Senin, 18 Mei 2015

Ujaran Interaksional Masyarakat Bugis Soppeng



 
TUGAS INDIVIDU
UJARAN INTERAKSIONAL MASYARAKAT BUGIS SOPPENG

Disampaikan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sosiolinguistik
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Hj. Johar Amir, M. Hum.

Disusun oleh

HERIYANTI
14B01030



PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bahasa sebagai alat komunikasi atau alat interaksi yang hanya dapat dimiliki manusia. Dalam kehidupan masyarakat, sebenarnya manusia juga dapat menggunakan alat komunikasi lain, selain bahasa. Namun tampaknya  bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik, paling sempurna, dibandingkan alat komunikasi lain termasuk juga alat komunikasi yang digunakan hewan. Sehubungan dengan bahasa sebagai alat, perlu dipahami suatu disiplin ilmu bahasa yaitu sosiolingustik.
Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mengkaji hubungan antara bahasa dan masyarakat penuturnya. Ilmu ini merupakan kajian kontekstual terhadap variasi penggunaan bahasa masyarakat dalam sebuah komunikasi yang alami. Interaksi dalam suatu masyarakat tentunya tak lepas dari penggunaan bahasa itu sendiri. Bahasa sebagai alat yang digunakan masyarakat untuk beinteraksi sehingga dapat terjalin hubungan yang harmonis ataupun sebaliknya. Dalam penggunaannya, bahasa pun terikat suatu norma dalam masyarakat, meskipun dalam penerapannya tak ada sangsi yang berat jika norma tersebut dilanggar, boleh jadi hanya akan menyebabkan tidak tercapainya tujuan ujaran.
Tindak ujaran adalah sepotong ujaran yang dihasilkan sebagai bagian dari sebuah interaksi sosial. Kebudayaan kita memiliki banyak konsep untuk mengelompokkan kepingan-kepingan interaksi sosial, yang mencerminkan pentingnya interaksi sosial dalam masyarakat.
Salah satu aplikasi ujaran sebagai interaksi sosial adalah penggunaan ujaran dalam interaksi dengan masyarakat penuturnya. Bahasa Bugis sebagai salah satu bahasa yang memiliki masyarakat penutur terbesar di Sulawesi Selatan. Bahasa Bugis merupakan wadah pelestarian budaya salah satu daerah di Indonesia yang memiliki sejarah dan tradisi yang cukup tua dan dipelihara oleh masyarakat pemiliknya. Selain itu, bahasa Bugis merupakan alat komunikasi yang cukup penting di daerah Sulawesi Selatan, di samping bahasa Indonesia. Penutur bahasa Bugis mendiami sebelas kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu: Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng Rappang (Sidrap), Pinrang, Pare-Pare Barru, sebagian Kabupaten Maros, Pangkep, Sinjai, dan Bulukumba. Bahasa Bugis tersebut memiliki dialek tersendiri sesuai dengan letak geografisnya.
Pada makalah ini akan dibahas tentang ujaran yang ada di Kabupaten Soppeng. Masyarakat Soppeng menarik untuk diteliti sebab masyarakat Soppeng terkenal dengan masyarakat rasa gotong royong dan hubungan kekerabatan yang tinggi, menjunjung nilai-nilai kesopanan dalam berinteraksi dengan masyarakat, adat dan budaya.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu bagaimanakah ujaran yang digunakan masyarakat Soppeng dalam suatu peristiwa dan situasi tententu?
C.    Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui penggunaan ujaran masyarakat Soppeng dalam suatu peristiwa dan situasi tertentu.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Letak Geografis Kabupaten Soppeng
Kabupaten Soppeng adalah salah satu Kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Watansoppeng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.359,44 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 223.826 jiwa (2010). Soppeng terletak pada depresiasi sungai Walanae yang terdiri dari daratan dan perbukitan dengan luas daratan ± 700 km2 serta berada pada ketinggian rata-rata antara 100-200 m di atas permukaan laut. Luas daerah perbukitan Soppeng kurang lebih 800 km2 dan berada pada ketinggian rata-rata 200 m di atas permukaan laut. Ibukota Kabupaten Soppeng adalah kota Watansoppeng yang berada pada ketinggian 120 m di atas permukaan laut.
