TUGAS INDIVIDU
UJARAN
INTERAKSIONAL MASYARAKAT BUGIS SOPPENG
Disampaikan
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sosiolinguistik
Dosen Pengampu: Prof.
Dr. Hj. Johar Amir, M. Hum.
Disusun oleh
HERIYANTI
14B01030
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa sebagai alat komunikasi atau alat interaksi yang hanya
dapat dimiliki manusia. Dalam kehidupan masyarakat, sebenarnya manusia juga
dapat menggunakan alat komunikasi lain, selain bahasa. Namun tampaknya
bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik, paling sempurna,
dibandingkan alat komunikasi lain termasuk juga alat komunikasi yang digunakan
hewan. Sehubungan dengan bahasa sebagai alat, perlu dipahami suatu disiplin
ilmu bahasa yaitu sosiolingustik.
Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mengkaji hubungan antara
bahasa dan masyarakat penuturnya. Ilmu ini merupakan kajian kontekstual
terhadap variasi penggunaan bahasa masyarakat dalam sebuah komunikasi yang
alami. Interaksi dalam suatu masyarakat
tentunya tak lepas dari penggunaan bahasa itu sendiri. Bahasa sebagai alat yang
digunakan masyarakat untuk beinteraksi sehingga dapat terjalin hubungan yang
harmonis ataupun sebaliknya. Dalam penggunaannya, bahasa pun terikat suatu
norma dalam masyarakat, meskipun dalam penerapannya tak ada sangsi yang berat
jika norma tersebut dilanggar, boleh jadi hanya akan menyebabkan tidak
tercapainya tujuan ujaran.
Tindak ujaran adalah sepotong ujaran yang dihasilkan sebagai
bagian dari sebuah interaksi sosial. Kebudayaan kita memiliki banyak konsep
untuk mengelompokkan kepingan-kepingan interaksi sosial, yang mencerminkan
pentingnya interaksi sosial dalam masyarakat.
Salah satu aplikasi ujaran
sebagai interaksi sosial adalah penggunaan ujaran dalam interaksi dengan
masyarakat penuturnya. Bahasa Bugis sebagai salah satu bahasa yang memiliki
masyarakat penutur terbesar di Sulawesi Selatan. Bahasa Bugis merupakan wadah
pelestarian budaya salah satu daerah di Indonesia yang memiliki sejarah dan
tradisi yang cukup tua dan dipelihara oleh masyarakat pemiliknya. Selain itu, bahasa Bugis merupakan alat komunikasi yang cukup
penting di daerah Sulawesi Selatan, di samping bahasa Indonesia. Penutur
bahasa Bugis mendiami sebelas kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu:
Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng Rappang (Sidrap), Pinrang, Pare-Pare Barru,
sebagian Kabupaten Maros, Pangkep, Sinjai, dan Bulukumba. Bahasa Bugis tersebut
memiliki dialek tersendiri sesuai dengan letak geografisnya.
Pada makalah ini akan
dibahas tentang ujaran yang ada di Kabupaten Soppeng. Masyarakat Soppeng
menarik untuk diteliti sebab masyarakat Soppeng terkenal dengan masyarakat rasa gotong royong dan hubungan
kekerabatan yang tinggi, menjunjung nilai-nilai kesopanan dalam
berinteraksi dengan masyarakat, adat dan budaya.
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah dalam
makalah ini, yaitu bagaimanakah ujaran yang digunakan masyarakat Soppeng dalam
suatu peristiwa dan situasi tententu?
C.
Tujuan
Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah untuk mengetahui penggunaan ujaran masyarakat Soppeng dalam
suatu peristiwa dan situasi tertentu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Letak
Geografis Kabupaten Soppeng
Kabupaten Soppeng adalah salah satu Kabupaten
di provinsi
Sulawesi Selatan, Indonesia.
Ibu kota
kabupaten
ini terletak di Watansoppeng.
Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.359,44 km2 dan berpenduduk
sebanyak kurang lebih 223.826 jiwa (2010). Soppeng terletak pada depresiasi sungai Walanae yang terdiri dari daratan dan perbukitan dengan luas
daratan ± 700 km2 serta berada pada ketinggian rata-rata antara
100-200 m
di atas permukaan laut.
Luas daerah perbukitan Soppeng
kurang lebih 800 km2 dan berada pada ketinggian rata-rata 200 m di
atas permukaan laut. Ibukota Kabupaten Soppeng adalah kota Watansoppeng yang berada
pada ketinggian 120 m di atas permukaan laut.
Kabupaten Soppeng tidak memiliki wilayah pantai. Wilayah
perairan hanya sebagian dari Danau Tempe. Kabupaten Soppeng memiliki banyak gunung-gunung diantaranya
Gunung
Nene Conang,
Gunung
Laposo, Gunung
Sewo, Gunung
Lapancu, Gunung
Bulu Dua, Gunung
Paowengeng.
Kabupaten Soppeng memiliki tempat-tempat wisata berupa
permandian air panas alami yang bernama "LEJJA", permandian mata air
"OMPO" dan permandian alam "CITTA". Lejja berjarak ± 40
Kilometer dari pusat kota, terletak di desa Batu-batu, Kecamatan Marioriawa.
B. Hakikat Sosial Ujaran
Ujaran yaitu rangkaian unsur bahasa yang pendek atau panjang
yang digunakan dalam berbagai kesempatan yang berbeda untuk tujuan-tujuan yang
berbeda. Istilah ujaran ini mencakup wacana lisan dan wacana tertulis, tetapi
hanya akan membahas apa yang disebut ‘interaksi langsung’ (face-to-face
interaction), atau apa yang terjadi ketika seseorang berbicara kepada orang
lain yang dapat ia lihat dan yang cukup dekat untuk mendengarnya.
Ujaran memainkan banyak peranan yang berbeda dalam kesempatan
atau situasi yang berbeda. Bahasa adalah sebuah bentuk tindakan dan bukan
merupakan alat berpikir’. Sementara itu, ujaran berfungsi sebagai kontrol atas
aktivitas fisik manusia, yang berbeda dengan fungsinya dalam suatu ceramah di
mana ujaran ditujukan untuk mempengaruhi pikiran pendengar.
Fungsi lain dari ujaran adalah untuk menjalin atau mempererat
hubungan sosial. Selain itu, kita dapat menambah fungsi ujaran untuk memperoleh
informasi, untuk mengungkapkan emosi atau perasaan dan lain-lain. Meskipun kita
tidak perlu mengembangkan klasifikasi fungsi ujaran, ini perlu disebutkan.
C. Ujaran
Sebagai Tanda Identitas Sosial
1. Kategori
sosial yang tak berkaitan
Ciri-ciri paling
lazim yang tercermin dalam pokok kebahasaan yang khusus adalah jenis kelamin. Ketika seorang penutur laki-laki berujar
kepada penutur perempuan, maka nada suara laki-laki yang sejatinya bernada
tinggi akan menjadi rendah nadanya ketika berbicara kepada seorang perempuan.
Hal ini juga ditemukan di masyarakat Soppeng. Selain itu, hubungan kekerabatan
juga menjadi salah satu bervariasinya ujaran sesuai dengan siapa yang diajak
bicara, dapat dilihat pada kutipan percakapan di bawah ini.
A : Aga rijama deng?
(Kakak sedang ngapain?)
B : Mappadeceng motoraka ndi
(Saya sedang memperbaiki motor dek)
A : Tabe,jokkaki mellingekka beppa deng ri
bolana Murni
(Tolong pergi belikan adek kue di rumahnya
Murni)
B : Iye’ ndi uppapurai yolo jamangku
(iya dek, saya selesaikan dulu kerjaanku)
A : Iye deng, macinnaka manre beppa
(Iye kak, saya ingin makan kue)
B : Iye’ ndi matupi ujokka mellingekki
(iya dek, sebentar saya pergi belikan)
Dari kutipan percakapan di atas terlihat hubungan kekeluargaan yang
sangat kental antara penutur (A) dan penutur (B). Sapaan deng dan sapaan
ndi’, yang digunakan oleh kedua penutur menandakan kesopanan sebagai
tanda penghormatan kepada saudara atau orang yang lebih tua dan lebih muda.
2. Kekuasaan
dan solidaritas
Ujaran juga dapat
mencerminkan hubungan sosial antara penutur dan pendengar, terutama sekali
hubungan kekuasaan dan solidaritas yang diwujudkan dalam hubungan itu.
Pemberian pertanda
secara kebahasaan terhadap kekuasaan dan solidaritas cukup banyak dikaji
setidaknya sebanyak dua kemungkinan kesemestaan bahasa. Setiap bahasa dapat
diharapkan mempunyai suatu cara menandai perbedaan dalam hal kekuasaan atau
solidaritas atau keduanya, yang dapat dijelaskan dengan merujuk ke sangat
pentingnya kekuasaan atau solidaritas dalam hubungan tatap muka antara para
individu, dan masing-masing individu perlu memperjelas bagaimana ia memandang
hubungan ini. Tampaknya juga bahwa apabila kekuasaan dan solidaritas
dicerminkan dalam jajaran bentuk yang sama, maka bentuk yang mengungkapkan
solidaritas tinggi juga menampakkan adanya kekuasaan yang lebih besar pada
pihak penuturnya dan sebaliknya.
Kekuasaan dan solidaritas ketika terjadi interaksi dalam masyarakat Bugis
Soppeng ditandai dengan penggunaan sapaan Pung, Petta, Wa’ dan Ma’.
Penggunaan sapaan ini umum digunakan dalam masyarakat Bugis Soppeng.
Sapaan ini merupakan penanda bagi oarng yang memiliki kekuasaan dalam
masyarakat. Selain itu, juga menandakan penghormatan penutur kepada lawan
tutur. Seperti pada kutipan percakapan berikut ini.
A : Tegaki pole aji?
(dari manaki haji?)
B : Poleka ri bolana petta aji wadeng
(Saya dari rumahnya Hj.Wadeng)
A : Leppaki mai yolo ri bolae aji
(Singgahki rumah dulu aji)
B : Iye’ na… Ajja sana mawennini bela
(iya nak, janganmi dulu, sudah malam)
A : Iye aji akkatutuki palena
(iya aji hati-hatiki)
B : Iye nak, ki mai tajokka bola’E
(iya nak, mariki ke rumah !)
A : Iye, terima kasih aji
(iya, terima kasih aji)
Penggunaan sapaan petta pada petikan percakapan di atas, Poleka ri bolana petta aji wadeng
memiliki makna penghormatan kepada yang lebih tua serta penghormatan kepada
orang yang memiliki kekuasaan dalam masyarakat. Penggunaan sapaan petta ketika
terjadi interaksi dalam masyarakat Bugis Soppeng cenderung bermakna kekuasaan
atau orang yang lebih dihormati di masyarakat.
3. Tanda
kebahasaan bagi kekuasaan dan solidaritas
Tanda kebahasaan bagi kekuasaan dan solidaritas ketika terjadi interaksi
dalam masyarakat Bugis Soppeng dapat dilihat pada petikan percakapan berikut
ini.
A :
Tegaki pole aji?
(dari manaki haji?)
B :
Poleka ri bolana petta aji wadeng
(Saya dari rumahnya Hj.Wadeng)
A :
Leppaki mai yolo ri bolae aji
(Singgahki rumah dulu aji)
B :
Iye’ na… Ajja sana mawennini bela
(iya nak, janganmi dulu, sudah malam)
A :
Iye aji akkatutuki palena
(iya aji hati-hatiki)
B :
Iye nak, ki mai tajokka bola’E
(iya nak, mariki ke rumah !)
A :
Iye, terima kasih aji
(iya, terima kasih aji)
Berdasarkan petikan percakapan tersebut, tampak bahwa tanda kebahasaan
bagi kekuasaan tidak hanya penggunaan sapaan Pung dan Petta, tapi juga
ditandai dengan penggunaan sapaan Haji. Di Soppeng, orang yang
telah melaksanakan ibadah haji merasa tersanjung apabila disapa dengan sapaan aji. Oleh karena itu, masyarakat Bugis
berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan ibadah haji, sehingga sekembalinya
dari tanah suci dapat disapa dengan aji.
D. Struktur
Ujaran
a.
Jalan masuk
keluar dalam interaksi
Pola
yang sering muncul ditemukan dalam perilaku tertentu, maka kita dapat
mengatakan bahwa perilaku itu dibentuk oleh pola-pola itu. Tidak ada kesulitan
dalam membuktikan bahwa ujaran terbentuk oleh pola-pola itu, karena tatabahasa
dan kamus penuh dengan pola-pola atau kaiimat yang muncul berulang-ulang.
Pola-pola yang relatif pendek ini, terkandung dalam kalimat, hanya merupakan
satu bagian dari seluruh struktur ujaran, karena semua pola yang lebih panjang
dapat diidentifikasi, seperti pola yang terdiri dari pertanyaan yang diikuti
dengan jawaban, dan bahkan poa-pola yang lebih panjang seperti interaksi antara
dua orang, dengan salam pada awal interaksi dan perpisahan pada akhir
interaksi.
Kita
dapat berasumsi bahwa setiap bahasa mencakup berbagai bentuk untuk digunakan
sebagai “salam pertemuan” dan sebagai “salam perpisahan”, mengingat pentingnya
‘masuk’ dan ‘ke luar’ dan interaksi. Erving Goffman (1955) menegaskan bahwa
ucapan salam pertemuan diperlukan untuk membuktikan bahwa hubungan yang telah
terjalin pada akhir pertemuan terakhir masih belum berubah meskipun perpisahan
telah berlangsung, dan ucapan salam perpisahan diperlukan untuk ‘menyimpulkan’
pengaruh pertemuan terhadap hubungan itu dan memperlihatkan apa yang diharapkan
oleh masing-masing partisipan dalam pertemuan mereka selanjutnya.
Sejauh
ini kita memahami bahwa hubungan di antara para partisipan dalam interaksi
tertentu sangat menarik bagi mereka sendiri, dan mereka akan mengetahui dengan
mudah mengapa penting bagi mereka untuk memulai dan mengakhiri satu bentuk
interaksi dengan memperlihatkan hubungan mereka. Pada situasi formal, cara masuk
dan keluar sebagai struktur suatu ujaran tampak secara jelas. Struktur ujaran
dimulai dengan pembuka, ujaran, dan penutup. Struktur ujaran ini dapat dilihat
pada petikan percakapan berikut ini.
A : Assalamu’alaikum, tegaki punna bola’E
?
(Assalamu’alaikum, dimana yang punya rumah?)
B : Waalaikumsalam, tamaki mai engkama!
(Waalaikumsalam, silakan masuk, adaja)
A : Iye, terima kasih.
(Iya, terima kasih)
B : Pole tegakitu?
(Dari mana?)
A : Poleka ri rapa’ ri kantoro desa’E.
(Saya dari rapat di
kantor desa)
B : Oh iye.
A : Tabe, Nasuroka pak
desa Palettukeng meloki mappapaccing ri masiji’E baja
(Maaf, saya disuruh pak desa sampaikan besok
kita mau membersikan mesjid)
B : Oh iye, terima
kasih.
(Iya, terima kasih)
A : Iye, mello permisina
pale.
(Iya, saya pamit dulu)
B : Iye.
(Iya.)
Berdasarkan kutipan percakapan di atas, tampak struktur ujaran yang
dimulai ketika penutur A berkunjung ke rumah B, sebelumnya membuka percakapan
dengan salam. Kemudian menyampaikan maksud kepada si B. Setelah ujaran atau
maksud kedatangannya telah disampaikan, maka penutur A menutup pembicaraan dan
pamit kepada penutur B.
b.
Jenis-jenis
Struktur Lain dalam Ujaran
Salah
satu jenis struktur didasarkan pada fakta bahwa individu-individu mengambil
giliran bicara dalam hampir semua bentuk interaksi, sehingga ujaran terbagi ke
dalam untaian-untaian ujaran, yang digunakan oleh para pemakai bahasa yang
berbeda. Dalam mengkaji aspek wacana ini, kita dapat mengajukan
pertanyaan-pertanyaan seperti apakah ‘giliran bicara’ dilakukan secara
berurutan atau saling tumpang tindih, bagaimana pembicara menunjukkan bahwa ia
harus menyelesaikan pembicaraan, bagaimana pendengar menunjukkan bahwa ia siap
memulai pembicaraan siapa yang lebih banyak bicara dan lain-lain.
Hal tersebut dapat dilihat pada petikan percakapan di bawah ini.
