Senin, 18 Mei 2015

ANALISIS TEKS ANEKDOT (KATAFORA DAN ENDOFORA)



ANALISIS REFERENSI EKSOFORA DAN ENDOFORA (KATAFORA DAN ENDOFORA) DALAM TEKS ANEKDOT HUKUM PERADILAN

A.    Pengertian Teks Anekdot
Teks anekdot adalah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya.
B.     Ciri-ciri teks anekdot
1.      Berisi cerita lucu/menggelitik
2.      Bersifat menyindir
3.      Dari kehidupan nyata dan diubah menjadi cerita yang berisi senda gurau
4.      Mengenai orang penting/terkenal
C.    Struktur Teks Anekdot
1.      Abstraksi (Pembukaan/Gambaran Umum)
Abstarksi adalah bagian di awal paragraf yang berfungsi memberi gambaran tentang isi teks. Biasanya menunjukkan hal unik yang akan ada di dalam teks
“Pada zaman dahulu di suatu negara (yang pasti bukan negara kita) ada seorang tukang pedati yang rajin dan tekun.”
2.      Orientasi (Pengenalan)
Orientasi adalah bagian yang menunjukkan awal kejadian cerita atau latar belakang bagaimana peristiwa terjadi. Biasanya penulis bercerita dengan detil. Selain itu pada orientasi juga terdapat latar tempat, waktu, maupun suasana.
 “Suatu pagi, dia melewati jembatan yang baru dibangun.”
3.      Krisis (Klimaks/Konflik/Puncak Masalah)
Krisis adalah bagian dimana terjadi hal atau masalah yang unik atau tidak biasa yang terjadi pada si penulis atau orang yang diceritakan.
 “Hakim memenjarakan pembantu penjual kayu atas kesalahannya yaitu pendek, kurus, dan punya uang.”
4.      Reaksi (Tanggapan)
Reaksi adalah bagian bagaimana cara penulis atau orang yang ditulis menyelesaikan masalah yang timbul di bagian krisis tadi. Merupakan tindakan atau langkah yang diambil untuk merespon masalah.
Masyarakat menganggap keputusan hakim sudah adil.”
5.      Koda (Penutup/Akhir Cerita)
Koda adalah bagian akhir dari cerita unik tersebut. Bisa juga dengan memberi kesimpulan tentang kejadian yang dialami penulis atau orang yang ditulis.
D.    Struktur kaidah teks anekdot
1.      Menggunakan waktu lampau, seperti: Saya menemukannya semalam.
2.      Menggunakan lawan kata atau antonim.
3.      Menggunakan pengandaian.
4.      Menggunakan kata sambung (konjungsi) waktu, seperti : kemudian, setelah itu, dan lain-lain.
5.      Menggunakan kata kerja, seperti: pergi, tulis, dan lain-lain.
6.      Menggunakan kalimat perintah.
7.      Menggunakan kalimat seru.
E.     Teks anekdot
ANEKDOT HUKUM PERADILAN
Pada zaman dahulu di suatu negara (yang pasti bukan negara kita) ada seorang tukang pedati yang rajin dan tekun. Setiap pagi dia membawa barang dagangan ke pasar dengan pedatinya. Suatu pagi dia melewati jembatan yang baru dibangun. Namun sayang, ternyata kayu yang dibuat untuk jembatan tersebut tidak kuat. Akhirnya, tukang pedati itu jatuh ke sungai. Kuda beserta dagangannya hanyut.
Si Tukang Pedati dan keluarganya tidak terima karena mendapat kerugian gara-gara jembatan yang rapuh. Kemudian, mereka melaporkan kejadian itu kepada hakim untuk mengadukan si Pembuat Jembatan agar dihukum dan memberi uang ganti rugi. Zaman dahulu orang dapat melapor langsung ke hakim karena belum ada polisi.
Permohonan keluarga si Tukang Pedati dikabulkan. Hakim memanggil si Pembuat Jembatan untuk diadili. Namun, si Pembuat Jembatan tentu protes dan tidak terima. Ia menimpakan kesalahan kepada tukang kayu yang menyediakan kayu untuk bahan jembatan itu. Kemudian, hakim memanggil si Tukang Kayu.
Sesampainya di hadapan hakim, si Tukang Kayu bertanya kepada hakim, “Yang Mulia Hakim, apa kesalahan hamba sehingga hamba dipanggil ke persidangan?” Yang Mulia Hakim menjawab, “Kesalahan kamu sangat besar. Kayu yang kamu bawa untuk membuat jembatan itu ternyata jelek dan rapuh sehingga menyebabkan seseorang jatuh dan kehilangan pedati beserta kudanya. Oleh karena itu, kamu harus dihukum dan mengganti segala kerugian si Tukang Pedati.” Si Tukang Kayu membela diri, “Kalau itu permasalahannya, ya, jangan salahkan saya, salahkan saja si Penjual Kayu yang menjual kayu yang jelek.” Yang Mulia Hakim berpikir, “Benar juga apa yang dikatakan si Tukang Kayu ini. Si Penjual Kayu inilah yang menyebabkan tukang kayu membawa kayu yang jelek untuk si Pembuat Jembatan.” Lalu, hakim berkata kepada pengawalnya, “Hai pengawal, bawa si Penjual Kayu kemari untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya!” Pergilah si Pengawal menjemput si Penjual Kayu.
Si Penjual Kayu dibawa oleh pengawal tersebut ke hadapan hakim. “Yang Mulia Hakim, apa kesalahan hamba sehingga dibawa ke sidang pengadilan ini?” kata si Penjual Kayu. Sang Hakim menjawab, “Kesalahanmu sangat besar karena kamu tidak menjual kayu yang bagus kepada si Tukang Kayu sehingga jembatan yang dibuatnya tidak kukuh dan menyebabkan seseorang kehilangan kuda dan barang dagangannya dalam pedati.” Si Penjual Kayu menjawab, “Kalau itu permasalahannya, jangan menyalahkan saya. Yang salah pembantu saya. Dialah yang menyediakan beragam jenis kayu untuk dijual. Dialah yang salah memberi kayu yang jelek kepada si Tukang Kayu itu.” Benar juga apa yang dikatakan si Penjual Kayu itu. “Hai pengawal bawa si Pembantu ke hadapanku!” Maka si Pengawal pun menjemput si Pembantu.
Seperti halnya orang yang telah dipanggil terlebih dahulu oleh hakim, si Pembantu pun bertanya kepada hakim perihal kesalahannya. Sang Hakim memberi penjelasan tentang kesalahan si Pembantu yang menyebabkan tukang pedati kehilangan kuda dan dagangannya sepedati. Si Pembantu tidak secerdas tiga orang yang telah dipanggil terlebih dahulu sehingga ia tidak bisa memberi alasan yang memuaskan sang Hakim. Akhirnya, sang Hakim memutuskan si Pembantu harus dihukum dan memberi ganti rugi. Berteriaklah sang Hakim kepada pengawal, “Hai, Pengawal, masukkan si Pembantu ini ke penjara dan sita semua uangnya sekarang juga!”
Beberapa menit kemudian, sang Hakim bertanya kepada si Pengawal, ”Hai, Pengawal apakah hukuman sudah dilaksanakan?” Si Pengawal menjawab, ”Belum, Yang Mulia, sulit sekali untuk melaksanakannya.” Sang Hakim bertanya, “Mengapa sulit? Bukankah kamu sudah biasa memenjarakan dan menyita uang orang?” Si Pengawal menjawab, “Sulit, Yang Mulia. Si Pembantu badannya terlalu tinggi dan gemuk. Penjara yang kita punya tidak muat karena terlalu sempit dan si Pembantu itu tidak punya uang untuk disita.” Sang Hakim marah besar, “Kamu bego amat! Gunakan dong akalmu, cari pembantu si Penjual Kayu yang lebih pendek, kurus, dan punya uang!” Kemudian, si Pengawal mencari pembantu si Penjual Kayu yang lain yang berbadan pendek, kurus, dan punya uang.
Si Pembantu yang berbadan pendek, kurus, dan punya uang bertanya kepada hakim, “Wahai, Yang Mulia Hakim. Apa kesalahan hamba sehingga harus dipenjara?” Dengan entengnya sang Hakim menjawab, “Kesalahanmu adalah pendek, kurus, dan punya uaaaaang!!!!”
Setelah si Pembantu yang berbadan pendek, kurus, dan punya uang itu dimasukkan ke penjara dan uangnya disita, sang Hakim bertanya kepada khalayak ramai yang menyaksikan pengadilan tersebut, ”Saudara-saudara semua, bagaimanakah menurut pandangan kalian, peradilan ini sudah adil?” Masyarakat yang ada serempak menjawab, “Adiiill!!!”



















F.     Analisis Referensi Eksofora dan Endofora (Katafora dan Endofora) dalam teks anekdot Hukum Peradilan
Paragraf
Eksofora
Endofora
Anafora
Katafora
Pada zaman dahulu di suatu negara (yang pasti bukan negara kita) ada seorang tukang pedati yang rajin dan tekun. Setiap pagi dia membawa barang dagangan ke pasar dengan pedatinya. Suatu pagi dia melewati jembatan yang baru dibangun. Namun sayang, ternyata kayu yang dibuat untuk jembatan tersebut tidak kuat. Akhirnya, tukang pedati itu jatuh ke sungai. Kuda beserta dagangannya hanyut.
Pada zaman dahulu di suatu negara (yang pasti bukan negara kita) ada seorang tukang pedati yang rajin dan tekun.
Pada zaman dahulu di suatu negara (yang pasti bukan negara kita) ada seorang tukang pedati yang rajin dan tekun. Setiap pagi dia membawa barang dagangan ke pasar dengan pedatinya.

Akhirnya, tukang pedati itu jatuh ke sungai. Kuda beserta dagangannya hanyut.
Suatu pagi dia melewati jembatan yang baru dibangun. Namun sayang, ternyata kayu yang dibuat untuk jembatan tersebut tidak kuat. Akhirnya, tukang pedati itu jatuh ke sungai. Kuda beserta dagangannya hanyut.
Si Tukang Pedati dan keluarganya tidak terima karena mendapat kerugian gara-gara jembatan yang rapuh. Kemudian, mereka melaporkan kejadian itu kepada hakim untuk mengadukan si Pembuat Jembatan agar dihukum dan memberi uang ganti rugi. Zaman dahulu orang dapat melapor langsung ke hakim karena belum ada polisi.
Zaman dahulu orang dapat melapor langsung ke hakim karena belum ada polisi.
Si Tukang Pedati dan keluarganya tidak terima karena mendapat kerugian gara-gara jembatan yang rapuh. Kemudian, mereka melaporkan kejadian itu kepada hakim untuk mengadukan si Pembuat Jembatan agar dihukum dan memberi uang ganti rugi.

Permohonan keluarga si Tukang Pedati dikabulkan. Hakim memanggil si Pembuat Jembatan untuk diadili. Namun, si Pembuat Jembatan tentu protes dan tidak terima. Ia menimpakan kesalahan kepada tukang kayu yang menyediakan kayu untuk bahan jembatan itu. Kemudian, hakim memanggil si Tukang Kayu.



Sesampainya di hadapan hakim, si Tukang Kayu bertanya kepada hakim, “Yang Mulia Hakim, apa kesalahan hamba sehingga hamba dipanggil ke persidangan?” Yang Mulia Hakim menjawab, “Kesalahan kamu sangat besar. Kayu yang kamu bawa untuk membuat jembatan itu ternyata jelek dan rapuh sehingga menyebabkan seseorang jatuh dan kehilangan pedati beserta kudanya. Oleh karena itu, kamu harus dihukum dan mengganti segala kerugian si Tukang Pedati.” Si Tukang Kayu membela diri, “Kalau itu permasalahannya, ya, jangan salahkan saya, salahkan saja si Penjual Kayu yang menjual kayu yang jelek.” Yang Mulia Hakim berpikir, “Benar juga apa yang dikatakan si Tukang Kayu ini. Si Penjual Kayu inilah yang menyebabkan tukang kayu membawa kayu yang jelek untuk si Pembuat Jembatan.” Lalu, hakim berkata kepada pengawalnya, “Hai pengawal, bawa si Penjual Kayu kemari untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya!” Pergilah si Pengawal menjemput si Penjual Kayu.

Sesampainya di hadapan hakim, si Tukang Kayu bertanya kepada hakim, “Yang Mulia Hakim, apa kesalahan hamba sehingga hamba dipanggil ke persidangan?”

Kayu yang kamu bawa untuk membuat jembatan itu ternyata jelek dan rapuh sehingga menyebabkan seseorang jatuh dan kehilangan pedati beserta kudanya.


“Hai pengawal, bawa si Penjual Kayu kemari untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya!”

Oleh karena itu, kamu harus dihukum dan mengganti segala kerugian si Tukang Pedati.” Si Tukang Kayu membela diri, “Kalau itu permasalahannya, ya, jangan salahkan saya, salahkan saja si Penjual Kayu yang menjual kayu yang jelek.”

Si Tukang Kayu membela diri, “Kalau itu permasalahannya, ya, jangan salahkan saya, salahkan saja si Penjual Kayu yang menjual kayu yang jelek.”

Hakim menjawab, “Kesalahan kamu sangat besar. Kayu yang kamu bawa untuk membuat jembatan itu ternyata jelek dan rapuh sehingga menyebabkan seseorang jatuh dan kehilangan pedati beserta kudanya.
Si Penjual Kayu dibawa oleh pengawal tersebut ke hadapan hakim. “Yang Mulia Hakim, apa kesalahan hamba sehingga dibawa ke sidang pengadilan ini?” kata si Penjual Kayu. Sang Hakim menjawab, “Kesalahanmu sangat besar karena kamu tidak menjual kayu yang bagus kepada si Tukang Kayu sehingga jembatan yang dibuatnya tidak kukuh dan menyebabkan seseorang kehilangan kuda dan barang dagangannya dalam pedati.” Si Penjual Kayu menjawab, “Kalau itu permasalahannya, jangan menyalahkan saya. Yang salah pembantu saya. Dialah yang menyediakan beragam jenis kayu untuk dijual. Dialah yang salah memberi kayu yang jelek kepada si Tukang Kayu itu.” Benar juga apa yang dikatakan si Penjual Kayu itu. “Hai pengawal bawa si Pembantu ke hadapanku!” Maka si Pengawal pun menjemput si Pembantu.

“Kesalahanmu sangat besar karena kamu tidak menjual kayu yang bagus kepada si Tukang Kayu sehingga jembatan yang dibuatnya tidak kukuh dan menyebabkan seseorang kehilangan kuda dan barang dagangannya dalam pedati.

Si Penjual Kayu menjawab, “Kalau itu permasalahannya, jangan menyalahkan saya.

Yang salah pembantu saya. Dialah yang menyediakan beragam jenis kayu untuk dijual.
“Yang Mulia Hakim, apa kesalahan hamba sehingga dibawa ke sidang pengadilan ini?” kata si Penjual Kayu.


Dialah yang salah memberi kayu yang jelek kepada si Tukang Kayu itu.” Benar juga apa yang dikatakan si Penjual Kayu itu. “Hai pengawal bawa si Pembantu ke hadapanku!”
Seperti halnya orang yang telah dipanggil terlebih dahulu oleh hakim, si Pembantu pun bertanya kepada hakim perihal kesalahannya. Sang Hakim memberi penjelasan tentang kesalahan si Pembantu yang menyebabkan tukang pedati kehilangan kuda dan dagangannya sepedati. Si Pembantu tidak secerdas tiga orang yang telah dipanggil terlebih dahulu sehingga ia tidak bisa memberi alasan yang memuaskan sang Hakim. Akhirnya, sang Hakim memutuskan si Pembantu harus dihukum dan memberi ganti rugi. Berteriaklah sang Hakim kepada pengawal, “Hai, Pengawal, masukkan si Pembantu ini ke penjara dan sita semua uangnya sekarang juga!”















Sang Hakim memberi penjelasan tentang kesalahan si Pembantu yang menyebabkan tukang pedati kehilangan kuda dan dagangannya sepedati.

Si Pembantu tidak secerdas tiga orang yang telah dipanggil terlebih dahulu sehingga ia tidak bisa memberi alasan yang memuaskan sang Hakim.




















Beberapa menit kemudian, sang Hakim bertanya kepada si Pengawal, ”Hai, Pengawal apakah hukuman sudah dilaksanakan?” Si Pengawal menjawab, ”Belum, Yang Mulia, sulit sekali untuk melaksanakannya.” Sang Hakim bertanya, “Mengapa sulit? Bukankah kamu sudah biasa memenjarakan dan menyita uang orang?” Si Pengawal menjawab, “Sulit, Yang Mulia. Si Pembantu badannya terlalu tinggi dan gemuk. Penjara yang kita punya tidak muat karena terlalu sempit dan si pembantu itu tidak punya uang untuk disita.” Sang Hakim marah besar, “Kamu bego amat! Gunakan dong akalmu, cari pembantu si Penjual Kayu yang lebih pendek, kurus, dan punya uang!” Kemudian, si Pengawal mencari pembantu si Penjual Kayu yang lain yang berbadan pendek, kurus, dan punya uang.



Bukankah kamu sudah biasa memenjarakan dan menyita uang orang?” Si Pengawal menjawab, “Sulit, Yang Mulia.
Si Pembantu yang berbadan pendek, kurus, dan punya uang bertanya kepada hakim, “Wahai, Yang Mulia Hakim. Apa kesalahan hamba sehingga harus dipenjara?” Dengan entengnya sang Hakim menjawab, “Kesalahanmu adalah pendek, kurus, dan punya uaaaaang!!!!”

Apa kesalahan hamba sehingga harus dipenjara?” Dengan entengnya sang Hakim menjawab, “Kesalahanmu adalah pendek, kurus, dan punya uaaaaang!!!!”


Setelah si Pembantu yang berbadan pendek, kurus, dan punya uang itu dimasukkan ke penjara dan uangnya disita, sang Hakim bertanya kepada khalayak ramai yang menyaksikan pengadilan tersebut, ”Saudara-saudara semua, bagaimanakah menurut pandangan kalian, peradilan ini sudah adil?” Masyarakat yang ada serempak menjawab, “Adiiill!!!”













Catatan :
Referensi eksofora adalah  pengacuan terhadap antiseden yang terdapat di luar bahasa (ekstratekstual), seperti manusia, hewan, alam sekitar pada umumnya, atau suatu peristiwa.
Hakim bertanya kepada khalayak ramai yang menyaksikan pengadilan tersebut, ”Saudara-saudara semua, bagaimanakah menurut pandangan kalian, peradilan ini sudah adil?”






Catatan :
Referensi anafora adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahuluinya, atau mengacu anteseden di sebelah kiri, atau mengacu pada unsur yang telah disebutkan terdahulu













Catatan :
Referensi katafora adalah salah satu kohesi garamatikal yang berupa satual lingual tertentu yang mengacu pada atuan lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu anteseden disebelah kanan, atau mengacu pada unsure yang baru disebutkan kemudian


















Perkembangan Dongeng di Sulawesi Selatan



Mata Kuliah               : Sastra Anak
Dosen Pembimbing   : Dr. Kembong Daeng, M. Hum.

DONGENG

 

DISUSUN OLEH
KELAS B
KELOMPOK 1

MUHAMMAD ILHAM                   14B01024
NINING IRAWATI                         14B01028
HERIYANTI                                     14B01030


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERITAS NEGERI MAKASSAR
MAKASSAR
2015

I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dongeng merupakan salah satu cerita rakyat yang cukup beragam cakupanya. Bahkan, untuk memudahkan penyebutan, semua cerita lama termasuk ketiga jenis yang telah dibicarakan di atas, sering begitu saja disebut sebagai dongeng. Dongeng adalah cerita-cerita fiksi yang diceritakan pendongeng kepada para pendengar secara lisan yang di dalamnya terdapat pesan moral positif yang mendidik. Dongeng biasanya didongengkan kepada anak-anak yang masih kecil, oleh orangtua, kakek, nenek, paman, bibi dan lain sebagainya. Dongeng bisa disampaikan kepada anak sebelum tidur hingga si anak tertidur pulas dengan cara bercerita langsung maupun dengan membaca buku dongeng.
Eksistensi kegiatan mendongeng ini cenderung makin memudar karena dimakan oleh usia. Padahal terdapat banyak sekali keuntungan bagi anak-anak kita jika mereka mendapatkan dongeng. Perlu kita ketahui bahwa dongeng anak-anak sangat berguna meskipun pada praktiknya kita mempunyai banyak sekali halangan seperti perasaan lelah setelah bekerja dan menganggap mendongeng untuk anak menjadi sangat merepotkan. Padahal manfaat dongeng untuk anak sangatlah banyak seperti merekatkan hubungan orang tua dengan anak dan mendongeng juga bisa membantu mengoptimalkan perkembangan psikologis dan kecerdasan anak secara emosional. Saat ini perkembangan sastra anak di Sulawesi Selatan sangat kurang





B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dongeng?
2.      Apakah ciri-ciri dongeng?
3.      Apakah jenis-jenis dongeng?
4.      Bagaimana perkembangan sastra anak di Sulawesi Selatan?
5.      Bagaimana pengajaran sastra anak di Sulawesi Selatan?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dongeng.
2.      Untuk mengetahui ciri-ciri dongeng.
3.      Untuk mengetahui jenis-jenis dongeng.
4.      Untuk mengetahui perkembangan sastra anak di Sulawesi Selatan.
5.      Untuk mengetahui pengajaran sastra anak di Sulawesi Selatan.













II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dongeng
            Dongeng merupakan salah satu cerita rakyat yang cukup beragam cakupannya. Bahkan, untuk memudahkan penyebutan. Misalnya Kancil Mencuri Mentimun, Kancil dengan buaya, asal-usul terjadinya gunung tangkuban perahu, bawang merah bawang putih, dan timun emas, dan sebagainya. Dongeng bersala dari berbagai kelompok etnis, masyarakat, atau daerah tertentu di belahan dunia, baik yang berasal dari tradisi lisan maupun yang semula diciptakan secara tertulis. Pada umumnya dongeng juga tidak  terikat oleh waktu dan tempat, dapat tehadi di mana dan kapan saja tanpa perlu harus ada pertanggungjawaban pelataran. Kekuarangjelasan latar tersebut sudah terlihat sejak cerita dongeng
Dongeng adalah cerita khayal semata yang sulit dipercaya kebenarannya. Dalam dongeng disajikan hal-hal yang ajaib, aneh, dan tidak masuk akal. Dahulu dongeng diciptakan untuk anak kecil, isinya penuh dengan nasihat. Dan karena dongeng muncul pertama kali pada zaman sastra Purba di Indonesia maka pada mulanya tergolong sastra orai  atau sastra lisan, disampaikan dari mulut ke mulut.
Menurut Danandjaja (2007: 83), “Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Selanjutnya dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran”. Menurut Bascom dalam Danandjaja (2007:50) “Dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat.” Dongeng termasuk kedalam foklor, karena foklor juga ilmu yang menjelaskan tentang kebudayaan yang berada di masyarakat seperti ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Didukung oleh Danandjaja (2007: 2) “Foklor adalah sebagian dari kebudayaan suatu kolektif  yang tersebar dan diwariskanturun-temurun diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional, dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.”
Dongeng adalah cerita-cerita fiksi yang diceritakan pendongeng kepada para pendengar secara lisan yang di dalamnya terdapat pesan moral positif yang mendidik. Dongeng biasanya didongengkan kepada anak-anak yang masih kecil, oleh orangtua, kakek, nenek, paman, bibi dan lain sebagainya. Dongeng bisa disampaikan kepada anak sebelum tidur hingga si anak tertidur pulas dengan cara bercerita langsung maupun dengan membaca buku dongeng. Walaupun terlihat sederhana, namun anak-anak biasanya sangat serius mendengarnya jika ceritanya menarik. Dengan begitu maka alangkah baik jika cerita dongeng yang disampaikan memiliki efek positif yang tinggi bagi perkembangan mental anak-anak kita. Sebelum dibacakan kepada anak, sebaiknya kita baca dahulu agar kita bisa mengetahui apakah dengeng itu layak untuk dibacakan kepada anak atau tidak.
Dongeng yang menarik terhadap anak memang membutuhkan keterampilan khusus. Mulai dari cara menyampaikan cerita, kontrol volume dan intonasi suara, hingga menirukan suara maupun perilaku tiap-tiap karakter yang ada dalam cerita perlu diperhatikan. Jika anak bisa memahami pesan di baliknya dan menikmati dongeng yang kita bawakan, maka itu tandanya bahwa kita sudah berhasil.







B. Jenis-jenis Dongeng
Dongeng terdiri dari beberapa jenis.
1.       Mite adalah dongeng yang menceritakan kehidupan makhluk halus, setan, hantu, ataupun dewa-dewi. Contohnya dongeng Nyi Rara Kidul dan Nyi Blorong.
2.       Legenda adalah dongeng yang diciptakan masyarakat sehubugan dengan keadaan alam dan nama suatu daerah. Contohnya dongeng Malin Kundang dan Banyuwangi.
3.       Sage adalah dongeng yang di dalamnya mengandung unsur sejarah, namun tetap sukar dipercaya kebenaranya karena unsur sejarahya terdesak oleh unsur fantasi. Contohnya dongeng Ciung Wanara dan Jaka Tarub.
4.       Fabel adalah dongeng yang mengangkat kehidupan binatang sebagai bahan ceritanya. Contohnya Hikayat sang Kancil dan Hikayat Pelanduk Jenaka.
5.       Parabel adalah dongeng perumpamaan yang di dalamnya mengandung kiasan-kiasan yang bersifat mendidik. Contohnya Sepasang Selot Kulit.
6.       Dongeng orang pendir adalah jenis cerita jenaka yang di dalamnya dikisahkan kekonyolan-kekonyolan yang menimbulkan gelak tawa dari tingkah laku seseorang karena kebodohannya, bahkan sering kali karena kecerdikannya. Contohnya Si Kabayan dan Aki Bolang.
Dongeng terdiri dari beberapa jenis. Menurut Thomson (Danandjaja, 2007: 86), “Jenis-jenis dongeng ke dalam empat golongan besar yakni. (1) dongeng binatang (animal tales), (2) dongeng biasa (ordinary folktales), (3) lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes), (4) dongeng berumus (formula tales)”.
Danandjaja (2007: 86), Dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi binatang peliharaan dan binatang liar, seperti binatang menyusui, burung, binatang melata (reptilia), ikan, dan serangga. Binatang-binatang itu dalam cerita jenis ini dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia. Dongeng biasa adalah jenis dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya adalah kisah suka duka seorang. Di Indonesia dongeng biasa yang paling populer adalah yang bertipe Cinderella. Dongeng biasa yang bertipe Cinderella di Indonesia ada banyak. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya adalah dongeng Ande-ande Lumut dan Si Melati dan Si Kecubung, di Jakarta Bawang Putih dan Bawang merah, dan di Bali I Kesuna Ian I Bawang.
Selanjutnya, Danandjaja (2007: 117), “Lelucon dan anekdot adalah dongeng-dongeng yang dapat menimbulkan rasa menggelikan hati, sehingga menimbulkan ketawa bagi yang mendengarkannya maupun yang meneritakannya. Walaupun demikian bagi kolektif atau tokoh tertentu, yang menjadi sasaran dongeng itu, dapat menimbulkan rasa sakit hati”.
Menurut Danandjaja (2007: 118), “ Perbedaan lelucon dan anekdot adalah: jika anekdot menyangkut kisah fiktif lucu pribadi seseorang tokoh atau beberapa tokoh, yang benar-benar ada, maka lelucon menyangkut kisah fiktif lucu anggota suatu kolektif, seperti suku bangsa, golongan, bangsa, dan ras”.
Anekdot dinyatakan Danandjaja (2007:118), “Dapat dianggap sebagai bagian dari riwayat hidup fiktif pribadi tertentu, sedangkan lelucon dapat dianggap sebagai sifat atau tabiat fiktif anggota suatu kolektif tertentu”.
Dongeng-dongeng berumus dinyatakan Danandjaja (2007: 139), “Dongeng yang strukturnya terdiri dari pengulangan. Dongeng-dongeng berumus mempunyai beberapa subbentuk, yakni: a. dongeng bertimbun banyak (cumulative tales), b. Dongeng untuk mempermaikan orang (catch tales), dan c. Dongeng yang yang tidak mempunyai akhir (endless tales)”.




C. Ciri-ciri Dongeng
Dongeng termasuk cerita rakyat dan merupakan bagian tradisi lisan yang disampaikan dari mulut ke mulut. Sastra lisan tersebut mempunyai beberapa tanda atau ciri-ciri yang menandakan dongeng atau sastra lisan sebagai berikut. 
Ada dua ciri pokok yang dapat digunakan, yaitu (1) dikatakan dan didengar, dan (2) situasi tatap muka.” Maksud dari pendapat tersebut, penulis jelaskan bahwa yang termasuk ciri-ciri sastra lisan yaitu ada yang menjadi pembicara untuk mengatakan atau menyampaikan dan ada pula yang menjadi pendengar dalam keadaan tatap muka tanpa ada panghalang waktu.
Ciri-ciri dongeng sebagai berikut :
1.      Penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat), dari satu generasi ke generasi berikutnya;
2.      Disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama;
3.      Ada dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebaran dari mulut ke mulut ( lisan);
4.      Bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi;
5.      Biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola seperti kata klise, ungkapan-ungkapan tradisional, kalimat-kalimat atau kata-kata pembukaan dan penutup baku;
6.      Mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif, sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial dan proyeksi keinginan yang terpendam;
7.      Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika tersendiri yang tidak sesuai dengan logika umum;
8.      Menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. Hal ini disebabkan penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya;
9.      Bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti bahwa dongeng juga merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya 
D. Manfaat Cerita Dongeng Anak-anak Bagi Perkembangan Anak-anak
Eksistensi kegiatan mendongeng ini cenderung makin memudar karena dimakan oleh usia. Padahal terdapat banyak sekali keuntungan bagi anak-anak kita jika mereka mendapatkan dongeng. Perlu kita ketahui bahwa dongeng anak-anak sangat berguna meskipun pada praktiknya kita mempunyai banyak sekali halangan seperti perasaan lelah setelah bekerja dan menganggap mendongeng untuk anak menjadi sangat merepotkan. Padahal manfaat dongeng untuk anak sangatlah banyak seperti merekatkan hubungan orang tua dengan anak dan mendongeng juga bisa membantu mengoptimalkan perkembangan psikologis dan kecerdasan anak secara emosional. Masih ada lagi manfaat lainnya yang akan diuraikan dibawah ini:
1.  Mengembangkan Daya Imajinasi Anak
Perlu kita ketahui bahwa dunia anak adalah dunia imajinasi. Jadi anak mempunyai dunianya sendiri dan tak jarang mereka berbicara denga teman khayalannya. Dengan daya imajinasi yang masih sangat bagus ini, maka kita sebagai orang tua harus bisa mengarahkannya kearah yang positif dan tetap terkontrol. Dengan dongeng anak-anak maka inilah cara terbaik untuk mengarahkan mereka kearah yang baik.


2. Meningkatkan Keterampilan dalam Berbahasa
Dongeng merupakan stimulasi dini yang mampu merangsang keterampilan berbahasa pada anak-anak. Perlu kita ketahui bahwa cerita dongeng anak-anak mampu merangsang anak-anak terutama anak perempuan dalam meningkatkan keterampilan berbahasa mereka. Hal ini dikarenakan anak perempuan lebih fokus dan konsentrasi daripada anak laki-laki. Kemampuan verbal adalah kemampuan awal yang dimiliki anak-anak dan inilah mengapa otak kanan mereka lebih berkembang dan ini juga yang menyebabkan mereka lebih terlatih dalam berbahasa. Kisah-kisah dongeng yang mengandung cerita positif tentang perilaku dan sebagainya membuat anak-anak menjadi lebih mudah dalam menyerap tutur kata yang sopan.
3. Membangkitkan Minat Baca Anak
Jika ingin memiliki anak yang mempunyai minat baca yang baik, maka mendongeng adalah jalan menuju hasil tersebut. Dengan memberikan cerita dongeng anak-anak, maka anak-anak akan tertarik dan rasa penasaran ini membuat mereka ingin mencari tahu. Inilah dimana keinginan untuk membaca menjadi semakin meningkat. Dengan membacakan buku cerita yang menarik kepada anak adalah cara paling mudah yang bisa kita lakukan.
 4. Membangun Kecerdasan Emosional Anak
Mendongeng kepada anak bisa membangkitkan kecerdasan emosional mereka dan ini juga sarana hebat yang mampu merekatkan hubungan ibu dan anak. Sperti yang kita tahu bahwa anak-anak mempunyai kesulitan dalam mempelajari nilai-nilai moral dalam kehidupan. Dengan dongeng anak-anak maka kita bisa memberikan contoh melalui tokoh dalam cerita yang kita dongengkan. Dongeng anak-anak akan membangtu anak dalam menyerap nilai-nilai emosional pada sesama. Tidak bisa dipungkiri bahwa kecerdasan emosional juga penting disamping kecerdasan kognitif. Kecerdasan emosional sangat penting bagi kehidupan sosial mereka kelak.
5. Membentuk Rasa Empati Anak
Melalui stimulasi cerita dongeng anak, kepekaan anak pada usia 3-7 tahun akan dirangsang mengenai situasai sosial disekitar mereka. Dengan metode dongeng untuk anak ini maka mereka akan belajar berempati terhadap lingkungan sekitar. Stimulasi yang akan lebih berhasil adalah dengan merangsang indera pendengarannya. Penting bagi kita memberikan stimulasi ini untuk memberikan mereka bekal yang baik untuk masa depannya. Dengan cerita-cerita dongeng yang mendidik, maka anak akan dengan mudah menyerap nilai positif yang akan menjadikan mereka anak yang berempati dengan orang lain.
6. Mengajarkan Nilai Moral Yang Baik
Dengan memilih dongeng yang isi ceritanya bagus, maka akan tertanam nilai-nilai moral yang baik. Setelah mendongeng sebaiknya pendongeng menjelaskan mana yang baik yang patut ditiru dan mana-mana saja yang buruk dan tidak perlu ditiru dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai tindak kenakalan dapat dikurangi dari menanamkan perilaku dan sifat yang baik dari mencontoh karakter ataupun sifat-sifat perilaku di dalam cerita dongeng. Mendongeng mungkin memiliki efek yang lebih baik daripada mengatur anak dengan cara kekerasan (memukul, mencubit, menjewer, membentak, dan lain-lain)
E. Perkembangan Sastra di Sulawesi Selatan
Sastra Indonesia merupakan salah satu bentuk pengungkapan pemikiran tentang masyarakat baru Indonesia (Rumusan Seminar Politik Bahasa tahun 1999). Sastra daerah, yang didalamnya telah direkam berbagai pengalaman yang berbeda, tetapi saling berinteraksi dan dalam beberapa hal saling mempengaruhi, telah ada dan berkembang jauh sebelum munculnya sastra Indonesia. Sastra Indonesia dan daerah, baik yang lama maupun yang baru, tidak terlepas dari pengaruh dan pertemuannya dengan kebudayaan dan sastra asing. Dalam perkembangan selanjutnya, sastra Indonesia menjadi media ekspresi berbagai gagasan modern, percerminan jati diri untuk membangun kebudayaan baru yang diilhami baik oleh sumber-sumber kebudayaan tradisi maupun oleh kebudayaan modern. Perasaan dan cita-cita nasional Indonesia telah diekspresikan oleh pengarang Indonesia dalam bentuk puisi, roman, dan drama sebelum Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 1945, dan terus-menerus diutarakan dalam karya mereka setelah perang kemerdekaan. Oleh karena itu, sastra Indonesia sebagai bagian kebudayaan nasional berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya dalam upaya ikut memupuk kesadaran sejarah serta semangat dan solidaritas kebangsaan. Pelestarian sastra lama adalah salah satu upaya pemeliharaan sastra. Pemahaman terhadap karya sastra akan lebih mudah dicapai jika suatu generasi mengalami kehidupan sastra itu sendiri. Oleh karena itu, pemeliharaan karya sastra dapat dilakukan melalui pemeliharaan tradisi bersastra di masyarakat, seperti sastra lisan, pembacaan naskah lama, penuturan dongeng.
F. Pengajaran sastra di sekolah
Pengajaran sastra di sekolah dasar di Indonesia sangat memprihatinkan. Anak-anak di SD sangat miskin cerita, baik cerita berbentuk buku maupun yang dilisankan. Apalagi guru kurang menjelaskan tentang materi sastra. Hal ini dikarenakan guru merasa kesulitan dalam memilih bentuk dan jenis cerita sastra yang cocok untuk siswa. Kebanyakan guru kurang mengetahui cara mengapreasiasikan cerita sastra. Khususnya guru-guru sekolah di Sulawesi Selatan yang lebih banyak didapatkan saaat mengajarkan cerita rakyat yang ada di buku teks Bahasa Indonesia. Mereka hanya membaca secara datar tanpa ada intonasi dan penggunaan  mimik saat bercerita. Sehingga membuat siswa tidak tertarik untuk mendengarkan cerita tersebut. Selain itu,  siswa tidak mengetahui cerita daerah sendiri karena guru hanya berpatokan dengan cerita dalam teks buku
Upaya pembinaan sastra melalui pengajaran selalu dikaitkan dengan tujuan pengajaran sastra di sekolah. Tujuan pengajaran sastra di sekolah, baik sekolah dasar maupun sekolah menengah tidak pernah tercapai karena porsi pengajaran sastra hanya mendapat bagian kecil dari pengajaran bahasa. Ketersediaan guru sastra di sekolah-sekolah sangat terbatas. Begitupun dengan pemanfaatan bahan ajar sastra yang belum optimal. Berdasarkan hal tersebut, pengajaran sastra hendaknya memperhatikan hal-hal berikut. 1) Tidak lagi merupakan bagian dari pengajaran bahasa. 2) Didukung dengan pengadaan guru yang berkelayakan mengajarkan sastra. 3) Didukung ketersediaan karya sastra yang memadai di sekolah. 4) Diupayakan sastrawan, baik lokal maupun nasional, lebih banyak dimanfaatkan melalui kegiatan tatap muka dengan guru sastra dan siswa. 5) didukung dengan kegiatan ekstrakurikuler. Pemasyarakatan sastra Indonesia dimaksudkan untuk menumbuhkan dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap sastra Indonesia. Pemasyarakatan sastra Indonesia hendaklah menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Pemasyarakatan sastra dilakukan dengan tetap memperhatikan dan memanfaatkan kekayaan sastra nusantara, antara lain mengacu pada nilai-nilai budaya masyarakat.
G. Contoh Dongeng dari Sulsel
Nenek Pakande
Pada zaman dahulu kala, hidup seorang laki-laki yang bernama La Paitong , dia mempunyai istri dan dua orang anak yang masih kecil.
Dia ini suka mencari ikan di sungai. Dan setiap kali dia pergi mencari ikan , dia selalu bs mendapatkan ikan2 yang sangat besar. Sementara org2 lainnya yg sama2 pergi memancing sangat sulit mendapatkan ikan.
Padahal selama memancing sering sekali La Paittong malah tertidur. Lalu setiap kali dia terbangun , mata kailnya sudah ada ikannya.
Itulah La Paittong yg dianggap org2 tukang tidur (patindro) tapi selalu mujur.

Suatu kali dia pergi lagi memancing. Tp kali ini dia sedang tidak beruntung.
Setelah lama memancing , hanya satu ikan yang diperolehnya. Karena dia sudah sangat kelaparan , ikan itupun langsung dimasaknya untuk dimakan.
Pikirnya : nanti setelah makan dia akan mencari ikan lg khusus untuk anak dan istrinya.

Sambil menunggu ikannya matang , tanpa sengaja dia pun tertidur lg.
Saat sedang tertidur, tanpa disadari  tangannya menyentuh dan menindih salah satu kayu bakar yang mengakibatkan periuk terpental dan semua masakannya tumpah ke sungai dimana aliran sungai tersebut cukup tenang dan sangat dalam. Dalam bahasa Bugis areal sungai seperti ini disebut "Liwu''. Secara refleks La Paitong berlari ke pinggiran sungai yang agak terjal, tapi sial baginya waktu berada dipinggiran sungai parangnya ikut terjatuh ke dasar sungai. Dia segera melepaskan sarungnya dan melemparkan ke belakang dan segera melompat kesungai untuk mencari parangnya namun ternyata sarung yang dia lempar kebelakang berada tepat diatas api yang mengakibatkan sarungnya terbakar. Setelah beberapa menit menyelam dia tidak berhasil menemukan parangnya. Dengan perasaan kecewa ia naik ke permukaan dan betapa kagetnya ia ketika melihat seekor anjing sedang memakan bungkusan nasinya. Dia segera mengambil batu dan melempari anjing itu, berhubung matanya masih kabur lemparannya tidak mengenai sasaran dan justru mengenai kendi tuaknya yangg ikut pecah.
Sial sekali nasib La Paitong kali ini.
Sesampainya dirumah istrinya menyambutnya spt biasa , dan betapa kecewanya istrinya krn La Paitong tdk membawa hasil apa2.
Tidak apa engkau tidak membawa makanan untuk aku, tapi bagaimana dg anakmu ? "
La Paitong hanya menjawab dengan nada pelan :
"Bersabarlah istriku, suatu saat nanti pasti saya akan membawakan makanan yang banyak untuk kalian ".
Beberapa bulan telah berlalu tiba2 dikampung tersiar kabar bahwa ada seorang Nenek Siluman ( Nenek Pakande ) Yang akan menggelar ritual hajatan. Menurut Cerita, Nenek Pakande ini adalah manusia kanibal yang sangat ditakuti masyarakat. Nenek ini berhajat akan menunaikn ritual apabila ia berhasil mengumpulkan 40 orang untuk dia bawa dan akan dia makan. Rencananya dia akan menyembelih 40 ekor Ayam jantan, 40 ekor Ayam betina, dan memasak 40 liter ketam hitam serta 40 liter ketam Putih. Alhasil keinginginannya pun terwujud dan dia berhasil menangkap orang yang ke-40. Kabar ini pun sampai ditelinga La Paitong.
Mendengar hal ini La Paitong pun membayangkan makanan2 yang  akan ada  di tempat Nene pakande.
Micci na ro elona La Paitong ,
Tepat pada malam Jum'at, Nenek Pakande telah mempersiapkan segala sesuatunya yang dibutuhkan untuk ritual tengah malam nanti. La Paitong pun segera meninggalkan  rumahya dan berjalan ke hutan belantara menuju rumah Nenek Pakande.
Setibanya di sekitaran rumah Nenek Pakande, dia berpikir apa yang harus dia lakukan agar bisa menyelamatkan semua tawanan Nenek Pakande. Dan mengambil makanan yg tersedia disana.
Dari kejauhan dia memperhatikan ternyata ada sepohon kayu yang tumbuh cukup rimbun tepat disamping rumah Nenek Pakande, La Paitong segera naik ke atas pohon untuk mengamati apa yang sedang dilakukan Nenek Pakande. Karena dinding rumah itu hanya terbuat dari anyaman daun Nipa, maka ia dapat memperhatikan apa yang sedang dilakukan Nenek Pakande.
Lama La Paitong diam diatas pohon , sampe dia ketiduran lagi.
Tengah tertidur tiba2 dia terlonjak kaget. Ada sesuatu yg mengganggunya. Dan ternyata diatas pohon itu ada seekor monyet yg sedang memperhatikannya. Tanpa pikir panjang La Paitong menangkap monyet itu dan mengikatnya di sebatang ranting.
Karena tidak suka diganggu dan ketakutan monyet itu terus berteriak-teriak.
Nene Pakande pun yg sedang asik dengan kegiatannya , terkejut. Dia curiga kenapa ada suara-suara itu didekat rumahnya.
Padahal selama ini tidak pernah terdengar suara seperti itu. Karena curiga Nenek Pakande akhirnya keluar rumah untuk melihat apa yang menyebabkan suara-suara yang menyeramkan itu.
Tapi dia tidak melihat ada sesuatu yang mencurigakan karena La Paitong bersembunyi di atas pohon. Nenek Pakande yang tidak melihat sesuatu akhirnya masuk kembali ke dalam rumahnya dan melanjutkan pekerjaannya.
Lalu terdengar lagi suara teriakan kera itu dan kali ini entah kenapa Nenek Pakande merasa merinding dan agak ketakutan.

Mungkin karena selama ini tidak ada manusia biasa yang berani mendekati rumahnya. Jadi dia tidak pernah berfikir kalau suara itu disebabkan oleh manusia biasa.
Konon kabarnya di sekitar kampung itu juga ada seorang Raksasa yg dijuluki Raja Pitu Reppa , yg tubuhnya sangat besar dan tingginya melebihi pohon-pohon di hutan (sekitar 7 hasta)
Nenek Pakande khawatir jangan-jangan raksasa inilah yang ingin mengacaukan hajatannya. Namun ia tetap berusaha menenangkan diri dan mencoba untuk kembali keluar rumah memperhatikan dr mana suara itu. Kali ini dia membawa Obor untuk penerangan. Tapi cahaya obor itu tdk bisa menembus rimbunnya dedaunan di pohon tempat La Paitong berada. Nenek Pakande benar-benar ketakutan tapi dia tetap berusaha untuk menenangkan diri dan kembali naik ke atas rumah. Melihat tingkah Nenek Pakande yg ketakutan, La Paitong kembali melanjutkan aksinya.
Dia kembali mengganggu kera itu dan kera itu pun berteriak lg. Dan akhirnya Nenek Pakande benar-benar ketakutan. Karena sudah tidak tahan lagi Nenek Pakande turun dari rumahnya dan berlari tanpa tujuan entah kemana. Karena situasi sudah aman, La Paitong turun dari Pohon dan naik kerumah Nenek Pakande. Dia lalu membebaskan 40 orang yang ditawan Nenek Pakande. Betapa gembiranya mereka karena telah bebas dan bisa kembali bertemu keluarga masing-masing.

Yang dilakukan La Paitong selanjutnya ialah menyantap makanan yang telah disediakan Nenek Pakande dan yang dia sisakan hanya 40 liter ketam putih dan 40 ekor ayam betina kemudian dibawa pulang untuk istri dan anaknya. Betapa senang mereka melihat La Paitong kembali dengan membawa makanan yang sangat banyak. La Paitong pun berkata :

'' Inilah yang aku janjikan padamu, bahwa suatu saat nanti aku akan membawa makanan yg banyak untuk kalian dan inilah buktinya ''




III
PENUTUP
Simpulan
1.      Dongeng adalah cerita khayal semata yang sulit dipercaya kebenarannya. Dalam dongeng disajikan hal-hal yang ajaib, aneh, dan tidak masuk akal.
2.      Jenis-jenis dongeng adalah Mite,  Legenda, Sage, Fabel, Parabel, Dongeng orang pendir.
3.      Ciri-ciri dongeng : anonim, penyebaran secara lisan, berfungsi sebagai hiburan dan nasihat.
4.      Pemeliharaan karya sastra dapat dilakukan melalui pemeliharaan tradisi bersastra di masyarakat, seperti sastra lisan, pembacaan naskah lama, penuturan dongeng.
5.      Pengajaran sastra di sekolah dasar di Indonesia sangat memprihatinkan. Anak-anak di SD sangat miskin cerita, baik cerita berbentuk buku maupun yang dilisankan. Apalagi guru kurang menjelaskan tentang materi sastra








DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro Burhan. 2013. Sastra Anak (Pengantar Pemahaman Dunia Anak).  Jogjakarta: Gramedia.