Kabupaten Soppeng tidak memiliki wilayah pantai. Wilayah perairan hanya sebagian dari Danau Tempe. Kabupaten Soppeng memiliki banyak gunung-gunung diantaranya Gunung Nene Conang, Gunung Laposo, Gunung Sewo, Gunung Lapancu, Gunung Bulu Dua, Gunung Paowengeng.
Kabupaten Soppeng memiliki tempat-tempat wisata berupa permandian air panas alami yang bernama "LEJJA", permandian mata air "OMPO" dan permandian alam "CITTA". Lejja berjarak ± 40 Kilometer dari pusat kota, terletak di desa Batu-batu, Kecamatan Marioriawa.


B.     Hakikat Sosial Ujaran
Ujaran yaitu rangkaian unsur bahasa yang pendek atau panjang yang digunakan dalam berbagai kesempatan yang berbeda untuk tujuan-tujuan yang berbeda. Istilah ujaran ini mencakup wacana lisan dan wacana tertulis, tetapi hanya akan membahas apa yang disebut ‘interaksi langsung’ (face-to-face interaction), atau apa yang terjadi ketika seseorang berbicara kepada orang lain yang dapat ia lihat dan yang cukup dekat untuk mendengarnya.
Ujaran memainkan banyak peranan yang berbeda dalam kesempatan atau situasi yang berbeda. Bahasa adalah sebuah bentuk tindakan dan bukan merupakan alat berpikir’. Sementara itu, ujaran berfungsi sebagai kontrol atas aktivitas fisik manusia, yang berbeda dengan fungsinya dalam suatu ceramah di mana ujaran ditujukan untuk mempengaruhi pikiran pendengar.
Fungsi lain dari ujaran adalah untuk menjalin atau mempererat hubungan sosial. Selain itu, kita dapat menambah fungsi ujaran untuk memperoleh informasi, untuk mengungkapkan emosi atau perasaan dan lain-lain. Meskipun kita tidak perlu mengembangkan klasifikasi fungsi ujaran, ini perlu disebutkan.
C.  Ujaran Sebagai Tanda Identitas Sosial
1.      Kategori sosial yang tak berkaitan
Ciri-ciri paling lazim yang tercermin dalam pokok kebahasaan yang khusus adalah jenis kelamin. Ketika seorang penutur laki-laki berujar kepada penutur perempuan, maka nada suara laki-laki yang sejatinya bernada tinggi akan menjadi rendah nadanya ketika berbicara kepada seorang perempuan. Hal ini juga ditemukan di masyarakat Soppeng. Selain itu, hubungan kekerabatan juga menjadi salah satu bervariasinya ujaran sesuai dengan siapa yang diajak bicara, dapat dilihat pada kutipan percakapan di bawah ini.
A          : Aga rijama deng?
               (Kakak sedang ngapain?)
B           : Mappadeceng motoraka ndi
               (Saya sedang memperbaiki motor dek)
A          : Tabe,jokkaki mellingekka beppa deng ri bolana Murni
               (Tolong pergi belikan adek kue di rumahnya Murni)
B           : Iye’ ndi uppapurai yolo jamangku
               (iya dek, saya selesaikan dulu kerjaanku)
A          : Iye deng, macinnaka manre beppa
               (Iye kak, saya ingin makan kue)
B           : Iye’ ndi matupi ujokka mellingekki
               (iya dek, sebentar saya pergi belikan)
Dari kutipan percakapan di atas terlihat hubungan kekeluargaan yang sangat kental antara penutur (A) dan penutur (B). Sapaan deng dan sapaan ndi’, yang digunakan oleh kedua penutur menandakan kesopanan sebagai tanda penghormatan kepada saudara atau orang yang lebih tua dan lebih muda.
2.      Kekuasaan dan solidaritas
Ujaran juga dapat mencerminkan hubungan sosial antara penutur dan pendengar, terutama sekali hubungan kekuasaan dan solidaritas yang diwujudkan dalam hubungan itu.  
Pemberian pertanda secara kebahasaan terhadap kekuasaan dan solidaritas cukup banyak dikaji setidaknya sebanyak dua kemungkinan kesemestaan bahasa. Setiap bahasa dapat diharapkan mempunyai suatu cara menandai perbedaan dalam hal kekuasaan atau solidaritas atau keduanya, yang dapat dijelaskan dengan merujuk ke sangat pentingnya kekuasaan atau solidaritas dalam hubungan tatap muka antara para individu, dan masing-masing individu perlu memperjelas bagaimana ia memandang hubungan ini. Tampaknya juga bahwa apabila kekuasaan dan solidaritas dicerminkan dalam jajaran bentuk yang sama, maka bentuk yang mengungkapkan solidaritas tinggi juga menampakkan adanya kekuasaan yang lebih besar pada pihak penuturnya dan sebaliknya.
Kekuasaan dan solidaritas ketika terjadi interaksi dalam masyarakat Bugis Soppeng ditandai dengan penggunaan sapaan Pung, Petta, Wa’ dan Ma’. Penggunaan sapaan ini umum digunakan dalam masyarakat Bugis Soppeng. Sapaan ini merupakan penanda bagi oarng yang memiliki kekuasaan dalam masyarakat. Selain itu, juga menandakan penghormatan penutur kepada lawan tutur. Seperti pada kutipan percakapan berikut ini.
A          : Tegaki pole aji?
               (dari manaki haji?)
B           : Poleka ri bolana petta aji wadeng
               (Saya dari rumahnya Hj.Wadeng)
A          : Leppaki mai yolo ri bolae aji
               (Singgahki rumah dulu aji)
B           : Iye’ na… Ajja sana mawennini bela
               (iya nak, janganmi dulu, sudah malam)
A          : Iye aji akkatutuki palena
               (iya aji hati-hatiki)
B           : Iye nak, ki mai tajokka bola’E
               (iya nak, mariki ke rumah !)
A          : Iye, terima kasih aji
               (iya, terima kasih aji)
Penggunaan sapaan petta pada petikan percakapan di atas, Poleka ri bolana petta aji wadeng memiliki makna penghormatan kepada yang lebih tua serta penghormatan kepada orang yang memiliki kekuasaan dalam masyarakat. Penggunaan sapaan petta ketika terjadi interaksi dalam masyarakat Bugis Soppeng cenderung bermakna kekuasaan atau orang yang lebih dihormati di masyarakat.
3.      Tanda kebahasaan bagi kekuasaan dan solidaritas
Tanda kebahasaan bagi kekuasaan dan solidaritas ketika terjadi interaksi dalam masyarakat Bugis Soppeng dapat dilihat pada petikan percakapan berikut ini.
A          : Tegaki pole aji?
               (dari manaki haji?)
B           : Poleka ri bolana petta aji wadeng
               (Saya dari rumahnya Hj.Wadeng)
A          : Leppaki mai yolo ri bolae aji
               (Singgahki rumah dulu aji)
B           : Iye’ na… Ajja sana mawennini bela
               (iya nak, janganmi dulu, sudah malam)
A          : Iye aji akkatutuki palena
               (iya aji hati-hatiki)
B           : Iye nak, ki mai tajokka bola’E
               (iya nak, mariki ke rumah !)
A          : Iye, terima kasih aji
               (iya, terima kasih aji)
Berdasarkan petikan percakapan tersebut, tampak bahwa tanda kebahasaan bagi kekuasaan tidak hanya penggunaan sapaan Pung dan Petta, tapi juga ditandai dengan penggunaan sapaan Haji. Di Soppeng, orang yang telah melaksanakan ibadah haji merasa tersanjung apabila disapa dengan sapaan aji. Oleh karena itu, masyarakat Bugis berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan ibadah haji, sehingga sekembalinya dari tanah suci dapat disapa dengan aji.
D.  Struktur Ujaran
a.      Jalan masuk keluar dalam interaksi
Pola yang sering muncul ditemukan dalam perilaku tertentu, maka kita dapat mengatakan bahwa perilaku itu dibentuk oleh pola-pola itu. Tidak ada kesulitan dalam membuktikan bahwa ujaran terbentuk oleh pola-pola itu, karena tatabahasa dan kamus penuh dengan pola-pola atau kaiimat yang muncul berulang-ulang. Pola-pola yang relatif pendek ini, terkandung dalam kalimat, hanya merupakan satu bagian dari seluruh struktur ujaran, karena semua pola yang lebih panjang dapat diidentifikasi, seperti pola yang terdiri dari pertanyaan yang diikuti dengan jawaban, dan bahkan poa-pola yang lebih panjang seperti interaksi antara dua orang, dengan salam pada awal interaksi dan perpisahan pada akhir interaksi.
Kita dapat berasumsi bahwa setiap bahasa mencakup berbagai bentuk untuk digunakan sebagai “salam pertemuan” dan sebagai “salam perpisahan”, mengingat pentingnya ‘masuk’ dan ‘ke luar’ dan interaksi. Erving Goffman (1955) menegaskan bahwa ucapan salam pertemuan diperlukan untuk membuktikan bahwa hubungan yang telah terjalin pada akhir pertemuan terakhir masih belum berubah meskipun perpisahan telah berlangsung, dan ucapan salam perpisahan diperlukan untuk ‘menyimpulkan’ pengaruh pertemuan terhadap hubungan itu dan memperlihatkan apa yang diharapkan oleh masing-masing partisipan dalam pertemuan mereka selanjutnya.
Sejauh ini kita memahami bahwa hubungan di antara para partisipan dalam interaksi tertentu sangat menarik bagi mereka sendiri, dan mereka akan mengetahui dengan mudah mengapa penting bagi mereka untuk memulai dan mengakhiri satu bentuk interaksi dengan memperlihatkan hubungan mereka. Pada situasi formal, cara masuk dan keluar sebagai struktur suatu ujaran tampak secara jelas. Struktur ujaran dimulai dengan pembuka, ujaran, dan penutup. Struktur ujaran ini dapat dilihat pada petikan percakapan berikut ini.
            A         : Assalamu’alaikum, tegaki punna bola’E ?
                          (Assalamu’alaikum, dimana yang punya rumah?)
            B         : Waalaikumsalam, tamaki mai engkama!
                         (Waalaikumsalam, silakan masuk, adaja)
            A         : Iye, terima kasih.
                         (Iya, terima kasih)
            B         : Pole tegakitu?
                         (Dari mana?)
            A         : Poleka ri rapa’ ri kantoro desa’E.
                        (Saya dari rapat di kantor desa)
            B         : Oh iye.
A           : Tabe, Nasuroka pak desa Palettukeng meloki mappapaccing ri masiji’E baja
               (Maaf, saya disuruh pak desa sampaikan besok kita mau membersikan mesjid)
B            : Oh iye, terima kasih.
               (Iya, terima kasih)
A           : Iye, mello permisina pale.
               (Iya, saya pamit dulu)
B            : Iye.
               (Iya.)
Berdasarkan kutipan percakapan di atas, tampak struktur ujaran yang dimulai ketika penutur A berkunjung ke rumah B, sebelumnya membuka percakapan dengan salam. Kemudian menyampaikan maksud kepada si B. Setelah ujaran atau maksud kedatangannya telah disampaikan, maka penutur A menutup pembicaraan dan pamit kepada penutur B.
b.      Jenis-jenis Struktur Lain dalam Ujaran
Salah satu jenis struktur didasarkan pada fakta bahwa individu-individu mengambil giliran bicara dalam hampir semua bentuk interaksi, sehingga ujaran terbagi ke dalam untaian-untaian ujaran, yang digunakan oleh para pemakai bahasa yang berbeda. Dalam mengkaji aspek wacana ini, kita dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti apakah ‘giliran bicara’ dilakukan secara berurutan atau saling tumpang tindih, bagaimana pembicara menunjukkan bahwa ia harus menyelesaikan pembicaraan, bagaimana pendengar menunjukkan bahwa ia siap memulai pembicaraan siapa yang lebih banyak bicara dan lain-lain.
Hal tersebut dapat dilihat pada petikan percakapan di bawah ini.
A    : Meloki gare botting anak malolota?
                         (Anak bungsu ibu mau menikah?)
B     : Iye, meloki botting
                        (Iya, mau nikah)
A    : Bahh, madeceng ni itu narekko meloni botting
        (Waah, bagus itu kalau sudah mau nikah)
C     : Iye, madeceng metto narekko magatti ripabboting anana’E
        (Iya, bagus kalau cepat dinikahkan anak-anak)
B     : Iye, mudah-mudahan siadecengemma kasi
                         (Iya, mudah-mudahan pernikahannya berhasil)
E     : Aga najama yaro calonna?
        (Apa pekerjaannya calon suaminya?)
B     : dena’ pa na ma’jama kasi’na. Nappai massappa jamang.
        (Belum kerja, sementara cari kerja sekarang)
D    : masusa to massappa jamang makkukua’E
        (Susah juga cari kerja jaman sekarang)
B     : Iye, massussa tongeng.
        (Iya, susah betul)
E     : iye, tapi massapa matoki, engka mutotu matu jamang naruntu.
        (Iya, cari saja dulu, pasti nanti dapat kerja)
B     : Iye, engka maneng mua taue dalle’na
        (Iya, nanti ada semua rezekinya)
A, C, D, E  : Aaamiin….
Dari kutipan percakapan di atas dapat dilihat bahwa tidak ada tumpang tindih antara penutur yang satu dengan penutur lainnya. Hal ini menandakan bahwa penutur yang satu saling memberikan kesempatan kepada penutur yang lain untuk mengemukakan pendapatnya.
c.    Perilaku Verbal dan Nonverbal
Berdasarkan perilaku ujaran verbal dan nonverbal dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a.      Pemarkah Hubungan
Pemarkah hubungan membahas hubungan antara  perilaku verba dan nonverbal dalam interaksi sosial. Linguis bernama David Abercrombie telah menyatakan bahwa “kita berbicara dengan menggunakan organ suara kita, tetapi kita bercakap-cakap dengan menggunakan seluruh tubuh (Abercrombie,1968)
Pemarkah hubungan ketika terjadi komunikasi di daerah Soppeng, ditandai dengan penggunaan sapaan yang digunakan oleh penutur kepada lawan tutur yang disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, serta hubungan pertalian darah. Seperti pada petikan percakapan antara nenek (A) dan cucu (B).
A    : Tegaki pole indo?
         (Dari manaki nek?)
B     : Poleka ri bola sappisengta nak
        (Saya dari rumahnya sepuputa nak)
A    : Aga riala ri bolana sappisengku indo?
        (Apa keperluanta di rumahnya sepupuku nek)
B     : Polema jokka-jokka nak
         (Cuma jalan-jalan saja nak)
Berdasarkan ujaran tersebut di atas, tampak penggunaan honorifik ki, pada petikan ujaran Tegaki pole indo? (Dari manaki nek?) dan honorifik ta, pada petikan ujaran  Poleka ri bola sappisengta nak  (Darika di rumahnya sepuputa nak)  bahwa penutur (A) memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan penutur (B).


b.      Pemarkah Struktur
Perilaku non verbal dalam pemarkah struktur ditandai dengan bersalaman dan berpelukan dengan lawan tutur ketika bertemu. Pemarkah ini dilakukan oleh penutur dan lawan tutur yang ada di masyarakat Soppeng yang memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat. Misalnya, orang tua dan anak.
Sedangkan dalam perilaku verbal yang umum, pemarkah struktur ditandai dengan salam, isi, dan penutup. Ketika terjadi ujaran antara penutur dan lawan tutur, salam tidak hanya diujarkan dengan salam yang umum (assalamu’alaikum wr. wb.) atau selamat pagi. Namun, dapat juga diujarkan dengan ujaran lain yang juga dapat berarti salam. Seperti pada petikan percakapan di bawah ini.
A    : Tegaki pole?
         (Dari manaki?)
B     : Poleka ri bolana hj. Wadeng mala ikkaju
        (Saya dari rumah hj. Wadeng ambil sayur)
A    : Melomiga matu jokka pasa’E
        (Mau jaki sebentar ke pasar?)
B     : Iye melo moka
         (Iye saya mau)
A    : Ooo…. Yoloka pale di’, Silopi pale matu jokka pasa’E
         (Ooo, saya duluan, sebentar kita sama-sama ke pasar)
B     : Iyye…iyye
         (Iya…iya)
Berdasarkan penggalan percakapan di atas, Ujaran salam yang terjadi pada percakapan tersebut di atas terjadi ketika Penutur (B) dari rumah Hj. Wadeng ambil sayur dan langsung ditegur oleh penutur (A). Dapat dilihat secara jelas bahwa ujaran salam yang umum tidak tampak, namun ujaran yang disampaikan oleh penutur (A), Tegaki pole? (Dari manaki?) dapat dikategorikan sebagai ujaran salam yang lazim diujarkan ketika pertama kali bertemu dengan lawan tutur di jalan.
Struktur verbal lain yang diujarkan oleh penutur (A) Ooo…. Yoloka pale di’, Silopi pale matu jokka pasa’E (Ooo, saya duluan, sebentar kita sama-sama ke pasar) merupakan ujaran yang berarti mengakhiri percakapan. Hal ini merupakan struktur verbal bagian penutup.
c.       Pemarkah Isi
Perilaku non verbal dalam pemarkah isi di antaranya orang dapat dapat menggunakan jarinya. Misalnya angka satu ditujukkan dengan jempol untuk mengungangkapkan rasa enak atau bagus. Contoh dalam kehidupan sehari-hari pada saat menyetop kendaraan dengan lambaian tangan. Pada masyarakat Soppeng, biasanya lawan tutur menunjukkan tangan untuk memberi informasi penunjuk tempat kepada lawan bicara.
Hal tersebut dapat dilihat pada petikan percakapan di bawah ini.
A         : Tegaki pole?
         (Dari manaki?)
B          : Poleka melli dispenser
                          (Saya dari beli dispenser)
A         : Tegaki melli? Meloka mellito disepenser
                          (Dimanaki beli? Saya juga mau beli dispenser)
B          : Kuraodo, Ku seddena pabbalu tapperede (Menunjuk tangan)
                          (Di sana, di dekatnya penjual tikar)
A         : Ohh iye, meloka pale jokka melli
                          (Ohh iya, saya mau pergi juga beli)
B          : Iye
                          (Iya)
Pemarkah isi yang dapat dilihat pada penggalan percakapan di atas ditandai dengan penunjukan disana. Ada maksud yang disampaikan oleh penutur kepada lawan tutur. Hal ini dilihat pada petikan ujaran Kuraodo, Ku seddena pabbalu tapperede (Menunjuk tangan) (Di sana, di dekatnya penjual tikar)









BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Fungsi lain dari ujaran adalah untuk menjalin atau mempererat hubungan sosial. Selain itu, kita dapat menambah fungsi ujaran untuk memperoleh informasi, untuk mengungkapkan emosi atau perasaan dan lain-lain. Ujaran dalam interaksi sosial sangat berkaitan dengan hubungan kekerabatan, kekuasaan dan solidaritas penutur dalam keluarga maupun masyarakat.
Struktur umum dari sebuah ujaran dimulai dengan pembuka, ujaran, dan penutup akan tetapi hal yang paling penting dalam sebuah ujaran jika lebih dari dua orang penutur adalah tidak ada tumpang tindih antara penutur yang satu dengan penutur lainnya. Penutur yang satu saling memberikan kesempatan kepada penutur yang lain untuk mengemukakan pendapatnya.
B.     Saran
Dengan mengkaji ujaran dalam suatu masyarakat, khususnya masyarakat Bugis Soppeng maka diharapkan mengamati perilaku verbal dan non verbal yang ada dalam masyarakat sebagai bagian yang saling melengkapi. Oleh karena itu, peneliti bahasa dalam hal ini harus memperhatikan kedua perilaku tersebut dan diharapkan pada penelitian selanjutnya lebih lebih terperinci.


DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Soppeng
Hudson, RA. 1995. Sosiolinguistik (Terj. Rochayah dan Misbach Djamil). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Labov, W. Sociolinguistic Patterns. Philadelphia The University of Pensylvania Press Inc.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar