Dekonstruksi pada Novel Test Pack
karya Ninit Yunita
Mengenai Komitmen dalam Pandangan
Masyarakat
A. Pendahuluan
Dekonstruksi merupakan suatu kajian
yang kontroversial, terutama bagi masyarakat dunia yang tidak beridealisme
komunis. Padahal kajian ini sangat berpengaruh pada segi humaniora terutama
pada kajian sastra. Dekonstruksi ialah pengembangan dari observasi yang
dilakukan oleh Ferdinand de Saussure tentang hubungan antara penanda dan
petanda (kata dan makna) yang bersifat arbitrer (Derrida dalam Sim, 2002: 59).
Derrida kemudian menyusun puing-puing yang tertinggal dari bangunan teks,
menghancurkannya kembali, menatanya lalu merombaknya kembali (Derrida dalam
Al-Fayadl, 2005: 79). Pendapat dari Derrida tersebut memiliki arti bahwa
dekonstruksi bukan hanya suatu hal yang hanya menghancurkan sesuatu seperti
yang selama ini kita maknai tentang dekonstruksi, akan tetapi dekonstruksi juga
berupaya untuk menata kembali apa yang telah dihancurkan.
Derrida dalam Ratna (2004: 222)
mengemukakan bahwa teori dekonstruksi adalah penolakan terhadap logosentrisme
dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan
cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis. Dekonstruksi
merupakan pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun,
sebagai bentuk yang baku. Dengan kata lain, dekonstruksi adalah cara-cara
pengurangan terhadap suatu intensitas konstruksi, yaitu gagasan, bangunan, dan
susunan yang sudah baku, bahkan universal.
Argus (2002) mengemukakan
dekonstruksi merupakan suatu metode analisis yang dikembangkan oleh Jacques
Derrida dengan membongkar struktur dan kode-kode bahasa, khususnya struktur
oposisi pasangan, sedemikian rupa, sehingga menciptakan satu permainan tanda
tanpa akhir dan tanpa makna akhir.
Sasaran dari dekonstruksi ialah
mempertimbangkan sejauh mana seorang pengarang mempergunakan pola-pola bahasa
dan pemikiran untuk memberi bentuk kepada suatu visi tertentu (Luxemburg, 1986:
60).
Dekonstruksi adalah sebuah upaya
saksama untuk menganalisis teks dengan mencoba mengungkapkan berbagai
kemungkinan yang sebetulnya terkandung di dalamnya, termasuk yang tertindas
atau terselubung, baik sengaja, sadar, atau tidak, dengan cara membongkarnya.
Hal ini dilakukan dengan analisa tekstual yang ketat, menjajaki dan mencoba
menemukan berbagai kandungan lanjut maknanya, termasuk beragam makna alternatif
yang mungkin bisa dimunculkan darinya.
Sasaran dekonstruksi lebih lanjut
adalah pada kecenderungan berpikir dalam model oposisi biner, seperti hidup
atau mati, ada atau tiada, siang atau malam, laki-laki atau perempuan, dan
seterusnya. Sesungguhnya, cara berpikir ini juga masih berkaitan, dan bahkan
mendasari phallogosentrisme maupun metafisika, karena menuding pada rasional
atau tak rasional, dan di pusat atau di luar pusat. Dalam hal ini, Derrida
memprovokasi bagaimana seandainya dualisme ini sebenarnya sungguh tak mewakili
realitas permasalahan, dan hanya sebuah tradisi panjang pemaksaan rasionalitas
terhadap sejarah pemaknaan dan peradaban belaka.
Dekonstruksi dilakukan dengan cara
memberikan perhatian terhadap gejala-gejala yang tersembunyi, sengaja
disembunyikan, seperti ketidakbenaran, tokoh sampingan, perempuan, dst. Berbeda
dengan teori strukturalisme, dalam analisis penokohan misalnya, strukturalisme
selalu membicarakan tokoh utama, kesua, ketiga, dst. Dengan konsekuensi tokoh
terakhir hanya berfungsi sama sekali. Dalam kritik sastra, yang penting bukan
siapa yang berbicara, melainkan apa yang dibicarakan, yaitu karya itu sendiri.
B. Analisis Novel Test Pack
karya Ninit Yunita
Dalam novel
ini, pengarang yaitu Ninit Yunita ingin mengubah pandangan masyarakat yang
umumnya mengutamakan kehadiran seorang anak dalam setiap pernikahan. Selama
ini, setiap pasangan menikah karena menginginkan anak dari pernikahan mereka.
Seakan-akan memiliki anak pasca pernikahan merupakan hal utama yang
didamba-dambakan setiap pasangan suami-istri, dan anak seakan-akan merupakan
bukti cinta atau buah cinta dari sang suami dan istri. Namun Ninit Yunita
melalui novel Test Packnya ini ingin mengubah pandangan masyarakat
mengenai hal tersebut.
Dalam novel Test
Pack, melalui tokoh Arista Natadiningrat atau Tata dan Rahmat
Natadiningrat, sang pengarang ingin mengubah pandangan masyarakat mengenai
tujuan utama dalam pernikahan, serta betapa pentingnya komitmen dalam sebuah
hubungan. Tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sempurna untuk
menghasilkan anak atau meneruskan keturunan setelah menikah. Tidak semua
pasangan bisa mempunyai anak setelah mereka menikah. Hal tersebut bisa
dikarenakan kesalahan mereka sendiri yang kurang menjaga kesehatan, atau
mungkin karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna
dibandingkan makhluk-makhluk Allah yang lain, namun tidak ada manusia yang
sempurna di dunia ini. Sehingga tak sedikit pula pasangan yang belum juga
dikaruniai anak setelah mereka menikah, bahkan setelah bertahun-tahun menikah.
Ninit Yunita
dalam novelnya menceritakan tokoh Tata dan Rahmat sebagai suami istri yang
telah 7 tahun menikah namun belum juga dikaruniai seorang anak. Hal tersebut
terbukti melalui pernyataan Rahmat sebagai berikut.
Kami sudah
menikah selama 7 tahun dan selama itu lah gue dan Tata melakukan intensifikasi
penyerbukan. Berbagai cara sudah kami coba. Mulai dari mengonsumsi toge yang
tidak wajar sampai bercinta berdasarkan shio. Namun sampai saat ini kami belum
memperoleh anak. (Yunita, 2005: 19)
Kehadiran
seorang anak memang selalu didambakan setiap pasangan setelah menikah, namun
tidak semua pasangan diciptakan sempurna dan mampu memiliki anak, seperti pasangan
Tata dan Rahmat. Segala cara telah mereka lakukan, terutama Tata yang sangat
mendambakan anak setelah usianya menginjak 30 tahun.
Melalui
tokoh Tata, Ninit mengungkapkan pendapatnya bahwa anak bukan hal utama dalam
pernikahan. Pandangan masyarakat yang berkembang saat ini, ketika bertemu
dengan teman lama atau kenalan lama, hal pertama yang sering ditanyakan adalah
jumlah anak dipunyai saat ini, tampak dari percakapan berikut.
“Diaaan …
hey, udah punya anak berapa sekarang?”
“Baru satu,
Ris.”
“Belum
nambah nih?” Perempuan cantik yang bernama Riska itu mencium pipi kanan dan
kiri Dian.
(Yunita,
2005: 27)
“Anakmu
sudah berapa, Ta?”
Tiba-tiba
Riska mengarahkan pertanyaan yang super sensitif itu ke gua. Lutut gua lengsung
terasa lemas. Nooo… kenapa sih harus pertanyaan itu?
“Belum
punya, Ris …” Gua menggeleng pelan.
(Yunita,
2005: 28)
Di atas
merupakan percakapan yang dilakukan Tata, Dian sahabat Tata, dan Riska sahabat
Dian yang sudah lama tidak bertemu saat mengobrol santai. Dari percakapan tersebut
tampak kesedihan dalam hati Tata, mengapa pertanyaan itu yang sering
dilontarkan orang-orang saat pertama kali bertemu dengan teman lama. Padahal
tidak semua manusia yang beruntung dapat memiliki anak setelah menikah, sama
halnya seperti Tata yang belum juga punya anak. Kekecewaan Tata terungkap pula
melalui pernyataannya berikut.
“Anakmu
sudah berapa?”
Ya … itu
pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Riska.
Bukan apa
kabar.
Bukan berapa
gelar yang berjajar di belakang namanya.
Or if she
collects diamond or not.
Or if the
bag is the real Prada or the fake one.
(Yunita,
2005: 30)
She didn’t
ask me anything else but,
“Anakmu
sudah berapa, Ta?”
(Yunita,
2005: 30)
Pertanyaan
yang sama juga dilontarkan oleh Sinta Setiorini mantan pacar Rahmat kepada
Rahmat, saat mereka bertemu di kantor Rahmat.
“Anak udah
berapa, Mat?”
“Belum ada.”
“Serius?”
“Iya.”
(Yunita,
2005: 72)
Diceritakan
dalam novel ini bahwa Tata dan Rahmat belum juga dikaruniai anak karena Rahmat infertil,
sehingga secara biologis mereka berdua tidak akan bisa dikaruniai anak. Namun
di akhir cerita dikisahkan bahwa komitmen dalam sebuah pernikahan adalah yang
lebih penting. Banyak dicontohkan pasangan sempurna yang telah dikaruniai anak,
tidak dapat menjaga cinta mereka dan belum berkomitmen bahwa dalam pernikahan
sebuah pengertian dan kesetiaan adalah yang lebih penting, bukan semata-mata
karena kehadiran anak. Sehingga banyak pernikahan yang ternoda walaupun anak
telah menjadi buah cinta mereka.
Di sini,
Tata dan Rahmat dikisahkan sebagai pasangan yang mampu dijadikan contoh. Tidak
selamanya pasangan kita akan terus sama seperti yang kita harapkan, karena
mereka juga manusia yang pasti memiliki kekurangan. Tidak selamanya pasangan
kita akan terus cantik atau tampan, tetap terlihat muda sampai kapan pun, akan
tetap pandai, tetap kaya, tetap baik, tetap mencintai kita. Namun komitmen
telah membawa Tata dan Rahmat menjadi pasangan yang mampu mengatasi
permasalahan pelik yang menimpa mereka berdua, yaitu bahwa secara biologis
mereka tidak akan dikaruniai anak. Komitmen menjadi kekuatan yang akan terus
mampu mempertahankan apa yang telah menjadi harapan mereka. Berikut kutipan
pernyataan pendukung oleh tokoh Tata.
Orang sering
mendasari cinta atas hal-hal yang dianggap indah.
…
Jarang dari
mereka (dan mungkin kita sendiri) berpikir :
…
‘I love him
because of the way he makes me feel’.
Then what
happens if he stops making you feel that way?
….
Jarang ada
yang mengatakan:
‘Saya sayang
dia karena saya ingin sayang dia.’
Itulah
komitmen. Komitmen adalah sumber kekuatan bukan sesuatu yang justru membuat
orang takut untuk menghadapinya.
Komitmen
adalah sumber kekuatan bagi seorang istri untuk pergi jauh melihat baik dan
buruknya suami. Menerima dia ketika sedang tampan dan menerima juga manakala
dia sedang menguap dengan jeleknya saat bangun pagi.
Komitmen
adalah sumber kekuatan bagi seorang suami ketika mengetahui seorang wanita lain
mengajaknya berselingkuh dan ia memilih pulang ke rumah untuk makan malam
dengan istri dan berbagi kisah sambil tertawa.
…
(Yunita,
2005: 222-224)
Komitmen
telah menjadi kekuatan cinta mereka. Dan melalui novel ini, Ninit Yunita ingin
mengubah paradigma masyarakat bahwa dalam sebuah cinta khususnya pernikahan
perlu didasari adanya komitmen yang nantinya akan mampu menjaga perjalanan
cinta mereka. Sebab pernikahan tidak selalu indah seperti yang dibayangkan,
sehingga komitmen diperlukan untuk menjaga sebuah pernikahan agar selalu terasa
indah.
Dan komitmen
juga yang membawa gua untuk tetap berada di sisi Kakang. Tetap menjadi istrinya
dengan menyadari bahwa pernikahan bukan hanya untuk memiliki anak. Pasangan
lain mungkin dikaruniai sesuatu yang sempurna dengan memiliki anak. But in
fact, tanpa memiliki anak tidak menghalangi gua untuk bahagia bersama Kakang.
(Yunita,
2005: 224)
Ninit Yunita
dalam novel Test Pack mengungkapkan isi hatinya bahwa cinta saja tanpa
dilandasi komitmen tidak akan berkekuatan. Sebab cinta manusia tidak akan
kekal, banyak sekali faktor yang melandasi seseorang merasakan cinta. Pandangan
masyarakat tersebut ingin diubah oleh Ninit melalui novel ini, yang dikisahkan
oleh Tata dan Rahmat. Pentingnya komitmen dalam sebuah hubungan akan mampu
menjaga keutuhan cinta, dengan saling menghargai satu sama lain, serta saling
menerima kekurangan masing-masing.
SINOPSIS NOVEL TEST PACK
Sebagian dari kita mungkin ada yang
mencintai seseorang karena keadaan sesaat. Karena dia baik, karena dia pintar,
even mungkin karena dia kaya. Tidak pernah terpikir apa jadinya, kalau dia
mendadak jahat, mendadak tidak sepintar dahulu, atau mendadak miskin.
Will you still love them, then?
That’s why you need commitment.
Don’t love someone because of
waht/how/who they are.
From now on, start loving someone,
because you want to.
7 tahun menikah
dan belum juga dikarunia seorang anak membuat Tata semakin resah. Ia sudah
mewanti-wanti agar memiliki anak sebelum umurnya menginjak usia 30 tahun.
Namun, sampai usianya yang sudah menginjak 32 tahun pasangan suami istri, Rahmat dan
Tata ini belum juga dikarunia seorang anak.
I’m dying to have a baby :(
God.... why can’t I just have one? Gua
sering nanya ke diri gua sendiri. Kenapa gua yang pengen punya anak, susah
banget dapetnya? Sementara gua baca koran dan majalah, nonton berita di TV,
denger radio.... begitu banyak perempuan yang aborsi :(
Suami Tata yang
bernama Rahmat Natadiningrat,
seorang psikolog yang memiliki sifat kekanakan dan super santai. Sifatnya yang super santai ini membuat Tata
berpikir bahwa suami yang ia cintai ini tidak memiliki keinginan untuk mempunyai
anak. Berbeda dengan Tata yang khawatir akan tidak memiliki anak, sebaliknya
Rahmat malah terlihat santai-santai saja dengan 7 tahun hidupnya dengan Tata
yang tidak kunjung memiliki anak. Rahmat
pun mulai berpikir bahwa memiliki anak is not the most important thing in our
marriage pun memiliki alasan tersendiri mengapa ia mengatakan hal itu.
“Kok Kakang bisa sih nggak mikir. Kalo
Neng nggak hamil berarti kan garis keturunan Natadiningrat bisa punah, Kang.
Kamu kan anak laki-laki satu-satunya.”
“Please... Neng punya anak kan bukan
segalanya.”
“Jangan-jangan kamu nggak pengen ya
punya anak?”
Lalu Tata mulai
mengambil hipotesis bahwa bisa saja penyebab dia tak kunjung hamil karena dia
mandul membawanya ke klinik dokter Peni
S, seorang dokter ahli kandungan.
Tata ingin membuktikan apakah karena dia interfil maka itulah yang
menyebabkan ia tak kunjung hamil. Setelah menjalani prosedur ini itu, hasil
dari berbagai tes yang dijalani Tata pun keluar dan menyatakan bahwa Tata tidak
mengalami infertil. Namun...
“ Ke klinik? Ngapain? Kan udah jelas kamu
nggak apa-apa Neng,”
“Bukan saya, tapi kamu.”
“Tes sperma, Kang.”
“Tes sperma?”
“Iya...karena kata Dokter Peni,
infertilitas bisa datang dari istri atau suami atau keduanya.”
Sebuah kenyataan pahit datang kepada Rahmat,
amplop berisi lembaran hasil lab akan tes spermanya menyatakan bahwa ia infertil/mandul dimana spermanya memiliki kualitas sperma
yang rendah dan spermatoza masih tidak ada. Rahmat yang tidak ingin Tata
mengetahui kenyataan ini karena hal ini sudah cukup menghancurkan impian Tata
untuk memiliki anak akhirnya menyembunyikan
hasil lab tersebut.
Disisi lain hadirlah Shinta, mantan pacar Rahmat
saat kuliah dan sekarang sudah menjadi model terkenal. Kehadiran Shinta sebagai
tempat curhat Rahmat karena Shinta juga seorang istri yang mengalami infertil
dan tidak bisa memiliki anak.
Namun
sepintar-pintarnya engkau menyembunyikan rahasia, pastinya akan ketahuan juga.
Tata menemukan hasil tes sperma Rahmat dan tidak bisa menyembunyikan kemarahannya
kepada Rahmat, emosi dan kekecewaan
yang ia rasakan membuatnya angkat kaki
dari rumahnya dan kembali kembali ke rumah orang tuanya. Setelah itupun,
kesalahpahaman terus berlanjut antara Rahmat dan Tata.
“Saya hanya ingin ngasih tahu bahwa
malam ini saya pergi....”
“Pergi ke mana, Ta?”
“Pergi selamanya dari hati kamu.”