bagian dari kajian aspek formal bahasa. Oleh karena itu,
organisasi dan struktur kewacanaanya juga berkonsentrasi dan bersifat sintaktik
gramatikal.
Brown
dan Yule (dalam Abdul Rani, dkk, 2006: 87) menyatakan bahwa unsur pembentuk
teks itulah yang membedakan sebuah rangkaian kalimat itu sebagai sebuah teks
atau bukan teks. Hal tersebut juga diperkuat lagi dengan pendapat Anton M.
Moeliono (dalam Sumarlam, dkk, 2009: 173) bahwa kohesi merupakan hubungan semantik
atau hubungan makna antara unsur-unsur di dalm teks dan unsur-unsur lain yang
penting untuk menafsirkan atau menginterpretasikan teks; pertautan logis
antarkejadian atau makna-makna di dalamnya; keserasian hubungan antara unsur
yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian
yang apik.
Berdasarkan pendapat tersebut telah diperkuat dan disimpulkan oleh Mulyana (2005:31) bahwa hubungan koherensi merupakan sutau rangkaian fakta
dan gagasan yang teratur yang tersusun secara logis.
D.
Hakikat Unsur
Gramatikal
1. Referensi
Menurut
Yayat Sudaryat (2008:153) menyatakan bahwa referensi atau pengacuan merupakan
hubungan antara kata dengan acuan. Kata-kata yang berfungis sebagai pengacu
disebut deiksis sedangkan unsur-unsur yang diacu disebut antesede. Diperkuat
dengan pendapat Mulyana (2005: 27) juga menyatakan bahwa referensi (penunjukan)
merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kelompok kata untuk menunjuk kata atau
kelompok kata atau satuan gramatikal lainnya.
2.
Subtitusi
Harimurti Kridalaksana (dalam Mulyana,
2005:28) menyatakan bahwa subtitusi (penggantian) adalah proses dan hasil
penggantian oleh unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar.
Penggantian dilakukan untuk memperoleh unsur pembeda atau menjelaskan strukur
tertentu. Proses subtitusi merupakan hubungan gramatikal, dan lebih bersifat
hubungan kata dan makna. Sejalan dengan pendapat tersebut Yayat Sudaryat (2008:
154) menyatakan bahwa substitusi mengacu pada penggantian kata-kata dengan kata lain. Subtitusi
mirip dengan referensi. Perbedaannya, referensi merupakan hubungan makna sedangkan subtitusi merupakan
hubungan leksikan atau gramatikal.
3.
Elipsis
Yayat
Sudaryat (2008: 155) mengemukakan
elipsis merupakan
penghilangan satu bagian dari unsur kalimat. Sebenarnya ellipsis sama dengan
subtitusi, tetapi ellipsis disubtitusi oleh sesuatu yang kosong. Elipsis
biasanya dilakuakn dengan menghilangkan unsur-unsur wacana yang telah
disebutkan sebelumnya. Sedangkan pendapat harimurti Kridalaksana (dalam
Mulyana, 2005:280 elipsis (penghilangan/pelesapan) adalah proses penghilangan
kata atau sataun-satuan kebahasaan lain.
4.
Paralelisme
Menurut
Yayat Sudaryat (2008: 155) paralelisme merupakan pemakaian unsur-unsur
gramatikal yang sederajat. Hubungan antara unsur-unsur itu dituturkan langsung
tanpa konjungsi.
5.
Konjungsi
Harimurti
Kridalaksana dan H. G. Tarigan dalam (Mulyana, 2005: 29) menyatakan bahwa konjungsi
atau kata sambung adalah bentuk atau satuan kebahasaan yang berfungsi sebagai
penyambung, perangkai, atau penghubung angtara kata dengan kata, frasa dengan
frasa, kalusa dengan klausa, kalimat dengan kalimat dan seterusnya.
E.
Analisis Konteks
Untuk membentuk wacana
yang baik dan padu tidak cukup hanya mengandalkan hubungan kohesi. Menurut Cook
(dalam Abdul Rani, dkk, 2006:
872) menyatakan bahwa penggunaan alat kohesi itu memang penting untuk membentuk
wacana yang utuh, tetapi tidak cukup meggunakan penanda katon tersebut. Ada
faktor lain seperti relevansi dan faktor tekstual luar (extratextual factor) yang ikut menentukan keutuhan wacana.
Kesesuaian antara teks dan dunia nyata dapat membantu menciptakan suatu kondisi
untuk membantuk wacana yang utuh. Faktor lain seperti pengetahuan budaya yang
juga membantu dalam menciptakan koherensi teks.
Konteks adalah sesuatu yang menjadi
sarana untuk memperjelas suatu maksud. Sarana yang dimaksud ialah bagian
ekspresi yang mendukung kejelasan maksud dan situasi yang berhubungan dengan
suatu kejadian. Konteks memiliki peranan yang sangat esensial untuk menafsirkan
makna yang terkandung baik dalam wacana lisan maupun wacana tulisan. Pendapat
Mey (2001: 39) bahwa konteks merupakan konsep yang dinamis dan bukan konsep
yang statis. Konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur, yaitu situasi,
pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat,
kode, saluran (Hasan Alwi 1998:421).
Hymes (dalam Mulyana, 2005: 23) mengemukakan bahwa konteks
dalam wacana dibentuk dari delapan unsur seperti yang terdapat dalam setiap
komunikasi bahasa. Hymes menyebut kedelapan unsur tersebut di atas dalam
akronim SPEAKING.
S :
setting and scene, yaitu latar dan
suasana. Latar (setting) lebih
bersifat fisik, yang meliputi tempat dan waktu terjadinya tuturan. Scene adalah
latar psikis yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang menyertai
peristiwa tuturan.
P :
participants, peserta tuturan, yaitu
orang-orang yang terlibat dalam percakapan, baik langsung maupun tidak
langsung. Hal-hal yang berkaitan dengan partisipan, seperti usia, latar
belakang sosial, pendidikan dan sebagainya juga menjadi perhatian.
E :
ends, hasil, yaitu hasil atau
tanggapan dari suatu pembicaraan yang memang diharapkan oleh penutur (ends as outcomes), dan tujuan akhir (ends in view goals).
A :
act sequences, pesan atau amanat,
terdiri dari bentuk pesan (message form)
dan isi pesan (message content).
K :
key, meliputi cara, nada, sikap atau
semangat dalam melakukan percakapan. Semangat percakapan misalnya akrab, santai
dan serius.
I :
instrumentaities atau sarana, yaitu
sarana percakapan. Maksudnya dengan media apa percakapan tersebut disampaikan,
misalnya dengan cara lisan, tertulis, surat, televisi dan sebagainya.
N :
norm, atau norma, menunjuk pada norma
atau aturan yang membatasi percakapan. Misalnya apa yang boleh dibicarakan dan
tidak, bagaimana cara membicarakanny: halus, kasar, jorok dan sebagainya.
G :
genres, atau jenis, yaitu jenis atau bentuk wacana. Hal ini langsung menunjuk
pada jenis wacana yang.
BAB III
PEMBAHASAN
Bahasa yang memikat dengan pilihan
kata yang kreatif selalu dimanfaatkan oleh perusahaan dalam menjaring pengguna layanan. Artinya,
ada makna yang terkandung dalam setiap bahasa yang disampaikan dalam
slogan tersebut sehingga setiap pilihan
kata yang dipakai oleh perusahaan penyedia jasa, memiliki makna yang ingin
disampaikan dan mencerminkan karakter dari setiap perusahaan jasa. Oleh sebab
itu, dengan semakin beragamnya produk yang ada di Indonesia menimbulkan
persaingan guna mendapatkan hati penggunanya.
A.
Struktur Wacana Iklan
Mie Sedap
Transkripsi
Iklan Mie Sedap:
(1) Mei
sedap siapa yang suka
(2) Mie
sedap semuanya suka
(3) Mie
sedap siapa yang suka
(4) Yang
suka kita semua
(5) Sotonya
Siapa yang suka
(6) Harumnya
siapa yang suka
(7) Sedapnya
siapa yang suka
(8) Dari
lidah turun ke hati
(9) Fantastis,
siap , terpercaya
(10)
Yang kuah, goreng, dan
karinya
(11)
Pelopor inovasi rasa
(12)
Semua puas sedapnya
1.
Struktur
Teks
Iklan
mie sedap ini terdiri dari kalimat-kalimat pertanyaan-pertanyaan yang
menggunakan kata tanya siapa yang tidak diletakkan di awal kalimat pertanyaan.
Kalimat tanya yang dimaksud terdapat pada data (1), (3), (5), (6), (7). Kalimat
tanya di data (1) direspons di data (2), kalimat tanya di data (3) direspons di
data (4). Kalimat tanya di data (5), (6), dan (7) tidak direspons sebab hanya
merupakan repetisi atau pengulangan. Kalimat di data (1), (2), dan (3) juga
menggunakan gaya bahasa pengulangan (repetisi). Pengulangan diksi mie sedap secara beruntun di setiap awal
kalimat pada data (1), (2), dan (3) dan diksi siapa yang suka di setiap akhir kalimat pada data (5), (6), dan (7)
sebagai penegasan terhadap apa yang ingin disampaikan. Pada data (1), (2), dan
(3) ditegaskan tentang mie sedap sedangkan pada data (5), (6), dan (7)
ditegaskan siapa yang suka pada semua kelebihan-kelebihan dari mie (soto,
harum, dan sedap). Data (9) menggunakan majas elipsis yang menghilangkan unsur
subjek (mie sedap) apa yang dimaksudkan
fantastis, siap, terpercaya.
Dari transkripsi teks iklan mie sedap, kebanyakan data tidak
mengandung koherensi antarkalimat satu dengan lainnya. Kalimat pertama tidak
berhubungan dengan kalimat selanjutnya meskipun di beberapa kalimat menggunakan
repetisi (pengulangan). Di antara semua data
yang saling berhubungan hanya data (3) dan (4) dimana kalimat data (4)
merupakan respons dari kalimat tanya di data (3).
2.
Analisis
Semantik
(1)
Mei sedap siapa yang
suka
Data
(1) merupakan ajakan untuk menyukai mie sedap yang disimbolkan dengan
pertanyaan.
(2)
Mie sedap semuanya suka
Data
(2) menggambarkan bahwa mie sedap disukai oleh semua orang, semua kalangan,
semua jenjang usia dan cocok dikonsumsi di mana saja untuk kondisi apapun
(pesta, rekreasi, rumahan, bekal, dan lain-lain).
(3)
Mie sedap siapa yang
suka
Data
(3) merupakan perulangan dari data (1) yang juga mempunyai makna yang sama
dengan data (1).
(4)
Yang suka kita semua
Data
(4) merupakan sugesti yang diberikan oleh pencipta lirik (teks kalimat 4)
kepada semua pembaca atau pendengar sehingga turut menyukai yang dimaksud (mie
sedap).
(5)
Sotonya siapa yang suka
Data
(5) merupakan kalimat tanya dengan penanda kata tanya siapa yang bermaksud
mengajak atau mensugesti pendengar/pembaca untuk menyukai rasa soto.
(6)
Harumnya siapa yang
suka
Data
(6) merupakan kalimat tanya dengan penanda kata tanya siapa yang bermaksud
mengajak atau mensugesti pendengar/pembaca bahwa harum yang ditimbulkan dari
mie sedap menggugah selera yang mencium/menghirup aromanya.
(7)
Sedapnya siapa yang
suka
Data
(7) mengajak pembaca/pendengar menyukai rasa sedap yang timbulkan oleh mie
sedap. Meskipun data (7) tidak menyebutkan secara eksplisit tentang mie sedap
yang dimaksud namun penggunaan diksi sedap yang berarti enak di awal kalimat
menyiratkan bahwa mie yang sedap pasti disukai oleh semua orang dan mie yang
sedap (enak) itu adalah mie sedap.
(8)
Dari lidah turun ke
hati
Data
(8) menggunakan hubungan semantis hubungan waktu (waktu batas permulaan).
Hubungan waktu batas permulaan menyatakan hubungan makna dimulainya sesuatu.
(9)
Fantastis, siap , terpercaya
Data
(9) menjabarkan keunggulan mie sedap dibandingkan dengan mie instan jenis
lainnya.
(10)
Yang kuah, goreng, dan karinya
(11)
Pelopor inovasi rasa
Data
(10) menjabarkan jenis-jenis mie sedap (kuah, goreng, dan kari) secara
terperinci yang kemudian dijelaskan di data (11) bahwa aneka rasa mie pertama
kali dicetuskan oleh mie sedap. Mie sedap merupakan pelopor aneka rasa mie yang
kemudian diikuti oleh mie instan jenis lain.
(12)
Semua puas sedapnya
Data
(12) merupakan klimaks yang menyatakan bahwa semua konsumen mie sedap puas
terhadap sedapnya mie sedap dengan diksi semua puas sedapnya meskipun tidak
berhubungan dengan kalimat sebelumnya. Kalimat di data (12) diakhiri dengan
merk mie yang sedang diiklankan sekaligus menyatakan keunggulannya.
B.
Struktur Wacana Iklan
Pepsodent
Wacana iklan mempunyai
tiga unsur pembentuk struktur wacana yaitu:
a.
Butir
Utama Iklan
Butir utama iklan berfungsi untuk
menarik perhatian dari calon konsumen. Sehingga pesan-pesan iklan harus
menarik. Dalam iklan Pepsodent Dika dan Ayah Dika versi
“gantian dong” menggunakan kalimat-kalimat yang langsung dapat dimengerti oleh
masyarakat.
AYAH
:
(di kamar mandi) Kamu gak sikat gigi? Kenapa sih harus ayah ngingetin
kamu untuk sikat gigi tiap malam, sekarang gantian
ah… Aku gak mau
sikat gigi
DIKA
:
Ayah kan tadi habis makan ayam tuh, kalo gak sikat gigi nanti ayamnya
nginap tuh disitu pokpokpokpok…
AYAH
:
Gimana ?
DIKA :
sikat gigiya… taruh odolnya (sambil menyuruh ayahnya memberikan pasta
gigi pada sikat giginya)
Contohnya mutar-mutar (sambil ayah Adi menyikat
giginya dan membuka mulutnya).
Anak pinter…..
Ungkapan
yang dicetak tebal merupakan bagian dari butir utama iklan yang menjadi
perintah kepada calon konsumen. Dengan kata sikat gigi konsumen
akan mengerti bahwa iklan tersebut menyarankan kepada mereka untuk menyikat
gigi malam dengan menggunakan Pepsodent. Kata tiap malam juga membuat
konsumen semakin tertarik mengapa harus melakukan sikat gigi tiap malam dengan
menggunakan pasta gigi Pepsodent.
b.
Badan
Iklan
Tujuan
lain dari iklan adalah menarik minat dan kesadaran calon konsumen. Dalam
iklan Pepsodent ini, ada informasi yang dapat diterima oleh nalar para calon
konsumen. Oleh karena itu, badan iklan hendaknya mengandung alasan objektif
atau rasional dan subjektif atau emosional.
AYAH
:
(di kamar mandi) Kamu gak sikat gigi? Kenapa sih harus ayah ngingetin
kamu untuk sikat gigi tiap malam, sekarang gantian ah…
Aku gak mau sikat
gigi
DIKA
:
Ayah kan tadi habis makan ayam tuh, kalo gak sikat gigi nanti
ayamnya nginap tuh disitu pokpokpokpok…
AYAH : Gimana
?
DIKA :
sikat gigiya… taruh odolnya (sambil menyuruh ayahnya memberikan pasta
gigi pada sikat giginya)
Contohnya mutar-mutar (sambil ayah Adi menyikat
giginya dan membuka mulutnya).
Anak pinter…..
Pada
iklan Pepsodent ini alasan yang dikemukakan pada bagian iklan tersebut bersifat
rasional. Hal tersebut dapat dilihat pada percakapan berikut ‘Ayah kan tadi
habis makan ayam tuh, kalo gak sikat gigi nanti ayamnya nginap tuh disitu
pokpokpokpok…’.Iklan tersebut menyiratkan orang yang sudah makan ayam
akan tertinggal dagingnya di gigi, sehingga diharuskan untuk sikat gigi tiap
malam. Sehingga jelas iklan itu bersifat rasional.
c.
Penutup
Pada
bagian penutup, wacana iklan dapat berisi informasi-informasi yang masih
berhubungan dengan topik yang diiklankan.
AYAH
:
(di kamar mandi) Kamu gak sikat gigi? Kenapa sih harus ayah ngingetin
kamu untuk sikat gigi tiap malam,
sekarang gantian ah… Aku gak mau sikat
gigi
DIKA : Ayah kan
tadi habis makan ayam tuh, kalo gak sikat gigi nanti ayamnya
nginap tuh disitu pokpokpokpok…
AYAH :
Gimana ?
DIKA :
sikat gigiya… taruh odolnya (sambil menyuruh ayahnya memberikan pasta
gigi pada sikat giginya)
Contohnya mutar-mutar (sambil ayah Adi menyikat
giginya dan membuka mulutnya).
Anak pinter…..
Bagian penutup pada
iklan tersebut diakhiri dengan percakapan ‘anak pinter…’. Kata yang
diucapkan merupakan bagian penutup yang menegaskan informasi dari iklan
tersebut. Jika diperhatikan isi penutup tersebut, dengan adanya kata anak
pinter tersebut memberikan maksud bahwa orang yang melakukan sikat gigi tiap
malam merupakan anak yang pintar sehingga mensugesti konsumen yang
mendengarkannya.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan
analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Teks iklan tidak mementingkan
struktur yang baku dan bahasa yang baku serta tidak mementingkan kepaduaan
(keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian lainnya dalam teks iklan
yang sama).
2. Pada umumnya, teks iklan bermakna
mengajak dan mensugesti audiens
(pemirsa) untuk menyukai produk yang diiklan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rani, Bustanul Arifin, Martutik. 2006. Analisis Wacana Sebuah Kajian Bahasa dalam
Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing.
Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama
Cutting,
Joan. 2002. Pragmatics and Discourse. London & New York: Routledge.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks
Media. Yogyakarta: LKIS
Ferry Darmawan. 2005. “Posmodernisme Kode Visual dalam Iklan
Komersial”. Jurnal Komunikasi Mediator..
Halliday,
M.A.K, and Ruqaiya Hasan, 1989. Language, Context, and Text: Aspect of
Language in a Social-Semiotic Perspective. Victoria: Deakin University
Hasan Alwi. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi 3.
Jakarta: Balai Pustaka.
Jorgensen, Marianne W. dan Louise J. Philips. 2007. Analisis
Wacana Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lukmana dan E. Aminuddin Aziz dan Dede Kosasih. 2006.
Linguistik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mey, Jacob
L. 2001. Pragmatics: An Introduction. Australia: Blackwell Publishing.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis
Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana
Poerwadarminta, W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: PN Balai Pustaka.
Renkema,
Jan. 1993. Discourse Studies: An Introduction Textbook.
Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Rustono.
1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press.
Siminto.
2004. “Analisis Wacana Iklan Televisi Royko Rasa Terasi” dalam Sumarlan, Agnes
Adhani dan Indratmo. 2004. Analisis
Wacana. Bandung: Pakar Raya
Sumarlam. 2009. Teori
dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Karya.
Tengku Silvana Sinar. 2008. Teori dan Analisis Wacana :
Pendekatan Sistematik Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.
Tim
Redaksi KBBI Pusat Bahasa. 2008. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Yasraf Amir Piliang. 1995. Jurnal Seni Rupa. Volume I/95,
hal.27.
Yayat Sudaryat. 2008. Makna
dalam Wacana. Bandung: Yrama Widya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar