I.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Bahasa
Indonesia sekarang telah menjadi bagian bahasa yang popular di dunia. Bahasa
Indonesia semakin diminati oleh orang-orang asing atau orang luar negeri.
Hal ini dapat dilihat dengan banyak dibukanya lembaga-lembaga yang mengajarkan
bahasa Indonesia sebagai bahasa asing baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Oleh karena itu perlu ada upaya agar pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur
asing dapat dilaksanakan dengan baik.
Pembelajaran
Bahasa Indonesia bagi penutur asing ini dimaksudkan guna memperkenalkan bahasa
Indonesia kepada para penutur asing untuk berbagai kepentingan, baik
pengajaran maupun komunikasi praktis. Selain itu, pembelajaran bahasa Indonesia
sebagai bahasa asing, sebagaimana pula bahasa lain sebagai bahasa asing,
ditujukan guna memberikan penguasaan lisan dan tertulis kepada para pembelajar.
Hal ini mengandung maksud bahwa mereka diharapkan mampu mempergunakan bahasa
Indonesia untuk berbicara dengan lancar dan sekaligus dapat mengerti bahasa
yang diujarkan penutur aslinya.
Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia
sebagai bahasa asing tidak mudah dicapai karena dalam proses pembelajarannya
pastilah dijumpai banyak permasalahan. Salah satu permasalahan itu berupa
kesalahan-kesalahan berbahasa oleh para pembelajar yang bila tidak segera diidentifikasi
akan mengakibatkan kendala berkelanjutan dalam proses pembelajaran bahasa.
Apabila hal ini terjadi –belum diidentifikasikannya kesalahan berbahasa secara
tepat dan sistematis—dikhawatirkan terjadi ketidaktepatan dalam pemilihan
strategi pembelajaran yang mengakibatkan
tidak tercapainya tujuan pembelajaran bahasa tersebut.
Penelitian ini
adalah salah satu upaya agar materi dalam pembelajaran BIPA dikembangkan atas
dasar kekayaan budaya di Indonesia. Pelaksanaannya diintegrasikan dengan
pembelajaran di kelas dengan mengidentifikasi budaya Indonesia, penyajian latar
belakang budaya, dialog budaya target yang lebih mendalam, pembelajaran bahasa
dengan berbagai aspek dan komponennya sesuai dengan budaya yang menjadi pusat
ketertarikan pembelajar dan pembelajaran bahasa beserta penerapannya dalam
komunikasi praktis dan menghubungkannya dengan persepsi budaya target/pembelajar,
terbangunnya kesadaran berbudaya pembelajar bahasa asing setelah melewati
serangkaian aktivitas dan penelusuran materi ajar dan teks-teks lain, dan
evaluasi pada kecakapan bahasa dan kecakapan budaya. Melalui materi-materi ajar
inilah pembelajar BIPA mendapatkan banyak informasi bahasa, budaya, dan
konten-konten lain yang diperlukan dalam praktik komunikasi mereka dalam
pembelajaran bahasa Indonesia.
Materi ajar
yang mengintegrasikan unsur-unsur kebahasaan, keterampilan berbahasa, dimensi
budaya, dan contoh-contoh konkrit praktik berbudaya Indonesia hendaknya
dihadirkan secara komprehensif dalam pembelajaran. Tentu saja, serangkaian
aktivitas belajar dan praktik berbudaya juga menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam proses mereka dalam menguasai kompetensi berbahasa dan
berbudaya Indonesia
2.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan
masalah dari makalah ini yaitu:
a. Apakah penutur asing mengalami kesulitan dalam
mempelajari bahasa Indonesia?
b. Bagaimanakah perencanaan media gambar berbasis budaya
dalam pemberian tambahan kosa kata bahasa Indonesia pada penutur asing?
3.
Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Mendeskripsikan kesulitan penutur asing dalam
mempelajari bahasa Indonesia.
b. Mendeskripsikan perencanaan media gambar berbasis
budaya dalam pemberian tambahan kosa kata bahasa Indonesia pada penutur asing.
II.
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan Pustaka
1. Pengertian kebudayaan
Kata
kebudayaan berasal dari kata budh dalam bahasa Sansekerta yang berarti akal,
kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk), sehingga
kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Ada pendapat
yang mengatakan bahwa kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi adalah
akal yang merupakan unsure rohani dalam kebudayaan, sedangkan daya berarti
perbuatan atau ikhtiar sebagai unsure jasmani sehingga kebudayaan diartikan
sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia.
Dalam
disiplin ilmu antropologi budaya, kebudayaan dan budaya itu diartikan sama
(Koentjaraningrat, 1980:195). Kebudayaan=cultuur
(bahasa belanda)=culture (bahasa
inggris)=tsaqafah (bahasa arab), berasal dari perkataan latin : “colere” yang artinya mengolah, mengerjakan,
menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi
arti ini berkembanglah arti culture
sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.
Edi (2014: 7) memperjelas bahwa kebudayaan adalah jati
diri suatu bangsa. Suatu bangsa dibedakan dari yang lain melalui kekhasan
kebudayaannya. Suatu bangsa ditandai oleh kebudayaan yang dimiliki bersama
meski didalamnya bisa terdapat variasi dalam kelompok, ini bisa terjadi karena
perbedaan strata sosial maupun perbedaan latar etnik. Kebudayaan, pada skala
apapun, berinti pada konsep dan nilai-nilai.
Seperti diketahui, Indonesia yang terdiri dari banyak
pulau dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta penduduk, dihuni oleh berbagai
suku bangsa dengan bahasanya masing-masing jelas memiliki aspek budaya yang
sangat beragam. Salah satu subbagian dari kebudayaan adalah bahasa. Kebudayaan
sangat penting tetapi tanpa bahasa, kebudayaan bahkan seluruh kehidupan ini
tidak ada. Dengan kalimat lain, kebudayaan dan kehidupan itu terikat dalam
bahasa, baik secara lisan maupun tulisan (Nyoman, 2011: 233).
a.
Unsur Kebudayaan
Unsur kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti bagian suatu kebudayaan yang dapat digunakan sebagai satuan analisis
tertentu. Dengan adanya unsur tersebut, kebudayaan disini lebih mengandung
makna totalitas daripada sekedar penjumlahan unsur-unsur yang terdapat di
dalamnya. Menurut Kluckhohn ada tujuh unsur dalam kebudayaan universal, yaitu
sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem tekhnologi dan peralatan,
bahasa, serta kesenian. Untuk lebih jelas, masing-masing diberi uraian sebagai
berikut.
Sistem religi dan upacara keagamaan, merupakan
produk manusia sebagai homo religious. Manusia yang memiliki kecerdasan pikiran
dan perasaan luhur, tanggap bahwa di atas kekuatan dirinya terdapat kekuatan
lain yang Mahabesar yang dapat “menghitam-putihkan” kehidupannya. Oleh karena
itu, manusia takut sehingga menyembah-Nya dan lahirlah kepercayaan yang
sekarang menjadi agama. Untuk membujuk kekuatan besar tersebut agar mau
menuruti kamauan manusia, dilakukan usaha yang diwujudkan dalam system religi
dan upacara keagamaan.
Sistem organisasi kemasyarakatan merupakan
produk dari manusia sebagai homo socius.
Manusia sadar bahwa tubuhnya lemah. Namun, dengan akalnya manusia membentuk
kekuatan dengan cara menyusun organisasi kemasyarakatan yang merupakan tempat
bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningkatkan kesejahteraan
hidupnya.
Sistem pengetahuan, merupakan produk dari manusia
sebagai homo sapiens. Pengetahuan
dapat diperoleh dari pemikiran sendiri, disamping itu dapat juga dari pemikiran
orang lain. Kemampuan manusia untuk mengingat apa yang telah diketahui, kemudian
menyampaikannya kepada orang lain melalui bahasa menyebabkan pengetahuan ini
menyebar luas.
Sistem mata pencaharian hidup, yang merupakan produk
dari manusia sebagai homo economicus
menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat. Sistem
teknologi dan peralatan, merupakan produksi dari manusia sebagai homo faber. Bersumber dari pemikirannya yang
cerdas serta dibantu dengan tangannya yang dapat memegang sesuatu dengan erat,
manusia dapat menciptakan sekaligus mempergunakan suatu alat. Dengan alat-alat
ciptaannya itu, manusia dapat lebih mampu mencukupi kebutuhannya daripada
binatang.
Bahasa merupakan produk dari manusia sebagai homo longuens. Bahasa manusia pada mulanya
diwujudkan dalam bentuk tanda (kode), yang kemudian disempurnakan dalam bentuk
bahasa lisan, dan akhirnya menjadi bahasa tulisan. Kesenian, merupakan hasil
dari manusia sebagai homo esteticus.
Setelah manusia dapat mencukupi kebutuhan fisiknya maka manusia perlu dan
selalu mencari pemuas untuk memenuhi kebutuhan psikisnya. Perlu dimengerti
bahwa unsur-unsur kebudayaan yang membentuk struktur kebudayaan itu tidak
berdiri lepas dengan lainnya.
Kebudayaan bukan hanya sekedar merupakan jumlah dari
unsur-unsurnya saja, melainkan merupakan keseluruhan dari unsur-unsur tersebut
yang saling berkaitan erat (integrasi), yang membentuk kesatuan yang harmonis.
Masing-masing unsur saling mempengaruhi secara timbale-balik. Apabila terjadi perubahan
pada salah satu unsur, maka akan menimbulkan perubahan pada unsur yang
lain pula.
b.
Wujud Kebudayaan
Selain unsur kebudayaan, masalah lain yang juga
penting dalam kebudayaan adalah wujudnya. Pendapat umum mengatakan ada dua
wujud kebudayaan. Pertama, kebudayaan bendaniah (material) yang memiliki cirri
dapat dilihat, diraba, dan dirasa. Sehingga lebih konkret atau mudah dipahami.
Kedua, kebudayaan rohaniah (spiritual) yang memiliki ciri dapat dirasa saja.
Oleh karena itu, kebudayaan rohaniah bersifat lebih abstrak dan lebih sulit
dipahami. Koentjaraningrat dalam karyanya kebudayaan. Mentaliter, dan
pembangunan menyebutkan bahwa paling sedikit ada tiga wujud kebudayaan, yaitu :
a.
Sebagai suatu
kompeks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan
sebagainya.
b.
Sebagai suatu
kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
c.
Sebagai
benda-benda hasil karya manusia. (Koentjaraningrat, 1974:15).
Wujud dari kebudayaan menurut Agussalim (2009: 29) ,
antara lain:
-
Wujud pertama
adalah wujud ideal kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat diraba dan difoto.
Letaknya dalam alam pikiran manusia. Ide-ide dan gagasan manusia ini banyak
yang hidup dalam masyarakat dan member jiwa kepada masyarakat. Gagasan-gagasan
itu tidak terlepas satu sama lain melainkan saling berkaitan menjadi suatu
system, disebut system budaya atau culture system, yang dalam bahasa Indonesia
disebut adat istiadat.
-
Wujud kedua
adalah yang disebut system social, yaitu mengenai tindakan berpola manusia itu
sendiri. Sistem social ini bersifat konkrit sehingga bias diobservasi, difoto
dan didokumentir.
-
Wujud ketiga
adalah yang disebut kebudayaan fisik, yaitu seluruh hasil fisik karya manusia
dalam masyarakat. Sifatnya sangat konkrit berupa benda-benda yang bias diraba,
difoto dan dilihat. Ketiga wujud kebudayaan tersebut di atas dalam kehidupan
masyarakat tidak terpisah satu dengan yang lainnya.
2.
Pengertian
Media Gambar
Media merupakan alat peraga yang
berasal dari kata peraga yang artinya alat-alat, atau dalam bahasa sehari-hari
sering digabungkan menjadi alat peraga. Dalam dunia pendidikan media dikenal
sebagai alat komunikasi untuk mencegah verbalisme. untuk menyalurkan pesan,
Sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat siswa
sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Sedangkan media gambar adalah
media yang hanya dapat dilihat dengan menggunakan indra penglihatan. Disamping
itu media gambar mudah didapat dan murah harganya, dapat dinikmati dimana-mana,
dapat digunakan untuk menambah kosa kata baru dan memberi arti suatu abstraksi.
Penggunaan media mempunyai
tujuan, yaitu:
1). agar
dapat mengamati langsung dan mendorong untuk bertanya dan berdiskusi;
2). untuk
menarik perhatian agar memperhatikan materi pelajaran;
3). untuk
memberikan dasar yang konkrit dalam berfikir;
4). untuk
menghindari pengertian yang abstrak;
5). untuk meletakkan dasar yang penting dalam
perkembangan belajar, sehingga apa yang dipelajari lebih tahan lama dalam
ingatan.
3.
Kesulitan Belajar Bahasa Indonesia
bagi Penutur Asing
Dalam
proses pembelajaran bahasa Indonesia, aktivitas belajar tidak selamanya dapat
berjalan dengan lancar. Artinya bahwa tidak selamanya materi pembelajaran
sepenuhnya dapat dikuasai oleh semua penutur asing. Masalah kesulitan belajar
ini sudah merupakan masalah umum yang terjadi dalam proses
pembelajaran.Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris
learning disability. Terjemahan tersebut sesungguhnya kurang tepat karena
learning artinya belajar dan disability artinya ketidakmampuan, sehingga secara
harafiah adalah ketidakmampuan belajar.
Menurut
Hallahan dan Mulyono Abdurrahman ( 2003 : 5 ), kesulitan belajar adalah suatu
gagasan dalam satu atau lebih dari proses psikologi dasar yang mencakup pemahaman
dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin
menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berfikir, berbicara, menulis,
mengeja, ataupun berhitung.
Dari
wawancara yang telah dilakukan, kesulitan berbahasa Indonesia dialami oleh
penutur asing karena selain bahasa Indonesia, bahasa daerah pun kerap kali
digunakan oleh masyarakat Indonesia sehingga menyebabkan pencampuran bahasa
antara bahasa Indonesia dengan bahasa daerah. Hal ini menyebabkan turis
mancanegara akan sulit membedakan dan mengkategorikan jenis bahasa yang sangat
beragam demikian. Kesulitan berbahasa terjadi pula karena rasa tidak percaya
diri yang dialami oleh penutur asing karena kemungkinan kesalahan yang akan
dialaminya. Dalam hal ini, kelompok satu berupaya membuat
pembelajaran berbasis budaya dengan menggunakan media gambar agar penutur asing
dapat lebih mudah dan menambah kosakata bahasa Indonesia.
4.
Keterampilan
Berbicara
Berbicara
merupakan kegiatan berbahasa lisan. Dalam berbicara seseorang menyampaikan
informasi melalui suara atau bunyi bahasa. Manusia adalah mahluk sosial.
Manusia baru akan menjadi manusia bila ia hidup dalam lingkungan manusia.
Kesadaran betapa pentingnya berbicara dalam kehidupan manusia dalam
bermasyarakat dapat mewujudkan bermacam aneka bentuk.
Lingkungan
terkecil adalah keluarga, dapat pula dalam bentuk lain seperti perkumpulan
sosial, agama, kesenian, olah raga, dan sebagainya. Setiap manusia dituntut
terampil berkomunikasi, terampil menyatakan pikiran, gagasan, ide, dan
perasaan. Terampil menangkap informasi-informasi yang didapat, dan terampil
pula menyampaikan informasi-informasi yang diterimanya.
Kehidupan
manusia setiap hari dihadapkan dalam berbagai kegiatan yang menuntut
keterampilan berbicara. Contohnya dalam lingkungan keluarga, dialog selalu
terjadi, antara ayah dan ibu, orang tua dan anak, dan antara anak-anak itu
sendiri. Di luar lingkungan keluarga juga terjadi pembicaraan antara tetangga
dengan tetangga, antar teman sepermainan, rekan kerja, teman perkuliahan dan
sebagainya. Terjadi pula pembicaraan di pasar, di swalayan, di
pertemuan-pertemuan, bahkan terkadang terjadi adu argumentasi dalam suatu
forum. Semua situasi tersebut menuntut agar kita mampu terampil berbicara.
Berbicara
berperan penting dalam pendidikan keluarga. Tata krama dalam pergaulan
diajarkan secara lisan. Adat kebiasaan, norma-norma yang berlaku juga
seringkali diajarkan secara lisan. Hal ini berlaku dalam masyarakat tradisional
maupun masyarakat modern.
Cakupan Keterampilan Berbicara
Berdasarkan
kegiatan komunikasi lisan, cakupan kegiatan berbicara sangat luas. Daerah
cakupan itu membentang dari komunikasi lisan yang bersifat informal sampai
kegiatan komunikasi lisan yang bersifat formal. Semua kegiatan komunikasi lisan
yang melibatkan pembicara dan pendengar termasuk daerah cakupan berbicara. Daerah
cakupan berbicara meliputi kegiatan komunikasi lisan sebagai berikut,
(1) berceramah,
(2) berdebat,
(3) bercakap-cakap,
(4) berkhotbah,
(5) bertelepon,
(6) bercerita,
(7) berpidato,
(8) bertukar pikiran,
(9) bertanya,
(10) bermain peran,
(11) berwawancara,
(12) berdiskusi,
(13) berkampanye,
(14) menyampaikan sambutan, selamat, pesan,
(15) melaporkan,
(16) menanggapi,
(17) menyanggah pendapat,
(18) menolak permintaan, tawaran, ajakan,
(19) menjawab pertanyan,
(20) menyatakan sikap,
(21) menginformasikan,
(22) membahas,
(23) melisankan (isi drama, cerpen, puisi, bacaan),
(24) menguraikan cara membuat sesuatu,
(25) menawarkan sesuatu,
(26) meminta maaf,
(27) memberi petunjuk,
(28) memperkenalkan diri,
(29) menyapa,
(30) mengajak,
(31) mengundang,
(32) memperingatkan,
(33) mengoreksi,
(34) tanya-jawab.
5.
Hasil
Wawancara
1.
Perkenalan
a.
Siapa namamu? :
Mr. Tom
b.
Dari mana? Rusia
c.
Sudah berapa
lama di Makassar? 7 bulan
d.
Sama siapa?
Istri
2.
Materi
a.
Apa tujuannya
datang ke Sulawesi Selatan? Ikut istri karena dia orang Soppeng
b.
Apakah susah
mempelajari bahasa Indonesia? susah karena di Makassar itu mempunyai banyak
bahasa daerah, seperti Bugis dan Makassar jadi bingung memakai bahasa yang
mana. Saya tidak percaya diri jika salah berbicara.
c.
Tempat wisata
yang disukai di Makassar? Pantai Losari dan pantai Akkarena.
d.
Tertarik dengan
kebudayaan Makassar? Tidak tertarik tetapi jika ada acara pementasan dan
kegiatan kebudayaan lainnya, maka saya biasa menonton.
e.
Tahu tentang
kebudayaan Makassar? Hanya sebagaian kecil saja, seperti baju adat Makassar
(baju bodo’).
3.
Kelancaran
a.
Tahu berbahasa
Indonesia? Sedikit
b.
Penutur mampu memberi Sapaan
: selamat pagi, selamat siang, selamat malam.
Rumusan masalah yang kedua tidak terjawab. Tidak dicantumkan atau diuraikan mengenai penggunaan media gambar yang berbasis budaya serta cara yang digunakan
BalasHapus