A : Meloki gare botting anak
malolota?
(Anak bungsu ibu mau menikah?)
B : Iye, meloki botting
(Iya,
mau nikah)
A : Bahh, madeceng ni itu
narekko meloni botting
(Waah, bagus itu kalau sudah mau nikah)
C : Iye, madeceng metto narekko
magatti ripabboting anana’E
(Iya, bagus kalau cepat dinikahkan anak-anak)
B : Iye, mudah-mudahan siadecengemma
kasi
(Iya, mudah-mudahan pernikahannya berhasil)
E : Aga najama yaro calonna?
(Apa pekerjaannya calon suaminya?)
B : dena’ pa na ma’jama
kasi’na. Nappai massappa jamang.
(Belum kerja, sementara cari kerja sekarang)
D : masusa to massappa jamang
makkukua’E
(Susah juga cari kerja jaman sekarang)
B : Iye, massussa tongeng.
(Iya, susah betul)
E : iye, tapi massapa matoki,
engka mutotu matu jamang naruntu.
(Iya, cari saja dulu, pasti nanti dapat kerja)
B : Iye, engka maneng mua
taue dalle’na
(Iya, nanti ada semua rezekinya)
A, C, D, E : Aaamiin….
Dari kutipan percakapan di atas dapat dilihat bahwa tidak ada tumpang
tindih antara penutur yang satu dengan penutur lainnya. Hal ini menandakan
bahwa penutur yang satu saling memberikan kesempatan kepada penutur yang lain
untuk mengemukakan pendapatnya.
c. Perilaku
Verbal dan Nonverbal
Berdasarkan perilaku
ujaran verbal dan nonverbal dapat dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu:
a. Pemarkah
Hubungan
Pemarkah hubungan
membahas hubungan antara perilaku verba
dan nonverbal dalam interaksi sosial. Linguis bernama David Abercrombie telah
menyatakan bahwa “kita berbicara dengan menggunakan organ suara kita, tetapi
kita bercakap-cakap dengan menggunakan seluruh tubuh (Abercrombie,1968)
Pemarkah hubungan ketika terjadi komunikasi di daerah Soppeng, ditandai
dengan penggunaan sapaan yang digunakan oleh penutur kepada lawan tutur yang
disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, serta hubungan pertalian darah. Seperti
pada petikan percakapan antara nenek (A) dan cucu (B).
A : Tegaki pole indo?
(Dari manaki nek?)
B : Poleka ri bola
sappisengta nak
(Saya dari rumahnya sepuputa nak)
A : Aga riala ri bolana sappisengku
indo?
(Apa keperluanta di rumahnya sepupuku nek)
B : Polema jokka-jokka nak
(Cuma jalan-jalan saja nak)
Berdasarkan ujaran tersebut di atas, tampak penggunaan honorifik ki, pada
petikan ujaran Tegaki pole indo? (Dari manaki nek?) dan honorifik
ta, pada petikan ujaran Poleka ri bola sappisengta nak (Darika di rumahnya sepuputa nak) bahwa penutur (A) memiliki hubungan
kekerabatan yang dekat dengan penutur (B).
b. Pemarkah
Struktur
Perilaku non verbal dalam pemarkah struktur ditandai dengan bersalaman
dan berpelukan dengan lawan tutur ketika bertemu. Pemarkah ini dilakukan oleh
penutur dan lawan tutur yang ada di masyarakat Soppeng yang memiliki hubungan
kekerabatan yang cukup dekat. Misalnya, orang tua dan anak.
Sedangkan dalam perilaku verbal yang umum, pemarkah struktur ditandai
dengan salam, isi, dan penutup. Ketika terjadi ujaran antara penutur dan lawan
tutur, salam tidak hanya diujarkan dengan salam yang umum (assalamu’alaikum
wr. wb.) atau selamat pagi. Namun, dapat juga diujarkan dengan ujaran lain
yang juga dapat berarti salam. Seperti pada petikan percakapan di bawah ini.
A : Tegaki pole?
(Dari manaki?)
B : Poleka ri bolana hj.
Wadeng mala ikkaju
(Saya dari rumah hj. Wadeng ambil sayur)
A : Melomiga matu
jokka pasa’E
(Mau jaki sebentar ke pasar?)
B : Iye melo moka
(Iye saya mau)
A : Ooo…. Yoloka pale di’, Silopi pale matu jokka pasa’E
(Ooo, saya duluan, sebentar kita sama-sama ke
pasar)
B :
Iyye…iyye
(Iya…iya)
Berdasarkan penggalan percakapan di atas, Ujaran salam yang terjadi pada
percakapan tersebut di atas terjadi ketika Penutur (B) dari rumah Hj. Wadeng
ambil sayur dan langsung ditegur oleh penutur (A). Dapat dilihat secara jelas
bahwa ujaran salam yang umum tidak tampak, namun ujaran yang disampaikan oleh
penutur (A), Tegaki pole? (Dari manaki?) dapat dikategorikan
sebagai ujaran salam yang lazim diujarkan ketika pertama kali bertemu dengan
lawan tutur di jalan.
Struktur verbal lain yang diujarkan oleh penutur (A) Ooo…. Yoloka pale di’, Silopi pale matu jokka pasa’E (Ooo,
saya duluan, sebentar kita sama-sama ke pasar) merupakan ujaran
yang berarti mengakhiri percakapan. Hal ini merupakan struktur verbal bagian
penutup.
c. Pemarkah
Isi
Perilaku non verbal dalam pemarkah isi di
antaranya orang dapat dapat menggunakan jarinya. Misalnya angka satu ditujukkan
dengan jempol untuk mengungangkapkan rasa enak atau bagus. Contoh dalam
kehidupan sehari-hari pada saat menyetop kendaraan dengan lambaian tangan. Pada masyarakat
Soppeng, biasanya lawan tutur menunjukkan tangan untuk memberi informasi
penunjuk tempat kepada lawan bicara.
Hal tersebut dapat dilihat pada petikan percakapan di bawah ini.
A :
Tegaki pole?
(Dari manaki?)
B : Poleka melli dispenser
(Saya dari beli dispenser)
A : Tegaki melli? Meloka
mellito disepenser
(Dimanaki beli? Saya juga mau beli dispenser)
B : Kuraodo, Ku seddena
pabbalu tapperede (Menunjuk tangan)
(Di sana, di dekatnya penjual tikar)
A : Ohh iye, meloka pale
jokka melli
(Ohh iya, saya mau pergi juga beli)
B : Iye
(Iya)
Pemarkah isi yang dapat dilihat pada penggalan percakapan di atas
ditandai dengan penunjukan disana. Ada maksud yang disampaikan oleh
penutur kepada lawan tutur. Hal ini dilihat pada petikan ujaran Kuraodo, Ku
seddena pabbalu tapperede (Menunjuk tangan) (Di sana, di dekatnya penjual
tikar)
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fungsi lain dari ujaran
adalah untuk menjalin atau mempererat hubungan sosial. Selain itu, kita dapat
menambah fungsi ujaran untuk memperoleh informasi, untuk mengungkapkan emosi
atau perasaan dan lain-lain. Ujaran dalam interaksi sosial sangat berkaitan dengan
hubungan kekerabatan, kekuasaan dan solidaritas penutur dalam keluarga maupun
masyarakat.
Struktur umum dari sebuah ujaran dimulai
dengan pembuka, ujaran, dan penutup akan tetapi hal yang paling penting dalam
sebuah ujaran jika lebih dari dua orang penutur adalah tidak ada tumpang tindih
antara penutur yang satu dengan penutur lainnya. Penutur yang satu saling
memberikan kesempatan kepada penutur yang lain untuk mengemukakan pendapatnya.
B.
Saran
Dengan mengkaji ujaran dalam suatu masyarakat,
khususnya masyarakat Bugis Soppeng maka diharapkan mengamati perilaku verbal
dan non verbal yang ada dalam masyarakat sebagai bagian yang saling melengkapi.
Oleh karena itu, peneliti bahasa dalam hal ini harus memperhatikan kedua
perilaku tersebut dan diharapkan pada penelitian selanjutnya lebih lebih
terperinci.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 1995.
Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Soppeng
Hudson,
RA. 1995. Sosiolinguistik (Terj. Rochayah dan Misbach Djamil). Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Labov, W.
Sociolinguistic Patterns. Philadelphia The University of Pensylvania Press Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar