Kamis, 26 Februari 2015

Kajian Dekonstruksi pada Novel Test Pack karya Ninit Yunita



Dekonstruksi pada Novel Test Pack karya Ninit Yunita
Mengenai Komitmen dalam Pandangan Masyarakat
A. Pendahuluan
Dekonstruksi merupakan suatu kajian yang kontroversial, terutama bagi masyarakat dunia yang tidak beridealisme komunis. Padahal kajian ini sangat berpengaruh pada segi humaniora terutama pada kajian sastra. Dekonstruksi ialah pengembangan dari observasi yang dilakukan oleh Ferdinand de Saussure tentang hubungan antara penanda dan petanda (kata dan makna) yang bersifat arbitrer (Derrida dalam Sim, 2002: 59). Derrida kemudian menyusun puing-puing yang tertinggal dari bangunan teks, menghancurkannya kembali, menatanya lalu merombaknya kembali (Derrida dalam Al-Fayadl, 2005: 79). Pendapat dari Derrida tersebut memiliki arti bahwa dekonstruksi bukan hanya suatu hal yang hanya menghancurkan sesuatu seperti yang selama ini kita maknai tentang dekonstruksi, akan tetapi dekonstruksi juga berupaya untuk menata kembali apa yang telah dihancurkan.
Derrida dalam Ratna (2004: 222) mengemukakan bahwa teori dekonstruksi adalah penolakan terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis. Dekonstruksi merupakan pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang baku. Dengan kata lain, dekonstruksi adalah cara-cara pengurangan terhadap suatu intensitas konstruksi, yaitu gagasan, bangunan, dan susunan yang sudah baku, bahkan universal.
Argus (2002) mengemukakan dekonstruksi merupakan suatu metode analisis yang dikembangkan oleh Jacques Derrida dengan membongkar struktur dan kode-kode bahasa, khususnya struktur oposisi pasangan, sedemikian rupa, sehingga menciptakan satu permainan tanda tanpa akhir dan tanpa makna akhir.
Sasaran dari dekonstruksi ialah mempertimbangkan sejauh mana seorang pengarang mempergunakan pola-pola bahasa dan pemikiran untuk memberi bentuk kepada suatu visi tertentu (Luxemburg, 1986: 60).
Dekonstruksi adalah sebuah upaya saksama untuk menganalisis teks dengan mencoba mengungkapkan berbagai kemungkinan yang sebetulnya terkandung di dalamnya, termasuk yang tertindas atau terselubung, baik sengaja, sadar, atau tidak, dengan cara membongkarnya. Hal ini dilakukan dengan analisa tekstual yang ketat, menjajaki dan mencoba menemukan berbagai kandungan lanjut maknanya, termasuk beragam makna alternatif yang mungkin bisa dimunculkan darinya.
Sasaran dekonstruksi lebih lanjut adalah pada kecenderungan berpikir dalam model oposisi biner, seperti hidup atau mati, ada atau tiada, siang atau malam, laki-laki atau perempuan, dan seterusnya. Sesungguhnya, cara berpikir ini juga masih berkaitan, dan bahkan mendasari phallogosentrisme maupun metafisika, karena menuding pada rasional atau tak rasional, dan di pusat atau di luar pusat. Dalam hal ini, Derrida memprovokasi bagaimana seandainya dualisme ini sebenarnya sungguh tak mewakili realitas permasalahan, dan hanya sebuah tradisi panjang pemaksaan rasionalitas terhadap sejarah pemaknaan dan peradaban belaka.
Dekonstruksi dilakukan dengan cara memberikan perhatian terhadap gejala-gejala yang tersembunyi, sengaja disembunyikan, seperti ketidakbenaran, tokoh sampingan, perempuan, dst. Berbeda dengan teori strukturalisme, dalam analisis penokohan misalnya, strukturalisme selalu membicarakan tokoh utama, kesua, ketiga, dst. Dengan konsekuensi tokoh terakhir hanya berfungsi sama sekali. Dalam kritik sastra, yang penting bukan siapa yang berbicara, melainkan apa yang dibicarakan, yaitu karya itu sendiri.
B. Analisis Novel Test Pack karya Ninit Yunita
Dalam novel ini, pengarang yaitu Ninit Yunita ingin mengubah pandangan masyarakat yang umumnya mengutamakan kehadiran seorang anak dalam setiap pernikahan. Selama ini, setiap pasangan menikah karena menginginkan anak dari pernikahan mereka. Seakan-akan memiliki anak pasca pernikahan merupakan hal utama yang didamba-dambakan setiap pasangan suami-istri, dan anak seakan-akan merupakan bukti cinta atau buah cinta dari sang suami dan istri. Namun Ninit Yunita melalui novel Test Packnya ini ingin mengubah pandangan masyarakat mengenai hal tersebut.
Dalam novel Test Pack, melalui tokoh Arista Natadiningrat atau Tata dan Rahmat Natadiningrat, sang pengarang ingin mengubah pandangan masyarakat mengenai tujuan utama dalam pernikahan, serta betapa pentingnya komitmen dalam sebuah hubungan. Tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sempurna untuk menghasilkan anak atau meneruskan keturunan setelah menikah. Tidak semua pasangan bisa mempunyai anak setelah mereka menikah. Hal tersebut bisa dikarenakan kesalahan mereka sendiri yang kurang menjaga kesehatan, atau mungkin karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan makhluk-makhluk Allah yang lain, namun tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Sehingga tak sedikit pula pasangan yang belum juga dikaruniai anak setelah mereka menikah, bahkan setelah bertahun-tahun menikah.
Ninit Yunita dalam novelnya menceritakan tokoh Tata dan Rahmat sebagai suami istri yang telah 7 tahun menikah namun belum juga dikaruniai seorang anak. Hal tersebut terbukti melalui pernyataan Rahmat sebagai berikut.
Kami sudah menikah selama 7 tahun dan selama itu lah gue dan Tata melakukan intensifikasi penyerbukan. Berbagai cara sudah kami coba. Mulai dari mengonsumsi toge yang tidak wajar sampai bercinta berdasarkan shio. Namun sampai saat ini kami belum memperoleh anak. (Yunita, 2005: 19)
Kehadiran seorang anak memang selalu didambakan setiap pasangan setelah menikah, namun tidak semua pasangan diciptakan sempurna dan mampu memiliki anak, seperti pasangan Tata dan Rahmat. Segala cara telah mereka lakukan, terutama Tata yang sangat mendambakan anak setelah usianya menginjak 30 tahun.
Melalui tokoh Tata, Ninit mengungkapkan pendapatnya bahwa anak bukan hal utama dalam pernikahan. Pandangan masyarakat yang berkembang saat ini, ketika bertemu dengan teman lama atau kenalan lama, hal pertama yang sering ditanyakan adalah jumlah anak dipunyai saat ini, tampak dari percakapan berikut.
“Diaaan … hey, udah punya anak berapa sekarang?”
“Baru satu, Ris.”
“Belum nambah nih?” Perempuan cantik yang bernama Riska itu mencium pipi kanan dan kiri Dian.
(Yunita, 2005: 27)
“Anakmu sudah berapa, Ta?”
Tiba-tiba Riska mengarahkan pertanyaan yang super sensitif itu ke gua. Lutut gua lengsung terasa lemas. Nooo… kenapa sih harus pertanyaan itu?
“Belum punya, Ris …” Gua menggeleng pelan.
(Yunita, 2005: 28)
Di atas merupakan percakapan yang dilakukan Tata, Dian sahabat Tata, dan Riska sahabat Dian yang sudah lama tidak bertemu saat mengobrol santai. Dari percakapan tersebut tampak kesedihan dalam hati Tata, mengapa pertanyaan itu yang sering dilontarkan orang-orang saat pertama kali bertemu dengan teman lama. Padahal tidak semua manusia yang beruntung dapat memiliki anak setelah menikah, sama halnya seperti Tata yang belum juga punya anak. Kekecewaan Tata terungkap pula melalui pernyataannya berikut.
“Anakmu sudah berapa?”
Ya … itu pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Riska.
Bukan apa kabar.
Bukan berapa gelar yang berjajar di belakang namanya.
Or if she collects diamond or not.
Or if the bag is the real Prada or the fake one.
(Yunita, 2005: 30)
She didn’t ask me anything else but,
“Anakmu sudah berapa, Ta?”
(Yunita, 2005: 30)
Pertanyaan yang sama juga dilontarkan oleh Sinta Setiorini mantan pacar Rahmat kepada Rahmat, saat mereka bertemu di kantor Rahmat.
“Anak udah berapa, Mat?”
“Belum ada.”
“Serius?”
“Iya.”
(Yunita, 2005: 72)
Diceritakan dalam novel ini bahwa Tata dan Rahmat belum juga dikaruniai anak karena Rahmat infertil, sehingga secara biologis mereka berdua tidak akan bisa dikaruniai anak. Namun di akhir cerita dikisahkan bahwa komitmen dalam sebuah pernikahan adalah yang lebih penting. Banyak dicontohkan pasangan sempurna yang telah dikaruniai anak, tidak dapat menjaga cinta mereka dan belum berkomitmen bahwa dalam pernikahan sebuah pengertian dan kesetiaan adalah yang lebih penting, bukan semata-mata karena kehadiran anak. Sehingga banyak pernikahan yang ternoda walaupun anak telah menjadi buah cinta mereka.
Di sini, Tata dan Rahmat dikisahkan sebagai pasangan yang mampu dijadikan contoh. Tidak selamanya pasangan kita akan terus sama seperti yang kita harapkan, karena mereka juga manusia yang pasti memiliki kekurangan. Tidak selamanya pasangan kita akan terus cantik atau tampan, tetap terlihat muda sampai kapan pun, akan tetap pandai, tetap kaya, tetap baik, tetap mencintai kita. Namun komitmen telah membawa Tata dan Rahmat menjadi pasangan yang mampu mengatasi permasalahan pelik yang menimpa mereka berdua, yaitu bahwa secara biologis mereka tidak akan dikaruniai anak. Komitmen menjadi kekuatan yang akan terus mampu mempertahankan apa yang telah menjadi harapan mereka. Berikut kutipan pernyataan pendukung oleh tokoh Tata.
Orang sering mendasari cinta atas hal-hal yang dianggap indah.
Jarang dari mereka (dan mungkin kita sendiri) berpikir :
‘I love him because of the way he makes me feel’.
Then what happens if he stops making you feel that way?
….
Jarang ada yang mengatakan:
‘Saya sayang dia karena saya ingin sayang dia.’
Itulah komitmen. Komitmen adalah sumber kekuatan bukan sesuatu yang justru membuat orang takut untuk menghadapinya.
Komitmen adalah sumber kekuatan bagi seorang istri untuk pergi jauh melihat baik dan buruknya suami. Menerima dia ketika sedang tampan dan menerima juga manakala dia sedang menguap dengan jeleknya saat bangun pagi.
Komitmen adalah sumber kekuatan bagi seorang suami ketika mengetahui seorang wanita lain mengajaknya berselingkuh dan ia memilih pulang ke rumah untuk makan malam dengan istri dan berbagi kisah sambil tertawa.
(Yunita, 2005: 222-224)
Komitmen telah menjadi kekuatan cinta mereka. Dan melalui novel ini, Ninit Yunita ingin mengubah paradigma masyarakat bahwa dalam sebuah cinta khususnya pernikahan perlu didasari adanya komitmen yang nantinya akan mampu menjaga perjalanan cinta mereka. Sebab pernikahan tidak selalu indah seperti yang dibayangkan, sehingga komitmen diperlukan untuk menjaga sebuah pernikahan agar selalu terasa indah.
Dan komitmen juga yang membawa gua untuk tetap berada di sisi Kakang. Tetap menjadi istrinya dengan menyadari bahwa pernikahan bukan hanya untuk memiliki anak. Pasangan lain mungkin dikaruniai sesuatu yang sempurna dengan memiliki anak. But in fact, tanpa memiliki anak tidak menghalangi gua untuk bahagia bersama Kakang.
(Yunita, 2005: 224)
Ninit Yunita dalam novel Test Pack mengungkapkan isi hatinya bahwa cinta saja tanpa dilandasi komitmen tidak akan berkekuatan. Sebab cinta manusia tidak akan kekal, banyak sekali faktor yang melandasi seseorang merasakan cinta. Pandangan masyarakat tersebut ingin diubah oleh Ninit melalui novel ini, yang dikisahkan oleh Tata dan Rahmat. Pentingnya komitmen dalam sebuah hubungan akan mampu menjaga keutuhan cinta, dengan saling menghargai satu sama lain, serta saling menerima kekurangan masing-masing.

SINOPSIS NOVEL TEST PACK
Sebagian dari kita mungkin ada yang mencintai seseorang karena keadaan sesaat. Karena dia baik, karena dia pintar, even mungkin karena dia kaya. Tidak pernah terpikir apa jadinya, kalau dia mendadak jahat, mendadak tidak sepintar dahulu, atau mendadak miskin.
Will you still love them, then?
That’s why you need commitment.
Don’t love someone because of waht/how/who they are.
From now on, start loving someone, because you want to.

7 tahun menikah dan belum juga dikarunia seorang anak membuat Tata semakin resah. Ia sudah mewanti-wanti agar memiliki anak sebelum umurnya menginjak usia 30 tahun. Namun, sampai usianya yang sudah menginjak 32 tahun pasangan suami istri, Rahmat dan  Tata ini belum juga dikarunia seorang anak.

I’m dying to have a baby :(
God.... why can’t I just have one? Gua sering nanya ke diri gua sendiri. Kenapa gua yang pengen punya anak, susah banget dapetnya? Sementara gua baca koran dan majalah, nonton berita di TV, denger radio.... begitu banyak perempuan yang aborsi :(

Suami Tata yang bernama Rahmat Natadiningrat, seorang psikolog yang memiliki sifat kekanakan dan super santai.  Sifatnya yang super santai ini membuat Tata berpikir bahwa suami yang ia cintai ini tidak memiliki keinginan untuk mempunyai anak. Berbeda dengan Tata yang khawatir akan tidak memiliki anak, sebaliknya Rahmat malah terlihat santai-santai saja dengan 7 tahun hidupnya dengan Tata yang tidak kunjung memiliki anak.  Rahmat pun mulai berpikir bahwa memiliki anak is not the most important thing in our marriage pun memiliki alasan tersendiri mengapa ia mengatakan hal itu.

“Kok Kakang bisa sih nggak mikir. Kalo Neng nggak hamil berarti kan garis keturunan Natadiningrat bisa punah, Kang. Kamu kan anak laki-laki satu-satunya.”
“Please... Neng punya anak kan bukan segalanya.”


“Jangan-jangan kamu nggak pengen ya punya anak?”

Lalu Tata mulai mengambil hipotesis bahwa bisa saja penyebab dia tak kunjung hamil karena dia mandul membawanya ke klinik dokter Peni S, seorang dokter ahli kandungan.  Tata ingin membuktikan apakah karena dia interfil maka itulah yang menyebabkan ia tak kunjung hamil. Setelah menjalani prosedur ini itu, hasil dari berbagai tes yang dijalani Tata pun keluar dan menyatakan bahwa Tata tidak mengalami infertil. Namun...

 “ Ke klinik? Ngapain? Kan udah jelas kamu nggak apa-apa Neng,”
“Bukan saya, tapi kamu.”


“Tes sperma, Kang.”
“Tes sperma?”
“Iya...karena kata Dokter Peni, infertilitas bisa datang dari istri atau suami atau keduanya.”

Sebuah kenyataan pahit datang kepada Rahmat, amplop berisi lembaran hasil lab akan tes spermanya menyatakan bahwa ia infertil/mandul  dimana spermanya memiliki kualitas sperma yang rendah dan spermatoza masih tidak ada. Rahmat yang tidak ingin Tata mengetahui kenyataan ini karena hal ini sudah cukup menghancurkan impian Tata untuk memiliki anak akhirnya menyembunyikan hasil lab tersebut.

Disisi lain hadirlah Shinta, mantan pacar Rahmat saat kuliah dan sekarang sudah menjadi model terkenal. Kehadiran Shinta sebagai tempat curhat Rahmat karena Shinta juga seorang istri yang mengalami infertil dan tidak bisa memiliki anak.

Namun sepintar-pintarnya engkau menyembunyikan rahasia, pastinya akan ketahuan juga. Tata menemukan hasil tes sperma Rahmat dan tidak bisa menyembunyikan kemarahannya kepada Rahmat, emosi dan kekecewaan yang ia rasakan membuatnya angkat kaki dari rumahnya dan kembali kembali ke rumah orang tuanya. Setelah itupun, kesalahpahaman terus berlanjut antara Rahmat dan Tata. 

“Saya hanya ingin ngasih tahu bahwa malam ini saya pergi....”
“Pergi ke mana, Ta?”
“Pergi selamanya dari hati kamu.”


FEMINISME



A.    Sejarah Kemunculan Feminisme
Awal kemunculan paham kritik sastra feminisme terjadi pertama kali di belahan Barat. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi sehingga paham feminisme dikembangkan dan pada akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Yang pertama kali dimunculkan bukanlah kritik sastra feminis akan tetapi paham feminis yang masih bersifat umum.
Beberapa aspek yang menyebakkan lahirnya paham feminisme pertama kali antara lain: Aspek Politik, Aspek Agama, Aspek Ekonomi dan Aspek tentang konsep Sosialisme.
Pertama, Aspek Politik. Pada saat memproklamasikan kemerdekaan Amerika pada tahun 1776, ada beberapa bagian penting dalam deklarasi kemerdekan tersebut salah satu deklarasi yang menyebabkan kecemburuan sosial kaum perempua yang menyebabkan kemunculan paham feminis adalah deklarasi yang berisi “All man are created equal” (Semua Laki-laki Diciptakan Sama) tanpa sedikitpun menyinggung tentang perempuan.
Hasil dari ketidak puasan kaum perempuan dari deklarasi yang “menguntungkan” kaum pria tahun 1776 telah melahirkan tokoh-tokoh feminis kritis yang menggagas tengtang persamaan, sehingga pada tahun 1848 dalam konvensi di Seneca Falls para tokoh feminis memproklamirkan gagasan/ide lain tentang deklarasi kemerdekaan yang berisi “All Man and Women are Created Equal” (semua laki-laki dan perempuan diciptakan sama).
Kedua, Aspek Agama. Dominasi Gereja yang mendudukkan kaum perempuan pada posisi “tertindas” baik dari agama Protestan maupun Katolik sama-sama memojokkan posisi perempuan yakni menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari kaum laki-laki. Dalam ajaran Martin Luther dan John Calvin perempuan dan laki-laki dapat berhubungan langsung dengan Tuhan. Namun, untuk yang lebih spesifik perempuan tidak boleh bepergian, perempuan harus tetap tinggal di rumah dan mengatur rumahtangga. Dengan kata lain perempuan hanya layak berada pada wilayah domestik saja sedangkan selebihnya akan menjadi urusan laki-laki.
Sedangkan “hujatan” yang sangat “memilukan” bagi kaum perempuan lahir dari anggapan gereja Katolik yang yang memiliki asumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang kotor dan keberadaannya adalah sebagai wakil Iblis. Hal ini tidak jauh berbeda dengan kondisi yang dialami penduduk Prancis sebelum terjadi revolusi kebudayaan, yang pada saat itu otoriter gereja sangat berperan penting dan para petinggi gereja seperti Tuhan yang bisa memfonis keputusan seperti mengampuni dosa atau yang biasa disebut indulgencia (Surat Pengampunan Dosa).
Ketiga, Aspek Ekonomi. Menurut teori feminis subordinasi perempuan berasal dari masyarakat primitif, yang kedudukannya lebih rendah dari pada laki-laki, anggapan yang berkembang pada saat itu adalah bahwa perempuan lebih layak untuk hidup miskin dan laki-laki lebih layak untuk menjadi kaya. Isu ini dapat dilihat dari perkembangan patriarkat, sebagai pembacaan awal untuk melihat kedudukan seorang perempuan dalam keluarga.
Keempat, Aspek Teori Sosialisme. Landasan pemikiran ini berawal dari pemikiran Karl Marx yang mencoba menghapus kelas-kelas sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berangkat dari teorinya yang mengungkap tentang fase-fase perkembangan masyarakat. Beranjak dari pemikiran Federick Engels yang mengemukakan bahwa “Within The Family he is the bourgeois and the wife represents the proletariat” (dalam keluarga dia (Suami) adalah kaum Borjuis dan istri mewakili kaum proletar). Dalam perspektif kaum feminis Amerika bahwa dalam masyarakat kapitalis antara kaum perempuan dan kaum laki-laki tidak bisa dibandingkan karena kaum laki-laki golongan yang terhormat sedangkan dalam kaum perempuan adalah golongan yang tertindas. Ekarini (2003)
Selain yang telah di uraikan di atas, beberapa faktor pemicu lahirnya paham feminis dalam bidang kritik sastra adalah :
a)      Berkembangnya teknik konspirasi, yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari kekuasaan laki-laki.
b)      Radikalisasi politik, khusunya sebagai akibat perang Vietnam.
c)      Lahirnya gerakan pembebasan dari ikatan-ikatan tradisional, misalnya, ikatan gereja, ikatan kulit hitam Amerika, ikatan mahasiswa, dan sebagainya.
d)     Sekularisai, menurunnya wibawa agama dalam segala bidang kehidupan.
e)      Perkembangan pendidikan yang secara khusus di nikmati oleh perempuan.
f)       Reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkankaryaa dari struktur sosial, seperti, struktur baru dan strukturalisme.
g)      Ketidak puasan terhadap teori dan praktik ideologi marxismeortodoks, tidak terbatas sebagai marxis Sovyet atau Cina, tetapi marxxis di dunia barat secara keseluruhan. Nyoman Kutha Ratna (2004: 183-184).
Dari beberapa aspek pemicu lahirnya gerakan feminis ini, maka pada tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi pembacaan ulang bagi tokoh gerakan feminis Prancis yang bernama Luce Irigaray yang mendorong berkembangnya mazhab feminis.
B.     Beberapa Tokoh Penggerak Feminisme
“Orpheus adalah penyanyi, penyair, tokoh dalam mitologi Yunani yang dibunuh oleh wanita yang marah”. Bahaya wanita berpose untuk seniman laki-laki tampaknya, telah dialami oleh seniman masa silam ini, selain kelemahlembutan yang berada dalam energi tubuh dan ekses emosional seorang perempuan juga terdapat kemarahan yang dapat berbahaya bagi manusia.
Sedikit kutipan sejarah tersebut telah menjadi inspirasi bagi beberapa tokoh feminisme. Dalam perspektif para pemikir feminisme ekstrim misalnya beranggapan Sebagai konsekuensi dari tindakan margiinal yang dirasakan kaum perempuan, bahwa perempuan perlu membentuk sebuah dunia yang terpisah di luar budaya yang didominasi oleh kaum laki-laki.
Beberapa tokoh yang berperan penting dalam gerakan feminisme atau penggerak lahirnya paham feminisme, diantaranya adalah :
1)      Simone De Beauvoir
Simone De Beauvoir meletakkan dengan sangat jelas masalah dasar feminisme. Bila seorang perempuan mencoba membatasi dirinya sendiri, maka dia akan mulai dengan berkata “Saya adalah Seorang Perempuan”. Tidak ada laki-laki yang melakukan hal seperti itu, kenyataan ini membuat ketidak sejajaran antara “maskulin dan feminis”. Ekarini (2003).
2)      Luce Irigaray
Luce Irigaray memiliki pandangan tentang teori pengetahuan, bahwa subjek dari pengetahuan selalu menitikberatkan pada kaum laki-laki dan selalu dibeda-bedakan dengan kaum perempuan.
3)      Julia kristeva
Mendekonstruksi hegemoni kebudayaan barat dengan menampilkan teks sebagai material produksi. Salha satu konsep Julia Kristeva adalah semanalysis, metode yang memusatkan perhatian bukan semata-mata pada fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi, melainkan juga pada material bahasa, seperti, suara, rima, irama, dan ciri-ciri grafis.
4)      Helena cixous
Helena cixous adalah seorang novelis, sekaligus kritikus feminis. Menurut Helena cixous yang menjadi pusat perhatiannya adalah: (a) hegemoni oposisi biner dalam kebudayaan barat, dan (b) praktik penulisan feminis yang dikaitkan dengan tubuh.
Oposisi biner yang dimaksud adalah salah satu faktor yang dipandang lebih penting dan lebih utama di bandingkan dengan sesuatu yang lain.
5)      Donna J. Haraway
Donna J. Haraway memiliki panadangan yang berbeda dengan kritikus feminisme  yang lain, Donna J. Haraway lebih mengutamakan pemanfaatan teknologi modern.
Nyoman Kutha Ratna (2004: 197-104)
C.    Kritik Sastra Feminis
Dalam kaitannya dengan kritik sastra feminis, ada beberepa hal yang menjadi fokus kajian dalam kritik sastra feminis. Yang pertama, yang menjadi fokus kajian sastra feminis adalah menggali, mengaji, dan menilai karya sastra perempuan dari masa silam, karena dari berbagai macam hasil karya sastra, ternyata hanya ada beberapa yang menjadi buah dari karya kaum perempuan. Kedua, para kritikus sastra feminisme menitikberatkan kajian terhadap karyan sastra dengan pendekatan feminisme. Ketiga, kritikus feminisme berhasrat mengetahui nilai estetika yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Apakah karya tersebut benar-benar memiliki nilai estetika atau tidak.
D.    Jenis-Jenis Kritik Sastra Feminisme
Dari ketiga pembagian yang menjadi dasar kritik sastra di atas maka dapat di golongkan beberapa jenis-jenis kritik sastra berdasarkan pedekatan feminisme :
1.       Kritik Ideologis
Kritik ini adalak kritik sastra yang memepertajam pisau analisis feminisme terhadap citra seorang perempuan terhadap karya sastra, juga menganalisis sebab-sebab tidak diperhitungkannya perempuan dalam menciptakan sebuah karya sastra.
2.      Kritik yang Mengaji Penulis-penulis Wanita
Kritik sastra feminisme yang berkaitan dengan mengaji penulis-penulis perempuan adalah kajian yang dipusatkan pada analisis sejarah para sastrawan perempuan, tema yang diangkat dalam karya sastra, genre, dan struktur penulisan.
3.      Kritik Feminis Sosial
Kritik ini mengaji para tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam sebuah karya sastra, dilihat dari sudut pandang kelas sosial dan kedudukan dalam keluarga.
4.      Kritik Feminis-Psikoanalisis
Kritik ini meneliti karya para perempuan, karena para feminisme percaya bahwa pembaca perempuan selalu menempatkan dirinya sebagai tokoh dalam cerita.
5.      Kritik Feminis Lesbian
Kritik ini hanya mengaji penulis perempuan saja, namun kritik ini masih sangat terbatas disebabkan karena beberapa faktor salah satunya masih kurang jelasnya pendefinisian terhadap makna Lesbian itu sendiri.
6.      Kritik Feminis Etnik atau Ras
Kritik ini beranjak dari politik yang pernah berjaya di Amerika yaitu politik Apartheit tentang perbedaan warna kulit, yang pada saat itu kelompok yang memiliki warna kulit hitam dideskriminasi. Ekarini (2003)

E.    Penerapan Kritik Satra Feminis Terhadap Novel Indonesia
Cara kerja kritik sastra feminis secara metodologi mengikuti kritik sastra pada umumnya. Secara sistematik kegiatan diawali dengan kegiatan sebagai berikut:
a.     Memilih dan membaca karya sastra yang akan dianalisis dan dinilai.
b.     Menentukan fokus masalah yang sesuai dengan perspektif kritik sastra feminis.
c.      Melakukan kajian pustaka untuk memahami sejumlah konsep teoretik yang berhubungan dengan fokus masalah yang akan dipahami dan tulisan kritikus maupun peneliti sebelumnya yang membahasa masalah yang sama atau mirip.
d.     Mengumpulkan data primer maupun sekunder yang releven dengan fokus masalah yang akan dianalisis.
e.      Menganalisis data dengan menggunakan perspektif kritik sastra feminis
f.       Menginterpretasikan dan memberi penilaian terhadap hasil penelitian sesuai dengan ragam kritk sastra feminis yang dipilih.
g.     Menulis laporan kritik sastra menggunakan dengan bahasa yang sesuai dengan media yang kan dipilih untuk memplubikasikan.
Penerapan Kritik Sastra Feminis terhadap Novel-novel Indonesia
a.      Latar Belakang Masalah
Penyataan dapat dilatarbelakangi oleh pemikiran tentang adanya hubungan antara kara sastra dengan kenyataan. Seperti dikemukakan oleh Teeuw (1984:228) bahwa ada hubungan ketegangan antara kenyataan dan rekaan dalam roman (novel).
b.      Tujuan
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan citraan perlawanan simbolis yang terwujud dalam ideologi kesetaraan gender yang diangkat dalam sejumlah novel indonesia-terhadap hegemoni patriarkat dalam bidang pendidikan dan peran perempuan di sektor publik.
c.       Manfaat Penelitian
Hasil kajian diharapkan dapat memeberikan manfaat bagi masyarakat pembaca, khususnya mahasiswa, dosen, dan peneliti, sebagai salah satu sarana penyadaran kesetaraan gender di bidang pendidikan dan peran perempuan di sektor publik.
d.      Kajian Pustaska.
Dalam penelitian ‘’ Pasca Kolonialitas dan Si Feminin dalam Sastra Indonesia Modern,’’(Hatley,2006) dikaji sejumlah novel Indonesia 1920-an sampai novel Saman karya Ayu Utami, dengan fokus bagaimana perempuan dikonstruksi dalam karya-karya tersebut. Dari kajiannya, Hetley menyimpulkan bahwa apa yang ditulis oleh penulis-penulis wanita pribumi mengenai pengalaman wanita Indonesia pada masa kolonial/pascakolonial, yang dijajarkan dengan pelukisan oleh penulis-penulis pria, menunjukkan jawaban kreatif dan penuh semengat dari wanita terhadap kesempatan-kesempatan yang dibuka oleh kontak kolonial untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan gaya Eropa, berpartisipasi dalam proyek nasionalis, dan membangun rumah tangga yang modern.

e.       Kajian Teori
Novel sebagai Sarana Pencitraan Perlawanan Simbolis melalui sebuah karya sastra
1)      Perlawanan yang dilakukan (novel) merupakan perlawanan yang bersifat simbolis. Hal ini karena perlawanan tersebut dilakukan melalui kata-kata gagasan yang diungkapkan dalam sebuah novel. Sebagai mana dikemukakan oleh Damono (dalam Kratz, peny) bahwa sastra mencerminkan persoalan sosial yang ada di dalam masyarakat.
2)      Hegemoni Patriarkat dalam Ranah Privat dan Publik.
Dalam konteks gender dikemukakan bahwa hubungan antara perempuan dan laki-laki, serta pembagian peran sosial dan privat antara perempuan dengan laki-laki telah diatur oleh sebuah ideologi gender yang dikenal dengan istilah patriarkat. Patriarkat adalah sistem hubungan antara jenis kelamin yang dilandasi hukum kebapakan. Walby (1989:213-220) menjelaskan bahwa patriarkat adalah sebuah sistem dari struktur sosial, praktik yang menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, menindas, dan mengeksplolitas perempuan. Hegemoni patriarkat dalam ranah domestik tampak disosialisasikan melalui Panca Dharma Wanita. Di dalamnya dikemukakan bahwa wanita sebagai: 1) pendamping suami, 2) ibu sebagai pendidik dan pembina generasi muda, 3) pengatur ekonomi rumah tangga, 4) pencari nafkah tambahan, 5) anggota masyarakat terutama organisasi wanita, badan-badan sosial yang intinya menyumbangkan tenaga kepada masyarakat sebagai relawan.
3)      Kritik Sastra Feminis
Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra (kajian sastra) yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang mengiginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupuun dalam karya sastra-karya sastranya.lahirnya kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan dari gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikat pada 1700-an (Madsen,2000: 1).
f.       Cara Penelitian
Penelitian ini menngunakan metode yang bersifat deskriptif kualitatif. Metode deskriptif dapat diuraikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
g.      Sumber Data
Sumber data ditentukan secara purposive, yaitu novel-novel yang secara intens mengangkat isu pentingya pendidikan dan peran permpuan di sektor publik, yaitu Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, Kehilangan Mestika (1935) karya Hamidah, Layar Terkembang (1936) karya Sultan Alisyahbana. Data dicatat dalam kartu data dan diklasifikasikan sesuai dengan informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Analisis data dengan teknik deskriptif kualitatif untuk menemukan adanya perlawanan simbolis, melalui ideologi yang diangkat dalam sejunlah novel ‘’In’’ ketidakadilan gender dalam bidang pendidikan dan peran perempuan Indonesia di sektor publik.
h.      Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif melalui kegiatan kategorisasi, tabulasi, dan inferensi. Kategorisasi digunakan untuk mengelompokkan data berdasarkan kategori yang telah ditetapkan. Tabulasi digunakan untuk merangkum keseluruhan data dalam bentuk tabel. Inferensi digunakan untuk menginterpretasikan dan menyimpulkan hasil penelitian sesuai dengan permasalahan penelitan.
i.        Hasil Analisis
1)      Perlawanan Simbolis terhadap Tradisi Pingitan dengan pendidikan bagi perempuan.
Pingitan adalah sebuah tradisi yang ada di beberapa masyarakat di Indonesia yang mengharuskan seorang anak perempuan berumur 12 tahun harus tinggal di rumah, sampai mendapatkan jodohnya. Di samping harus berhadapan dengan tradisi pingitan yang berlaku tidak hanya di Jawa tetapi juga daerah lain di luar Jawa, seperti yang tergambar dalam sejumlah novel (Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya,Kehilangan Mestika), para perempuan yang akan belajar di sekolah juga terkendala oleh jumlah sekolah yang masijh terbatas, yang tidak semuanya dapat dimasuki oleh perempuan.
2)      Perlawanan Simbolis terhadap Domestikasi Perempuan dengan Masuknya Perempuan ke Arena Publik.
Masuknya perempuan ke arena publik menunjukkan adanya perlawanan terhadap kultur patriarkat yang menempatkan perempuan di ranah privat. Dengan masuk ke arena publik perempuan telah berusaha merekontruksi sejarah hidupnya, dengan membangun identitas baru bagi dirinya, tidak hanya sebagai istri/ibu, tetapi juga sebagai pekerja dan perempuan karier.
3)      Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa perlawanan terhadap hegemoni patriarat dilakukan melalui perjuangan para perempuan untuk mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan dan peran di ranah publik, baik sebagai perempuan bekerja maupun aktivis organisasi perempuan


DAFTAR PUSTAKA
Patricia Waugh. 2006. Literaty Theory and Criticism. New York. Oxford University Press.
Ratna, Nyoman. 2009. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Awal. Malang: UMM Press
http://sutrie.blogspot.com/2012/11/penerapan-kritik-satra-feminis-terhadap.html