BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa meupakan alat
komunikasi yang digunakan manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya. Dengan
menguasai bahasa, maka manusia dapat mengetahui dunia dan memperoleh
pengetahuan yang belum pernah terpikir dan terbayangkan sebelumnya. Bahasa
sebagai alat komunikasi dapat dilakukan secara lisan dan tulis, tetapi pada
pelaksanaannya penggunaan bahasa tulis lebih sulit dilakukan karena harus
sesuai dengan kaedah yang ada yang akan menentukan dan mendukung kelancaran dan
kesempurnaan proses komunikasi. Seseorang tidak akan dapat menyampaikan pesan,
kesan, perasaan, gagasan dan informasi dengan efektif apabila syarat dan kaidah
bahasa tulis tidak dikuasainya.
Dalam komunikasi tulis
tentunya ada rentetan kalimat yang saling berkaitan dan mempunyai keserasian
makna yang disebut wacana. Dalam analisis kebahasaan wacana merupakan unsur
bahasa yang terlengkap dan terbesar setelah kalimat, karena analisis wacana
mengkaji potongan-potongan yang lebih besar daripada kalimat sebagai satu
kesatuan kemudian menghubungkan teks dengan situasi atau konteksnya. Wacana
yang memiliki keserasian makna tentunya memiliki keterkaitan antar kalimat,
bukan hanya satu kalimat saja karena harus ada referensi (acuan). Misalnya pada
kalimat berikut: “aku mencintai anaknya” elektik nya pada anaknya belum jelas
siapa yang dimaksud. Maksud kalimat itu akan jelas apabila ada kalimat lain
sebelum atau sesudah kalimat itu.
Referensi
dapat disebut pula acuan atau penunjuk. Referensi ialah penggunaan kata atau
frase untuk mengacu atau menunjuk pada kata, frase, atau satuan gramatikal yang
lain seperti klausa. Acuan adalah pemunculan kembali hal yang sama. Lyon (dalam
Brown dan Yule, 1996: 28) mendefinisikan referensi sebagai hubungan yang ada antara kata-kata dengan
benda-benda. Jadi, referensi merupakan acuan atau penunjukan kata yang sama
terhadap kata yang sudah ada.
Dalam
wacana lisan atau tulisan terdapat berbagi unsur seperti pelaku, perbuatan,
penderita, perbuatan, pelengkap perbuatan, perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku, dan tempat perbuatan. Unsur itu acapkali harus diulang-ulang untuk
mengacu kembali atau untuk menjelaskan makna. Oleh karena itu, pemilihan kata
serta penempatannya harus benar sehingga wacana tadi tidak hanya kohesif,
tetapi juga koheren. Dengan kata lain, referensinya atau pengacuannya harus
jelas. Referensi atau pengacuan mencakup dua hal, yaitu eksofora dan endofora.
Dalam tulisan ini akan dianalisis referensi (pengacuan) endofora yang
bersifat anafora dan katafora pada sebuah cerpen karya Asma Nadia
yang berjudul Cinta Laki-laki Biasa. Cerpen ini termasuk didalam kumpulan
cerpen Emak Ingin Naik Haji karya
Asma Nadia pada tahun 2009.
Alasan
secara umum dipilihnya cerpen sebagai objek kajian adalah bentuk cerpen yang
ringkas namun tetap menuntut pemilihan referensi (pengacuan) yang tepat agar
tetap berupa satu wacana utuh. Sedangkan alasan secara khusus dipilihnya cerpen
berjudul Cinta Laki-laki Biasa karena Cerpen ini
menceritakan kesetiaan
dalam kehidupan berumah tangga. Menurut saya sangat menarik Cerpen Cinta Laki-laki Biasa, memuat tentang kesederhanaan, kesabaran, dan
komitmen dalam berkeluarga. Hal tersebut tentunya menarik untuk mengangkatnya
di tengah-tengah fenomena perceraian dan perselingkuhan yang sering disaksikan
saat sekarang ini.
Selanjutnya, analisis teks dalam penelitian ini akan
menggunakan seluruh kalimat yang ada pada cerpen tersebut. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan hasil analisis yang lebih nyata karena masalah
referensi (pengacuan) adalah unsur-unsur dalam wacana cerpen tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di
atas, dapat dikemukakan bahwa pokok masalah dari penelitian ini adalah
referensi sebagai penghubung wacana tulis dalam cerpen. Dari pokok masalah itu dapat
identifikasikan beberapa rumusan masalah berikut ini.
1. Bagaimanakah bentuk referensi (pengacuan)
endofora dalam cerpen Cinta Laki-laki
Biasa yang bersifat anafora?
2. Bagaimanakah bentuk referensi (pengacuan)
endofora dalam cerpen Cinta Laki-laki
Biasa yang bersifat katafora?
C. Tujuan
Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan referensi
(pengacuan) endofora dalam cerpen Cinta
Laki-laki Biasa yang bersifat anafora.
2. Mendeskripsikan referensi
(pengacuan) endofora dalam cerpen Cinta
Laki-laki Biasa yang bersifat katafora.
D. Manfaat
Penelitian
Diharapkan hasil penelitian
ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Menambah wawasan dalam mengkaji
kepaduan suatu wacana dari aspek referensi (pengacuan) yang mendukungnya.
2. Memberikan masukan bagi mereka yang
tertarik dengan masalah analisis wacana dan Sebagai bahan referensi dan sumber informasi untuk penelitian sejenis.
BAB
II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian
Wacana
Odein (2004:104) Wacana merupakan
satuan linguistik yang terdiri atas rangkaian ujaran (kalimat) yang saling
berhubungan dan mengungkapkan satu pokok pikiran tertentu. Wacana merupakan
satuan linguistik terbesar dan paling lengkap. Alwi (1998:421) konteks wacana
dibentuk oleh berbagai unsur, yaitu situasi, pembicara, pendengar, waktu ,
tempat , adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, saluran.
B. Pengertian
Cerpen
Edgar Allan Poe (Jassin 1961:72 dalam
Nurgiantoro 2004:10)
yang mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam
sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam satu hal yang
tak mungkin dilakukan bagi sebuah novel. Disebabkan oleh panjangnya maka
kemungkinan besar pembaca dapat menyelesaikan pembacaannya dalam waktu yang
relative singkat.
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pengertian cerpen adalah suatu cerita yang relatif pendek, singkat, jika dikaitkan dengan
genre cerita hanya memiliki efek tunggal, dan bisa dibaca dalam sekali duduk.
C. Referensi (Pengacuan)
Secara tradisional referensi
berarti hubungan antara kata dengan benda. Kata buku mempunyai referensi
(tunjukan) kepada sekumpulan kertas yang terjilid untuk ditulis atau dibaca.
Ketika membicarakan pandangan semantik
Lyon (dalam Brown 1996:28) mengatakan bahwa hubungan antara kata dengan
bendanya adalah hubungan referensi: kata-kata menunjuk benda. Pandangan kaum
tradisional ini terus berpengaruh dalam bidang linguistik (seperti Semantik
Leksikal) yang menerangkan hubungan yang ada itu adalah hubungan antara bahasa
dengan dunia (benda) tanpa memperhatikan si pemakai bahasa tersebut. Tetapi
Lyon pada pernyataan yang terbaru, ketika membicarakan referensi tanpa
memperhatikan si pembicara tidaklah benar. Si pembicara yang paling tahu
tentang referensi kalimatnya.
Dari keterangan tersebut, dapat kita
ketahui bahwa pada analisis wacana referensi itu dianggap sebagai tindak tanduk
dari si pembicara atau si penulis. Dengan kata lain, referensi dari sebuah
kalimat sebenarnya ditentukan oleh si pembicara atau si penulis. Kita sebagai
pembaca atau pendengar hanya dapat menerka apa yang dimaksud (direferensikan)
oleh si pembaca atau si penulis.
Senada dengan pernyataan itu
Djajasudarma (1994:51) mengemukakan bahwa secara tradisional, referensi
merupakan hubungan antara kata dan benda, tetapi lebih lanjut dikatakan sebagai
bahasa dengan dunia. Ada pula yang menyatakan referensi adalah hubungan bahasa
dengan dunia tanpa memperhatikan pemakai bahasa. Pernyataan demikian dianggap
tidak berterima karena pemakai bahasa (pembicara) adalah penutur ujaran yang
paling tahu referensi bahasa yang diujarkanya.
Pengacuan atau referensi adalah salah
satu jenis kohesi gramatikal atau berupa satuan lingual tertentu yang mengacu
pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Referensi (penunjukan)
adalah penggunaan kata atau frasa untuk menunjuk atau mengacu kata, frasa, atau
mungkin juga satuan gramatikal yang lain. Dengan demikian, dalam penunjukan
terdapat dua unsur, yaitu unsur penunjuk dan unsur tertunjuk. Kedua unsur
itu haruslah mengacu pada referen yang sama.
Referensi dalam analisis wacana dapat
berupa endofora (anafora dan katafora) dan eksofora. Endofora bersifat
tekstual, referensi (acuan) ada di dalam teks, sedangkan eksofora bersifat
situasional (acuan atau referensi di luar teks). Endofora terbagi atas anafora
dan katafora berdasarkan posisi (distribusi) acuannya (referensinya). Anafora
merujuk silang pada unsur yang disebutkan terdahulu; katafora merujuk silang
pada unsur yang disebutkan kemudian (Dajajasudarma 1994:51).
D. Referensi Endofora
Referensi endofora bersifat tekstual, referensi (acuan) ada
di dalam teks, sedangkan referensi
eksofora bersifat situasiona, referensi
(acuan) ada di luar teks. Endofora terbagi atas anafhora dan katafora
berdasarkan posisi (distribusi) acuannya (referensinya). Anafora merujuk silang
pada unsur yang disebutkan terdahulu; katafora merujuk silang pada unsur yang
disebutkan kemudian (Fatimah Djajasudarma, 1994: 49).
Sifat yang diacu di dalam referensi endofora adalah
koreferensial. Referensi endofora mencakup referensi persona, referensi
penunjukan, referensi perbandingan. Referensi persona adalah penunjukan kembali
fungsi atau peran dalam situasi ujaran dengan menggunakan kategori persona
(Halliday dan hasan, 1976: 37). Referensi persona diekspresikan melalui
pronominal atau determinator (pewatas). Hal ini digunakan untuk
mengidentifikasi orang dan objek yang disebutkan dalam suatu titik dalam teks
(Nunan, 1993:23). Determinator adalah
partikel yang ada di dalam lingkungan nomina ( di depan atau dibelakangnya) dan
membatasi maknanya (Kridalaksana, 1993:41). Referensi persona ini dapat
bersifat eksofora (situasional) yang mengacu kepada sesuatu di luar teks dan
endoforis (tekstual) yang mengacu kepada sesuatu di dalam teks. Sementara itu untuk
referensi perbandingan dinyatakan dengan adjektiva dan adverbial dan berfungsi
untuk membandingkan unsure-unsur di dalam teks yang dipandang dari segi
identitas atau kesamaan.
Berdasarkan arah atau acuannya, referensi endofora terbagi
menjadi dua macam, yaitu referensi anafora dan katafora (Halliday dan Hasan,
1976: 33). Referensi anafora adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa
satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang
mendahuluinya, atau mengacu anteseden di sebelah kiri, atau mengacu pada unsure
yang telah disebutkan terdahulu. Sedangkan referensi katafora adalah salah satu
kohesi garamatikal yang berupa satual lingual tertentu yang mengacu pada atuan
lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu anteseden disebelah kanan, atau
mengacu pada unsure yang baru disebutkan kemudian (Indiyastini,
2006:39).Dapat digambarkan di dalam
bagan berikut ini:
Referensi
Eksofora Endofora
(Situasional) (Tekstual)
Anafora Katafora
(Kea arah yang (ke
arah yang
telah disebutkan)
disebutkan kemudian)
Seperti yang telah dikemukakan, referensi atau pengacuan
endofora itu memiliki hubungan interpretasi kata di dalam kata. Contoh berikut
ini menggambarkan bagaiman hubungan antara pengacu dan yang mengacu di dalam
referensi endofora.
1) Bu
Mastuti belum
mendapat pekerjaan, padahal dia
memperoleh ijazah sarjananya dua tahun lalu (Alwi, dkk, 2000:43)
2) Setelah dia masuk, langsung Tony
memeluk adiknya (Alwi, dkk, 2000: 43).
Contoh (1) merupakan bentuk anafora, hal ini ditandai kata dia beranafora dengan Bu Mastuti. Sedangkan di dalam contoh
(2) merupakan katafora yang ditandai dengan kata dia mengacu pada konstituen yang berada di sebelah kanan, yaitu Tony.
Baik dalam anafora maupun katafora selalu melibatkan satuan
lingual yang berperan sebagai “acuan” dan satuan lingual lain yang “mengacu”.
Satuan lingual yang dijadikan sebagai acuan disebut dengan anaphorisé (satuan lingual yang menjadi acuan dalam anafora) atau cataphorisé(satuan lingual yang menjadi
acuan katafora), keduanya secara umum dikenal dengan istilah l’antécédent. Sedangkan satuan lingual
yang mengacu pada satuan lingual lainnya dikenal dengan anaphorisant (satuan lingual yang mengacu pada satuan lingual yang
lain dalam anafora) atau cataphorisant
(satuan lingual yang mengacu pada satuan lingual yang lain dalam katafora)
BAB III
METODE
PENELITIAN
A. Jenis
Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang kepaduan wacana yang
ditinjau dari aspek gramatikal yang
melatar belakangi wacana cerita pendek.
Berdasarkan hal tersebut, maka jenis penlitian ini adalah penelitian kualitatif
deskriptif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan
data deskriftif yang berupa kata-kata atau lisan objek yang diamati. Tahap
penyediaan data dilakukan untuk mendapatkan fenomena lingual khusus yang
mengandung keterkaitan dengan rumusan masalah. Penyediaan data dilakukan untuk
kepentingan analisis. Selain itu, dilakukan juga pendekatan penulisan dengan
interpretasi data. Pendekatan tersebut digunakan dalam menganalisis penanda
kohesi gramatikal pengacuan endofora dalam cerpen Cinta Laki-laki Biasa karya dari Asma Nadia.
B. Data
dan Sumber Data
Chaer (2007:64)
data dalam kajian wacana adalah wacana itu sendiri, baik wacana yang panjang
maupun wacana yang pendek, baik wacana secara keseluruhan (satu karangan)
maupun hanya sebagian (beberapa paragraf). Dari bahan itulah, diharapkan objek penelitian dapat
dijelaskan. Karena di dalamnya
terdapat objek penelitian yang dimaksud. Dalam makalah ini akan disajikan
data-data berupa penggalan kata-kata, kalimat atau paragraf untuk
diidentifikasi unsur-unsur penanda kohesi gramatiakal pengacuan, baik yang
bersifat anafora
dan yang bersifat katafora.
Dalam malakah
ini data-data yang disajikan berupa kutipan-kutipan, kalimat, dan paragraf
untuk mengidentifikasi unsur – unsur yang membangun karya sastra cerpen.
Sumber data diperoleh dari naskah cerpen berjudul Cinta Laki-laki Biasa karya Asma Nadia, yang diperoleh dari Kumpulan
Cerpen Emak Ingin Naik Haji tahun
2010. Kumpulan Cerpen ini diterbitkan oleh Gramedia.
C. Metode
Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah metode simak. Metode simak merupakan cara pengumpulan
data dengan menyimak
penggunaan
bahasa (Sudaryanto, 1993:133). Yang disimak dalam penelitian ini adalah wacana
tulis dalam cerpen Cinta Laki-laki Biasa. Metode ini
juga digunakan untuk memilah wujud dan jenis penanda referensial sebelum
dimasukkan dalam korpus data. Data dikumpulkan dengan teknik catat. Teknik
pencatatan dilakukan dengan mencatat penggalan wacana tulis yang diindikasi
mengandung penanda referensial.
Pada teknik menyimak akan diperiksa
wacana yang diteliti satu-persatu. Pada pemeriksaan ini akan menentukan wujud
penanda referensial yang ada pada kalimat ataupun dalam penggalan teks.
Selain untuk mengetahui wujud penanda referensial yang digunakan di dalam
wacana, identifikasi juga digunakan untuk menggolongkan jenis-jenis penanada
referensial yang digunakan.
Langkah-langkah yang ditempuh untuk
mengumpulkan data adalah sebagai berikut.
1.
membaca cerpen Cinta Laki-laki Biasa
2.
mencari penanda
referensial dalam cerpen
Cinta Laki-laki Biasa
3.
memberi tanda wujud penanda referensial
dalam cerpen tersebut
4.
mencatat jenis, wujud, bentuk penanda
referensial beserta kalimat atau paragraf yang ditemukan
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Penelitian
Sesuai rumusan permasalahan yang
dijabarkan dimuka, pada pengacuan endofora dalam cerpen Cinta Laki-laki Biasa terdiri atas pengacuan endofora yang bersifat
anafora dan katafora. Pengacuan tersebut direalisasikan melalui pronomina
persona disebut juga kata ganti, sebenarnya tidak mengganti, tetapi
mengacu ke maksud tertentu
yang terdapat dalam peristiwa
pertuturan. Pengacuan itu dapat bersifat di luar bahasa ataupun di dalam bahasa.
Pronomina dapat dibagi atas pronomina persona
(antara lain, saya, kamu, dan mereka). Pronomina
penunjuk (antara lain: ini, itu, sana, sini), dan pronomina penanya
(antara lain: apa, siapa, dan mengapa).
Pronomina aku,
- ku, ku-, dan saya mengacu ke persona pertama yang tunggal. Bentuk aku,
-ku, dan ku- digunakan jika pembicara akrab dengan kawan bicaranya.
Pronomina kami mengacu ke persona pertama yang jamak. Pronomina kita
mengacu ke persona pertama dan kedua sekaligus, karena itu, acuannya jamak.
Pronomina kamu, -mu, engkau, kau- mengacu ke persona kedua. Bentuk itu
dipakai jika tidak ada
hambatan
psikologis pada pembicara. Pronomina (d)ia , -nya, beliau, dan mereka
mengacu ke persona ketiga. Kata (d)ia digunakan jika acuannya
tunggal. Bentuk –nya dapat mengacu ke persona ketiga tunggal jamak.
Pusat bahasa (2008:104-106)
Pada cerpen Cinta Laki-laki Biasa, pengacuan endofora didominasi oleh pengacuan
endofora yang bersifat anafora, dengan jumlah 54 baik berupa kalimat dan paragraf. Dan
pengacuan endofora yang bersifat katafora sejumlah 8 baik kalimat dan paragraf.
1.
Bentuk
referensi (pengacuan) endofora yang bersifat anafora.
Pengacuan
endofora yang sifatnya anafora yaitu apabila satuan lingual mengacu kepada
satuan lingual lain yang mendahuluinya.
Berikut ini contoh hasil analisis pengacuan persona berupa
endofora yang bersifat anafora dalam cerpen Cinta
Laki-laki Biasa :
1)
Menjelang
hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan
alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu.
Bentuk (dia) termasuk persona III. Pemakaian (dia)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
2)
Baru
setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis
cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan
Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-temannya.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (gadis cantik), karena (gadis cantik) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
3) Tiba-tiba saja
pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai
kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
4) Mulut
Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada
apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik
nafas, mencoba bicara dan menyadari, dia tak
punya kata-kata!
Bentuk (-ia) dan (-dia) termasuk persona III. Pemakaian (-ia) dan (-dia) mengacu pada
(Nania), karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
5) Suasana
sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan
Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka
yang ompong. Semua menatap Nania!.
Bentuk (mereka) termasuk
persona III. Pemakaian (mereka) mengacu pada (Keponakan-keponakan Nania) karena (Keponakan-keponakan Nania) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang mendahuluinya)
6) Nania serius! tegasnya
sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
7) Perkiraan
Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu
berpasang-pasang mata kembali menghujaninya,
seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang
duduk layaknya pesakitan.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
8) Nania terkesima. Kenapa? Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu paling berprestasi
dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi
seprovinsi. Suaramu bagus!
Bentuk (kamu dan -mu) termasuk
persona II. Pemakaian (kamu
dan -mu) mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang
yang diajak bicara.
9) Nania sayang, kamu
bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu
mau!”
Bentuk (kamu) termasuk persona II. Pemakaian (kamu)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang diajak bicara.
10) Nania cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
11) Sayangnya
Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli.
Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Rafli), karena (Rafli) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
12) Dan
nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Rafli), karena (Rafli) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
13) Orang-orang
masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia
lihat dari Rafli.
Bentuk (Dia) termasuk persona III. Pemakaian (Dia)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
14) Ketiga saudara Nania hanya memandang
lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Bentuk (mereka) termasuk
persona III. Pemakaian (mereka) mengacu pada (Saudara Nania) karena (Saudara
Nania) adalah orang
yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
15) Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis
secantikmu! Kamu
adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya
kehidupan sukses!
Bentuk (-mu
dan Kamu) termasuk
persona II. Pemakaian (-mu dan Kamu) mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang
yang diajak bicara. Memiliki
persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual
yang mendahuluinya)
16) Nania merasa lidahnya
kelu. Hatinya siap memprotes.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
17) Tapi
Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Bentuk (dia) termasuk persona III. Pemakaian (dia)
mengacu pada (Rafli), karena (Rafli) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
18) Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Rafli), karena (Rafli) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
19) Hanya
lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Bentuk (-mu) termasuk
persona II. Pemakaian (-mu) mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang
yang diajak bicara. Memiliki
persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual
yang mendahuluinya)
20) Lihat
hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu
bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.
Bentuk (kamu dan -mu) termasuk
persona II. Pemakaian (kamu
dan -mu) mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang
yang diajak bicara.
21) Teganya
kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal
adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi
punya anak.
Bentuk (mereka) termasuk
persona III. Pemakaian (mereka) mengacu pada (Kakak-kakak Nania) karena (Kakak-kakak
Nania) adalah orang
yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
22) Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki
itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya
maksud baik.
Bentuk (-dia) dan (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–dia) dan (-nya) mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang
yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
23) Mula-mula
dokter kandungan langganan Nania memasukkan
sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat
hingga perempuan itu merasakan sakit yang
teramat sangat.
Pemakaian (Perempuan itu) mengacu pada
(Nania) karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora
yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
24) Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur
Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki
itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di
sisi tempat tidur.
Pemakaian (Lelaki itu) mengacu pada (Rafli) karena (Rafli)
adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora
(karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
25) Cemas.
Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang
sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi
perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
26) Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Rafli), karena (Rafli) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
27) Kita
operasi, Nia. Bayinya
mungkin terlilit tali pusar.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
28) Mereka
berpandangan, Nania berusaha mengusir
kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak
melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Bentuk (Ia) termasuk
persona III. Pemakaian (Ia) mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang
yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
29) Pembiusan
dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba
putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter
itu.
Bentuk (-nya) dan (-dia) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) dan (-dia) mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang
yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
30) Sebuah
lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu
yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya
naik-turun.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
31) Terakhir,
telinga perempuan itu sempat menangkap
teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak,
sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Bentuk (dia) termasuk persona III. Pemakaian (dia)
mengacu pada (perempuan itu), karena (perempuan itu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
32) Bahkan
dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Pemakaian (lelaki itu) mengacu pada (Rafli) karena (Rafli)
adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora
(karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
33) Saudara-saudara Nania menyimpan isak,
sambil menenangkan orangtua mereka.
Bentuk (mereka) termasuk
persona III. Pemakaian (mereka) mengacu pada (Saudara-saudara Nania) karena (Saudara-saudara Nania) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang mendahuluinya)
34) Rafli seperti berada dalam atmosfer yang
berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada
rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan
tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Pemakaian (Lelaki itu dan -nya) mengacu
pada (Rafli) karena (Rafli) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang mendahuluinya)
35) Selama
itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah
sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan
juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya
yang baru, si kecil.
Bentuk (-ia) dan (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–ia) dan (-nya) mengacu pada
(Rafli), karena (Rafli) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
36) Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah boleh
membawanya pulang.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (bayi itu), karena (bayi itu) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
37) Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania
terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil.
Bentuk (mereka) termasuk
persona III. Pemakaian (mereka) mengacu pada (Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania) karena (Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania) adalah orang
yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
38) Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali
untuk melihat anak-anak di rumah.
Bentuk (-ia) termasuk
persona III. Pemakaian (-ia) mengacu pada (Lelaki itu), karena (Lelaki
itu) adalah orang
yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
39) Kadang
perawat dan pengunjung lain yang kebetulan
menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki
dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..
Bentuk (mereka) termasuk
persona III. Pemakaian (mereka) mengacu pada (pengunjung) karena (pengunjung) adalah orang
yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
40) Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania
bisa merasakan kehadirannya.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Rafli), karena (Rafli) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
41) Ketika
sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk
pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari
ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Rafli), karena (Rafli) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
42) Malam-malam
penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan
permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya.
Bentuk (-dia) dan (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–dia) dan (-nya) mengacu pada (Rafli), karena (Rafli) adalah orang
yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
43) Anak-anak merindukan
ibunya.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (anak-anak), karena (anak-anak) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
44) Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Rafli), karena (Rafli) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
45) Nania sadar dan
wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
46) Rafli menangis,
menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya,
mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Rafli), karena (Rafli) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
47) Rafli membuktikan
kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam
doa.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Rafli), karena (Rafli) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
48) Ketika malam
Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum
tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu,
memakaikannya gaun tidur.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (perempuan cantik itu dan -nya) mengacu
pada (Nania) karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
49) Ketika malam
Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum
tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur.
Ia ingin Nania selalu merasa cantik.
Bentuk (-ia) termasuk
persona III. Pemakaian (-ia) mengacu pada (Rafli), karena (Rafli) adalah orang
yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
50) Setiap hari
Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga
jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu
menyertakan Nania.
Bentuk (dia) termasuk persona III. Pemakaian (dia)
mengacu pada (Rafli), karena (Rafli) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
51) Awalnya
tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan
orang-orang di sekitarnya.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian
(perempuan cantik itu dan -nya)
mengacu pada (Nania) karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki
persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual
yang mendahuluinya)
52) Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang
menerima dia apa adanya.
Bentuk (dia) termasuk persona III. Pemakaian (dia)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
mendahuluinya)
53) Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan
ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut
tergelak melihat kocak permainan.
Pemakaian (perempuan itu) mengacu pada (Nania)
karena (Nania) adalah orang yang
dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu
kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
54) Nania
menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang
mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia
syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna.
Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia,
meski karir telah direbut takdir dari tangannya.
Bentuk (-dia) dan (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–dia) dan (-nya) mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang
yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya)
2. Bentuk kohesi gramatikal pengacuan
endofora yang bersifat katafora.
Pengacuan berikutnya adalah
pengacuan endofora yang bersifat katafora. Endofora yang bersifat katafora
mayoritas unsur acuannya berada pada satu kalimat yang sama dengan unsur
kohesinya. Berdasarkan analisis pada data diatas, yakni contoh pengacuan
endofora yang bersifat anafora, dapat disimpulkan bahwa pengacuan persona endofora yang
bersifat katafora pun didominasi oleh bentuk pronominal persona. Berikut ini
contoh pengacuan persona berupa endofora
yang bersifat katafora pada cerpen Cinta
Laki-laki Biasa.
1) “Kamu pasti bercanda! Nania
kaget
Bentuk (kamu) termasuk
persona II. Pemakaian (kamu) mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang
yang di ajak bicara. Memiliki persona endofora yang bersifat katafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)
2) “Lihat hidupmu, Nania.
Bentuk (-mu) termasuk
persona II. Pemakaian (-mu) mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang
yang di ajak bicara. Memiliki persona endofora yang bersifat katafora (karena
mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya)
3) “Nania
memandangi mereka, orang-orang yang amat dia
kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama.
Bentuk (mereka) termasuk
persona III. Pemakaian (mereka) mengacu pada (papa, kakak-kaka, dan terakhir mama) karena (papa, kakak-kaka, dan terakhir mama) adalah orang yang dibicarakan.
Memiliki persona endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan
lingual yang disebutkan sesudahnya)
4) Dan
nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
disebutkan sesudahnya)
5) “Pertanyaan
kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari
keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan
dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.
Bentuk (dia) termasuk persona III. Pemakaian (dia)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
disebutkan sesudahnya)
6) “Dulu
bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang
pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap
cuek tidak peduli.
Bentuk (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan
sesudahnya)
7) “Plasenta
kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!
Bentuk (Kamu) termasuk persona II. Pemakaian (Kamu)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang diajak bicara. Memiliki persona
endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
disebutkan sesudahnya)
8) Tapi
dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian.
Bentuk (dia) termasuk persona III. Pemakaian (dia)
mengacu pada (Nania), karena (Nania) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona
endofora yang bersifat katafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang
disebutkan sesudahnya)
B. Pembahasan
Dominasi
penggunaan aspek referensi sebagai penanda kohesi dalam dalam wacana ini
dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Pertama, wacana ini merupakan sebuah
wacana naratif yang berciri minimalisme dengan pengungkapan alur cerita yang
didominasi oleh penggunaan dialog dialog singkat, dan dengan tokoh atau karakter
yang relatif sama dari awal hingga akhir cerita. Sehingga untuk menghindari
penyebutan kembali nama karakter yang sama secara berulang, penulis cerpen
lebih banyak menggunakan pronomina persona atau personal pronouns.
Selain itu dalam setiap dialog disebutkan siapa yang menuturkan dialog
tersebut, sehingga aspek pengacuan persona dapat ditemukan dihampir seluruh
kalimat data dalam wacana.
Selain
itu, secara khusus alasan penggunaan aspek referensi yang mendominasi ini
adalah sebagai upaya pengarang untuk memperkenalkan karakteristik dari
tokoh-tokoh ceritanya. Dalam cerpen ini pengarang berusaha untuk memperkenalkan
karakteristik dari tokoh cerita melalui dialog-dialog minimalis. Hal ini
dilakukan dengan cara menyebutkan nomina atau frasa nomina tertentu yang
merujuk pada karakter cerita secara berulang-ulang. Penyebutan nomina dan frasa
nomina sebagai unsur acuan ini hampir selalu diikuti oleh penggunaan pronomina persona yang
merupakan unsur kohesinya.
Jadi, dari
hasil analisis dapat disimpulkan bahwa
pengarang ingin pembaca mengenali dan mempelajari karakteristik dari tokoh
cerita melalui dialog-dialog singkat tersebut. Dengan kata lain, tanpa melalui
komentar dan pendeskripsian yang jelas, pengarang membiarkan pembaca
menginterpretasikan sendiri makna cerita dan karakteristik tokoh melalui
dialog. Hal ini menyebabkan banyaknya penggunaan pengacuan persona dalam cerpen
Cinta Laki-laki Biasa. Selanjutnya, pengarang juga berusaha
mendeskripsikan suasana atau situasi dalam cerita melalui penyebutan beberapa
nomina secara berulang-ulang.
Banyaknya
jumlah pengacuan endofora bersifat
anafora yang mendominasi aspek referensi dalam wacana cerpen Cinta Laki-laki Biasa dapat dipahami
karena beberapa alasan, yang pertama, wacana ini berupa cerpen yang tersusun
atas dialog-dialog yang saling berhubungan atau memiliki keterkaitan satu sama
lainnya, dengan beberapa tokoh/karakter yang relatif sama dari awal hingga
akhir cerita, sehingga untuk penyebutan para karakter (setelah penyebutan nama
karakter), penulis cerpen lebih banyak menggunakan pronomina persona. Yang
kedua, hampir semua pengacuan persona berupa
dalam cerpen ini merupakan pengacuan yang bersifat endofora anaforis, yakni
unsur acuan atau antesedennya berada di sebelah kiri atau telah disebutkan
sebelumnya. Dari data yang dikumpulkan hanya terdapat beberapa kutipan yang
merupakan pengacuan bersifat endofora kataforis.
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa referensi adalah hubungan antara
referen dan lambang yang digunakan untuk mewakilinya. Referensi (pengacuan) sebagai
penanda kohesi dalam cerpen Cinta
Laki-laki Biasa dibedakan
menjadi referensi anafora dan referensi katafora. Baik referensi anafora maupun
katafora dapat diacu oleh konstituen yang berupa pronomina persona. Dalam tulisan ini, pengacuan yang bersifat
katafora sangat jarang ditemukan, tidak seperti pengacuan anafora sangat
dominan pemakaiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Brown,
Gillian. 1996. Analisis Wacana
(Terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Chaer, Abdul. 2007. Kajian
Bahasa : Sturktur internal, pemaknaan, dan pemelajaran. Jakarta: Rineka
Cipta.
Djajasudarma, T.Fatimah. 2010. Wacana. Bandung: Refika Aditama.
Hasan Alwi, dkk, 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
Kartomihardjo, Soeseno. 1992. Analisis Wacana dan Penerapannya.
Malang: IKIP Malang.
Kridalaksana,
Harimurti. 1994. Kelas Kata dalam Bahasa
Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nadia,
Asma. 2009. Emak
Ingin Naik Haji. Jakarta: Gramedia.
Nurgiantoro,
Burhan. 2012. Teori Pengkaji Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Pres
Odien R dan Suherlan.
2004. Ikhwal Ilmu Bahasa dan Cakupannya. Serang: Untirta Press
Prayitno, Bayu Ruslan. 2009. Analisis Wacana. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Pusat
Bahasa. 2008. Buku Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional
Sudaryanto.1993. Metode
dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara
Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sumarlam,
dkk. 2003. Teori dan Praktik Analisis
Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.
LAMPIRAN
CERPEN CINTA
LAKI-LAKI BIASA
KARYA ASMA NADIA
Menjelang
hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah
dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui,
gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan
menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan
teman-temannya. Mereka ternyata sama herannya.
Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
Kamu pasti bercanda!
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!
Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..
- Asma Nadia -
Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
Kamu pasti bercanda!
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!
Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..
- Asma Nadia -
izin bertanya, Apakah referensi endofora (anafora dan katafora) objeknya/konsepnya melulu soal orang/persona atau konsepnya bisa selain persona?
BalasHapus