REVIEW BUKU PENELITIAN
(Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra)
Disampaikan
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Metodologi Penelitian Pengajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia
Dosen
Pengampu: Prof. Dr. H.M. Ide Said DM.,
M.Pd
Disusun oleh
HERIYANTI
14B01030
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI
MAKASSAR
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
IDENTITAS BUKU
Judul : Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra
Pengarang :
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U
Penerbit :
Pustaka Pelajar
Edisi
Terbit : Cetakan IV / April 2008
Kota
Terbit : Yogyakarta
T e b a l :
xii + 407 halaman
B.
PENJELASAN BUKU
Buku teori,
metode, dan teknik penelitian sastra yang ditulis oleh Prof. Dr. Nyoman
Kutha Ratna ini
merupakan buku sastra yang ditulis dengan tujuan untuk mengisi kekosongan
literatur sastra, khususnya buku-buku yang berhubungan dengan teori dan metode. Buku ini disusun sebagai penghormatan
terhadap Prof. Dr. A. Teeuw yang telah berjasa besar dalam memicu perkembangan
sastra Indonesia, baik sastra lama maupun sastra modern.
Buku ini ditujukan untuk mahasiswa S1, S2,
dan S3 ilmu-ilmu humaniora. Sebagai pelengkap dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
selanjutnya. Buku
ini adalah cetakan 4
yang terdiri dari 8 bab dan disetiap babnya terbagi lagi atas
beberapa sub bab. Halaman keseluruhan dari buku ini adalah 407 halaman, namun yang berisi pembahasan
materi teori, metode dan
teknik penelitian sastra hanya 365 halaman. Ukuran buku ini adalah 21cm x 14 cm, dengan sampul yang berwarna coklat.
BAB
II
HASIL
REVIEW BUKU
BAB I
SEJARAH PERKEMBANGAN TEORI SASTRA
Teori berasal dari kata theoria
(bahasa Latin). Secara etimologis teori berarti kontemplasi terhadap kosmos dan
realitas. Dalam hubungannya dengan dunia keilmuan teori berarti perangkat
pengertian, konsep, proposisi, yang mempunyai korelasi, dan telah diuji
kebenarannya. Pada umumnya teori dipertentangkan dengan praktik. Teori-teori
yang tidak atau belum berhasil untuk diuji dalam prakti, dengan sendirinya
belum bisa disebut sebagai teori yang valid. Objek melahirkan teori,
sebaliknya, teori memberikan berbagai kemudahan untuk memehami objek.dengan
dibantu oleh metode dan teknik, teori meungkinkan ilmu pengetahuan berkembang
secara lebih cepat dengan ditemukannya metode dan teori, pengetahuan pada
gilirannya berubah menjadi ilmu pengetahuan. Secara genesis denngan demikian
dalam proses penelitian teori diperoleh dengan dua cara, yaitu peneliti
memanfaatkan teori terdahulu dan peneliti memanfaatkan teori yang
dikemukakannya sendiri.
Sebagai alat, teori tidak harus
selalu baru secara keseluruhan.kebaruan diperlukan dalam bentuk proses, sebagai
modifikasi, cara-cara baru pada saat mempertemukan hakikat teori dengan objek.
Srukturalisme adalah sebuah teori, yang secara genesis telah ada sejak zaman
Aristoteles, tetapi secara terus menerus diperbaharui sepanjang sejarahnya, dan
memperoleh bentuknya yanglebih sempurna. Teori-teori ilmu pengetahuan,
khususnya dalam bidang sastra, diadopsi melalui pemikiran para sarjana barat.
Sifat-sifat teori sebagai berikut:
- Mudah disesuaikan dengan cirri-ciri karya yang akan dianalisis.
- Mudah disesuaikan dengan metode dan teori yang menyertainya.
- dapat dimanfaatkan untuk menganalisis baik ilmu yang sejenis mapun berbeda.
- Memilki formula-formula yang sederhana, tetapi mengimplikasikan jaringan analisis yang kompleks.
- Memiliki prediksi yang dapat menjangkau objek jauh ke masa depan.
Objek penelitian dalam hal ini karya
sastra, memiliki banyak dimensi, aspek dan unsure. Dalam satu penelitian
dimungkinkan untuk menggunakan lebih dari satu teori, sebagai metode
triangulasi. Tujuannya jelas untuk memperoleh pemahamn yang lebih mendalam
terhadap objek penelitian. Perbedaan antara objek dan teori, objek karya sastra
ditafsirkan secara estetika, sesuai dengan prinsip-prinsip puitika sastra,
sedangkan teori ditafsirkan secara logika, sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu
pengethuan yang bersangkutan.sebagai cara kerja teori dan metode terdiri atas
konsep, proposisi, dan kerangka kerja. Dengan memanfaatkan teori dan metode
tertentu maka dalam pemikiran oeneliti akan timbu kemampuan-kemampuan baru
untuk memahami gejala yang sebelumnya sama sekali belum nampak.
Sebagai alat, teori berfungsi untuk mengarahkan suatu
penelitian, sedangkan analisis secara langsung dilakukan melalui instrument
yang lebih kongkret, yaitu metode dan teknik. Tujuan utama teori, dengan metode
dan teknik, adalah mempermudah pemahaman terhadap objek sekaligus memberikan
keluaran secara maksimal. Perkembangan ilmu pengetahuan tergantung dari
perkembanganteori dan metode. Penerapan teori dilakukan melalui dua tahapan,
pertama, teori dalam kaitannya dengan sastra sebagai produk social tertentu,
kedua, teori dalam kaitannya dengan karya sastra sebagai hakikat imajinasi dan
kreativitas.
Dalam ilmu sastra yang dimaksudkan
dengan penelitian adalah untuk mengumpulkan data, menganalisis data, dan
menyajikan hasil penelitian. Sebelum melakukan penelitian yang sesungguhnya,
perlu disusun proposal atau rancangan penelitian. Pada dasarnya, butir-butir
yang terkandung daam proposal hamper sama dengan penelitian yang sesungguhnya.
Kualitas proposal, baik kelengkapan data maupun kesempurnaan teori dan
metodenya berpengaruh besar terhadap penyelesain peneliti selanjutnya.
Penelitian sastra mempertimbangkan cirri-ciri sebagai berikut:
- Hipotesis dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat deskripsi, bukan generalisasi.
- Populasi dan sample tidak mutlak diperlukan, kecuali dalam penelitian tertentu.
- Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat terbuka, deskripsi dan pemahaman berkembang terus.
- Tidak diperlukan objektivitas dalam pengertian yang umum sebab peneliti terlibat secara terus-menerus.
- Objek yang sesungguhnya bukanlah bahasa tetapi wacana, teks.
BAB
II
Paradigma
Penelitian Sastra
Secara etimologis paradigma berasal dari bahasa latin
(paradigma), berarti contoh, model, pola. Prinsip-prinsip paradigma
dikembangkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of
Scientific Revolution,terbit pertamakali tahun 1962.
Menurut Ritzer (1980: 1-24), paradigma yaitu konsep-konsep
dasar Kuhn itu sendiri, dibicarakan secara luas dalam berbagai ilmu pengetahuan
sejak tahun 1970-an, dengan sendirinya dengan pokok permasalahan yang berbeda
beda, sesuai dengan disiplin yang bersangkutan. Pada dasarnya ilmu pengetahuan
bersifat netral. Ilmuan mengadakan penelitian , yang kemudian disertai dengan
penemuan-penemuan, tujuannya adalah untuk kesejahteraan umat manusia.
Dikaitkan dengan keberadaan subjek sebagai konsumen ilmu
pengetahuan, maka pada umumnya yang lahir lebih dahulu adalah paradigma. Secara
psikologis konsep-konsep yang mendukung lahirnya paradigma tertentu dalam diri
subjek pada dasarnya telah ditanamkan sejak usia dini, yang kemudian memiliki
pola-pola tertentu setelah subjek duduk di bangku sekolah. Sebagai pandangan
hidup ilmu pengetahuan, selain factor-faktor dari dalam, seperti minat dan
bakat , factor luar juga berpengaruh besar, seperti lingkungan dalam keluarga
dan lingkungan di sekiternya.
Dengan adanya persamaan pandangan dalam hidup, khususnya
dikalangan para ilmuan, maka akan terbentuk komunitas ilmuan tertentu, yang
pada giliranya akan melahirkan sub komunitas, dengan pandanagan yang
berbeda-beda, tetapi pada tingkat makro tetap menunjukan persamaan-persamaan.
Dengan penjelasan di atas, maka paling sedikit ada tiga hal yang mempengaruhi
perbedaan paradigma seorang ilmuan, sebagai berikut.
1. Unsur
dalam diri sendiri.
2. Unsur
luar berupa lingkungan fisik.
3. Unsur
luar berupa penjelajahan metodologi dan teori.
Melihat luasnya penyebaran dan beragamnya konsep-konsep
paradigma, baik dalam dunia ilmiah maupun kehidupan praktis sehari-hari, maka
pembicaraan ini hanya membatasi perkembanganya dalam dunia ilmiah. Artinya
paradigma dibicarakan dalam kaitanay dengan teori dan metode disatu pihak,
sifat-sifat dasar objek yaitu karya sastra itu sendiri dipihak yang lain.
Kaitan paradigma dengan teori dan metode tidak banyak menimbulkan masalah sebab
komponen-komponen tersebut memiliki ciri-ciri yang relatif sama, konsep-konsep
dasar yang memungkinkan subjek untuk menganalisis objek penelitian.
Dikaitkan dengan pentingnya peranan paradigma bagi seorang
limuan dalam mengembangkan suatu disiplin tertentu, maka masalah yang perlu
dikemukakan adalah bagaimana cara menentukan perbedaan paradigma seorang
ilmuwan dengan ilmuan yang lain, demikian juga satu komunitas keilmuwan dengan
komunitas yang lain. Secera filosofis, menurut Ritzer(1980:2-24), khusuanya
dalam kaitanya dengan metode kualitatif paling sedikit ada empat faktor yang
berpengaruh di dalamnya, sebagai berikut.
1. Faktor
ontologis, keberadaan objek, yang dengan sendirinya berbeda di antara
masing-masing ilmuwan.
2. Faktor
epistomtlogis, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan.
3. Faktor
aksiologis, penelitian adalah penilaian, berbeda dengan penelitian kuantitatif
yang bebas nilai.
4. Faktor
metodologis, keseluruhan proses penelitian , termasuk metode, teori dan teknik.
Paradigma individual dengan sendirinya merupakan pengalaman
yang paling
singkat.
Menurut Jung (1949: 377-380), isi pengalaman individual adalah pengalaman
kehidupan sekarang, pengalaman individu selama hidup di dunia nyata, sebagai
pengalan kehidupan sehari-hari. Sebaliknya paradigma kelompok diterima melalui
kualitas spesies, termasuk kelas, ras, dan ciri genetik lainya. Pengalaman
sekarang disebut material antogenesis, pengalaman masa lampau disebut material
filogenesis.
Model pendekatan, seperti sosiologi sastra dan psikologi
sastra, demikian juga pendektatan multi disiplin lainya jelas memerlukan
pengalaman pradigma yang lebih kompleks. Sosiologi sastra misalnya, paling
sedikit melibatkan dua bidang ilmu dengan hakikat yang berbeda, bahkan
bertentatangan secara diametral, yaitu sosiologi dan sastra.
Dalam hubungan inilah diperlukan keluasan cakrawalapeneliti
sehingga keseluruhan partikelbidang ilmu yang terlibat dapat ditarik sehingga
terjadi kesatuan yang bermakna. Keterlibatan berbagai disiplin dengan berbagai
paradigma memeiliki segi positif, dengan pertimbangan sebagai berikut
1. Multiparadigma
membuka cakrawala yang lebih luas, cara pamahaman ternyata tidak beraifat
tunggal, melainkan plural.
2. Menghilangkan
anggapan bahwa paradigma, seperti juga sebuah teori, dapat menjawab semua
permasalahan.
3. Menciptakan
saling menghargai pendapat, kelebihan, dan kekurangan orang lain.
4. Keberagaman
paradigma jalas mengevokasi kebergaman khsanah kultural.
5. Prulalitas
paradigma sesuai dengan semangat postruturalisme, teori modern yang memberikan
perhatian pada hakikatmulti8kultural, dengan memberikan perhatian terhadap
kearifan lokal.
BAB III
METODE, METODOLOGI, TEKNIK DAN PENDEKATAN
3.1 Metode, Metodologi, dan Teknik
Metode dianggap sebagai cara-cara,
strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan
rangkaian sebab akibat berikutnya. Sebagai alat, sama dengan teori, metode
berfungsiuntuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dupecahkan.
Metode sering dikacaukan penggunaannya dengan metodologi. Metodologi jelas
mengimplikasikan metode, berbeda dengan metode, metodologi tidak berkaitan
dengan teknik-teknik penelitian, melainkan dengan konsep-konsep dasar logika
secara keseluruhan.secara definitive metode ddengan teknik tidak memiliki
batas-batas yang jelas. Ada 3 cara yang dapat dikemukakan untuk membedakan
antara metode dengan teknik, bahkan juga dengan teori, sebagai berikut:
a. Dengan cara
membedakan tingkat abstraksinya.
b. Dengan cara
memperhatikan factor mana yang lebih luas ruang lingkup pemakainnya.
c. Dengan cara
memperhatikan hubungannya dengan objek.
Istilah lain yang juga menimbulkan
perdebatan dalam dunia penelitian adalah pendekatan. Secara etimologis
pendekatan juga berarti jalan, yaitu cara itu sendiri, tetapi perlu dijelaskan
bahwa pendekatan pada dasarnya memiliki tingkat abstraksi yang lebih tinggi
baik dengan metode maupun teori. Dalam pelaksaan penelitian, aspek-aspek yang
muncul adalah teori, metode, dan teknik. Atas dasar kekhasan sifat karya
sastra, maka sejumlah metode yang perlu dibicarakan dalam analisis karya
sastra, diantaranya: metode intuitif, hermeneutika, formal, analisis isi,
dialektika, deskriptif analisis, deskriptif komparatif, dan deskriptif
induktif.
1. Metode
Intuitif
Metode
intuitif dianggap sebagai kemampuan dasar manusia dalam upaya memahami
unsure-unsur kebudayaan. Ciri khas metode intuitif ada;ah kontemplasi,
pemahaman terhadap gejala-gejala cultural dengan mempertimbangkan keseimbangan
antara individu dengan alam semesta.
2. Metode
Hermeneutika
Dikaitkan
dengan fungsi utama hermeneutika sebagai metode untuk memahami agama, maka
metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa
diantara karya tulis yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra. Pada
tahap tertentu teks agama sama dengan karya sastra.
3. Metode
Kualitatif
Metode
kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya
dengan konteks keberadaannya. Ciri terpenting metode kualitatif adalah:
a.
Memberi perhatian yang utama pada makna dan pesan,
sesuai dengan hakikat objek, yaitu sbagai studi cultural
b.
Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek
penelitian.
c.
Desai dan kerangka penelitian bersifat sementara sbab
penelitian bersifat terbuka.
d.
Lebih mengutamakan proses daripada hasil penelitian.
e.
Penelitian bersifat alamiah.
4. Metode
Analisis isi
isi dalam
metode analisis isi terdiri dari 2 macam yaitu isi laten dan isi komunikasi.
Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokunen dan naskah, sedangkan isi
komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi. Sebagaimana
metode kualitatif, dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran.
5. Metode
Formal
Metode
formal adalah dengan mempertimbangkan aspek-aspaek formal, bentuk yaitu karya
sastra. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra daengan
memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap aratistik. Ciri utama metode
formal adalah analisis terhadap unsure-unsur karya sastra, kemudian bagaiman
hubungan antara unsur-unsur tersebut dengan totalitasnya.
6. Metode
Dialektika
Prisip-prisip
dialektika hampir sama denngan hermenautika, khususnya dalam gerak spiral
eksplorasi makna, yaitu penelusuran unsur ke dalam totalitas, dan sebaliknya.
Yang membedakan adalah kontinuitas oprasionalisasi tidak pada level tertulis,
tetapi diteruskan pada jaringan kategori social, yang justru merupakan maknanya
secara lengkap.
7. Metode
Deskriptif Analisis
Metode deskriptif analitik dilakukan
dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.
Analisis tidak semata-mmata menguraikan melainkan juga member pemahaman dan
penjelasan secukupnya.
3.2 Pendekatan dan Problematikanya
Pendekatan didefinisikan sebagai
cara-cara menghampiri objek, sedangkan metode adalah cara-cara mengimpulkan,
menganalisis, dan menyajikan data. Tujuan metode adalah efisiensi, dengan cara
menyederhanakan. Tujuan pendekatan adalah penagkuan terhadap hakikat ilmiah
objek ilm pengetahuan itu sendiri. Model pendekatan sastra yang perlu dikemukakan,
diantaranya:
- Pendekatan Biografis
Pendekatan
biografis merupakan studi yang sistematis mengenai proses kreativitas. Subjek
creator danggap sebagai asal usul karya sastra , arti sebuah karya sastra
dengan demikian secara relative sama dengan maksud, niat, pesan dan bahkan
tujuan-tujuan tertentu pengarang.
2.
Pendekatan Sosiologis
Pendekatan
biografis menganggap karya sastra sebagai milik pengarang, sedangkan pendekatan
sosiologis menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat. Dasar filosofis
pendekatan sosilogis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan
masyarakat.
3.
Pendekatan Psikologis
Pendekatan
psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu pengarang,
karya sastra dan pembaca, dengan pertimbangan bahwa pendekatan psikologis lebih
banyak berhubungan dengan pengarang dan karya sastra.
4.
Pendekatan Antropologis
Antropologi
adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat. Antropologi
dibedakan menjadi antropologi fisik dan kebudayaan. Antropologi kebudayaan
dibedakan menjadi dua bidang, yaitu antropologi dengan objek verbal dan
nonverbal. Lahirnya antropologi didasarkan atas kenyataan, pertama, adanya
hubungan antara ilmu antropologi dengan bahasa.
5.
Pendekatan Historis
Pendekatan histories mempertmbangkan
relevansi karya sastra sebagai dokumen social. Tugas utama sastra adalah
menempatkan karya sastra dalam suatu tradisi, tetpi bagaimana cara manempatkannya
adalah tugs pendekatan, yang dibantu oleh teori dan mmetode. Dengan
mempetimbangkan indicator sejarah dan sastra, maka beberaa masalah yang menjadi
objek sasaran pendekatan histories, diantaranya, sebagai berikut:
1.
Perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akinat
proses penebitan ulang.
2.
Fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan.
3.
Kedudukan pengarang pada saat menulis.
4.
Karya sastra sebagai wakil tradisi zamannya.
6.
Pendekatan Mitopoik
Pendekatan
mitopoik dianggap paling pluralis sebab memasukkan hampir semua unsur
kebudayaan.
7.
Pendekatan Ekspresif
Pendekatan
ekspresif banyak menggunakan data sekunder, data yang sudah diangkat melalui
aktivitas pengarang sebagai subjek pencipta, jadi, sebagai data literer. Untuk
menjelaskan hubungan antara penganrang, semestaan, pembaca dan karya sastra,
Abrams membuat diagram yang terdiri atas empat komponen utama,dengan empat
pendekatan, yaitu ekspresif, mimetic, pragmatic, dan objektif.
8.
Pendekatan Mimemis
Pendekatan
mimemis, khususnya dalam kerangka Abrams bertumpu pada karya sastra. Pendekatan
mimemis perlu dikembangkan dalam rangka menopang keragaman khazanah
kebudayaan.pemahaman terhadap cirri-ciri kebudayaan kelompok yang lain dapat
meningkatkan kualitas solidaritas sekaligus menghapuskan berbagai kecurigaan
dan kecemburuan sosial.
9.
Pendekatan Pragmatik
Pendekatan
pragmatis memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan
pragmatis memilki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat,
perkembangan dan penyebarluasannya, sehingga manfaat karya sastra dapat
dirasakan.
10. Pendekatan
Objektif
Pendekatan objektif merupakan
pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apa pun yang dilakukan pada
dasarnya bertumpu pada karya sastra itu sendiri.
BAB IV
TEORI-TEORI STRUKTURALISME
Strukturalisme yang telah berhasil
untuk memasuki seluruh bidang kehidupan manusia, sebagai salah satu teori
modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman secara maksimal. Secara
histories perkembangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap yaitu:
formalisme strukturalisme dinamik.
4.1.Prinsip- prinsip antar hubungan
Dalam streukturalisme konsep fungsi
memegang peranan penting. Artinya unsure- unsure sebagai cirri khas tersebut
dapat berperan secara maksimal semata- mata dengan adanjya fungsi, yaitu dalam
rangka menunjukan anatara hubungan unsur- unsur yang terlibat unsur- unsur pada
giliranya memiliki kapasitas memiliki kapasitas untuk melakukan reorganisasi
dan regulasi diri, membentuk dan membina hubungan antar unsur.
Melalui tradisi formalis, khususnya
tradisi formalisme, ciri- ciri antar hubungan memperoleh tempat yang memada.
Antar hubungan sistem jaringan yang mengikat sekaligus memberikan makna
terhadap gejala- gejala yang ditangkap. Suatu cerita menjadi menarik misalnya
salah satu cara yang dilakukan pengarang adalah dengan mempercepat atau
sebaliknya memperlambat terjadinya suatu peristiwa meningkatkkan atau
sebaliknya menurunkan frequensi pemanfaatan kata-kata tertentu .Dengan
mengambil analogi dalam bidang bahasa, sebagai hubungan sintagmatis dan
paradigmayis, maka karya sastra dapat dianalisis dengan 2 cara. Pertama
menganalisis dengan unsur- unsur yang terkandung dalam karya sastra, kedua
menganalisis karya melalui perbandingan dengan unsur- unsur diluarnya yaitu
kebudayaan pada umumnya.
4.2.Teori formalisme
Sebagai teori modern mengenai
sastra, secara histories kelahiran formalisme dipicu oleh paling sedikit tiga
factor
- formalisme lahir sebagai akibat penolakan terhadap paradigma positivisme abad ke- 19 yang memegang prinsip kausalitas
- Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora di mana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis
- Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.
Penerapan strukturalisme dalam
disiplin linguistik yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure merupakan
langkah yang sangat maju dalam rangkan mengarahkan teori tersebut sebagai teori
modern selanjutnya. Konsep dasar yang ditawarkan adalah perbedaan yang jelas
dikotomi antara a) signifian(bentuk ,bunyi ,lambang, penanda) dan signifie (
yang diartikan, yang ditandakan sebagai pelambang) b) parole (tuturan, bahasa
individual) dan langue (bahasa yang hukum- hukumnya telah disepakati bersama)
c) sinkroni analisis (karya- karya sezaman) dan diakroni ( analisis karya dalam
pekembangan sejarahnya)
4.3.Teori strukturalisme dinamik
Strukturalisme berasal dari kata structura,
bahasa latin, yang berarti bentuk atau bangunan.Menurut Teuw (1988: 131),
khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi
formalisme sebagian besar dalam strukturalis.
Robert scholes (1977) menjelaskan
keberadaan struktarisme menjadi tiga tahap yaitu: sebagai paradigma berpikir,
sebagai metode, dan terakhir sebagai teori. Mekanisme seperti ini merupakan
cara yang biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Demikianlah akhirnya
strukturalisme disempurnakan kembali dalam strukturalisme genetik, resepsi,
interteks, dan akhirnya pasca struktiralisme, khususnya dalam dekonstruksi.
Secara strukturalisme berarti paham
mengenai unsur- unsur yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar
hubunganya, disatu pihak antar hubungan unsur yang satu debngan unsur lainya,
dipihal lain hubungan anatara uynsur dengan totalitasnya. Selama lebih kurang
setenfgah abad perkembangan strukturalisme telah memberikan hasil yang memadai
yang meliputi berbagai ilmu pengetahuan. Sebagai suatu cara pemahaman, baik
secara teori maupun metode, ciri- ciri yang cukup menonjol adalah lahirnnya
brbagai kerangka dan model analisis,khususnya analisis fiksi
4.4.Teori semiotika
Secara definitif, menurut Paul
Cobley dan litza Janz (2002:4) semiotika berasal dari kata seme, bahasa yunani,
yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal
dari kata semion, yang tanda. Kehidupan manusia dipenuhi tanda, dengan
pertantaraan tanda- tanda poroses kehidupan menjadi lebih efisien, dengan
perantaraan tanda- tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya.Dilihat
dari faktor yang menentukan adanya tanda, maka tanda dibedakan sebagai berikut.
1. Representamen,ground,
tanda itu sendiri, sebagai perwujudan gejala umum:
a.
qualisign, terbentuk oleh kausalitas: warna hijau
b.
sinsigns terbentuk melalui realitas fisik
c.
legisigns, berupa hukum: sura wasit dalam pelanggaran
2. Object yaitu
apa yang diacu
a.
ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa misalnya
foto
b.
indeks hubungan tanda dan objek karena sebab akibat
c.
simbol hubungan tanda dan objek karena kesepakatan
Ada banyak cara yang ditawarkan
dalam rangka menganalisis karya sastra secara semiotius. Cara yang paling umum
adalah dengan menganalisis karya sastra melalui dua tahapan sebagaimana
ditawarkan oleh Rene dan Warren(1962), yaitu: a) analisis intrinsik ( analisis
Mikrostruktur) dan b) analisis ekstrinsik (analsis makrostruktur).
4.4.1
Bidang- bidang penerapan
Sebagai ilmu semiotika berfungsi
untruk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia,
baik tanda verbal maupun tanda non verbal. Memahami sistem tanda, bagaimanacara
kerjanya, berarti menikmati suatu kehidupan yang lebuih baik.Semiotik buydaya
sebagaimana dijelaskan oleh aart van Zoest, jelas terlalu luas sebab apabila
dikaitkan dengan salah satu defenisi kebudayaan sebab defenisi kebudayaan maka
semua model semiotika termasuk ke dalam kebudayaan.
4.4.2
Semiotika sastra
Tanda- tanda sastra tidak terbatas
pada teks tertulis . Hubungan antara penulis, karya sastra, dan pembaca
menyediakan pemahaman mengenain tanda yang sangat kaya. Atas dasar luasnya
gejala- gejala sastra yang ditimbulkan inilah maka lahir teiri yang khusus
berkaitan denganya, seperti: teori ekspresif, pragmatik, resepsi,
interteks,strukturalisme genetik. Sastra dalam bentuk karya atau naskah juga
mengandung makna tanda- tanda non verbal. Menurut van Zoest (1993 : 86), dalam
teks sastra diantara ketiganya ikon yang paling menarik. Ada tiga macam ikon
yaitu:a) ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang, misalnya puisi
kongkret atau visual,b) ikon diagramatis atau realisional, berdasarkan
perssamaan struktur misalnya dua kenyataan yang didenotasijkan sekaligus.dalam
bahasa indonesia simbol pada umumnya disamakan dengan lambang.
Dalam sastra, sistem simbol yang
terpenting adalah bahasa.Sebagai prasarat komunukasi, Edmunt Leach (1976: 15)
membedakan antara simbol dengan tanda dan sinyal. Sinyal meunjukan hubungan
dengan dua gejala yang secara mekanis dan otomotis. Simbol ditandai oleh dua
ciri, yaitu: a) antara penanda dan petanda tidak ada hubungan instreinsik sebelumnya,
b) termasuk ke dalam kultural yang sama.
4.4.3
Semiotika sosial
Menurut salah seorang pelopornya itu
Haliday (1992: 3-8) adalah semiotika itu sendiri dengan memberikan lebih detail
dan menyeluruh tentang masyarakat sebagai markostruktur. Semiotika sosial
melangkah lebih jauh disatru pihak mencoba memberikan penilaian pada gejala
dibalik objek, dilain pihak memberikan kemungkinan untuk menjelaskan hakikat
masyarakat dalam rangka multidisiplin, sebagai multikultural. Strukturalisme
sosial memiliki implikasi lebih jauh dalam kaitanya dengan hakikat teks sebagai
gejala yang dinamis.
4.5.Teori strukturalisme genetik
Strukturalisme genetik ditemukan
oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania. Strukturasme genetik
memiliki im[plikasi yang lebih luas dalam kaitanya dengan perkembangan ilmu-
ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang strukturalis, Goldman sampai
pada kesimpulan bahwa struktur mesti disempurnakan menjadi srtuktur bermakna,
di mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang
lebih luas. Secara defenitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur
dengan memberiklan perhatian terhadap asal- usul karya. Secara ringkas berarti
strukturalusme genetik sekaligus memberikasn perhatian terhadap analisis
instrinsik dan eksdtinsik.Secara sosiologis, menurut Hauser (1985: 139)
senimanpun pada dasarnya ditentukan oleh lelas sosialnya.Pewrlu dijelaskan
bahwa keterlibatan pengarang lebih berwsifat afinitas, sebagai bentuk
ketertarikan terhadap suatu masalah.
Secara definitif strukturalisme
harus menjelaskan struktur dan asak- usul struktur itu sendiri, dengan
memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek trans -
individual dan pandangan dunia.
4.6.Teori Strukturalisme Naratologi
Natarologi sengja diuraikan secara
agak luas, dengan pertimbangan pertama, berbagai aspek berkaitan dengan cerita telah
mewarnai penelitian- penelitian baik dalam bidang sastra maupun kebudayaan.
Kedua, buku ini memang dimaksudkan untuk melengkapi literatur sastra dalam
kaitanya dengan wacana naratif. Wacana naratif sebagai seperangkat konsep
mengenai cerita dan pencitraan. Secara historis menurut Marrie- Lauureryan dan
van Al- phen, Natarologi dapat dibagi menjadi tiga periode, sebagai berikut:
1. Periode
prastrukturalis (tahun 1960- an)
2. Periode
strukturalis (tahun 1960- 198)
3. Periode
pascastrukturalis ( tahun 1980-an hingga sekarang).
Para
pelopor naratologi antara lain: Vladimir Lokovievich Propp, Claude levi-Straus,
Txvetan Todorov, Algirdas Julien Greimas, dan Shiomith Rimmen-Kenan.
BAB V
TEORI-TEORI POSTRUKTURALISME
5.1 Hubungan antara postmoderisme dengan
postruturalisme
Paradigma postruturalisme adalah
cara-cara mutakhir, baik dalam bentuk teori maupun metode dan teknik, yang
digunakan dalam, mengkaji objek. Sabagai cara yang baru, teori postruturalisme
yang sudah berkembang selama kurang l;ebih setengah abad,sejak awal abad ke-20.
Strukturalisme (Ritzer, 2003: 49-64) lahir sebagai reaksi terhadap model-model
penelitian sebalimnya yang memperhatikan pada sejarah dan asal usul suatu
gejala kultural, khususnya bahasa.
Teori sastra, sebagaimana
teori-teori sebelumnya, seperti struturalisme, semiotika, resepsi, interteks,
strukturalisme genetik, dan sebagainya, pada awal perkembanganya selalu
menimbulkan berbagai masalah, antara yang menerima atau sebaliknya menolak.
Pendapat lain (Stanley J. Grenz,2001:25-35) menyabutkan bahwa pelopor
postmodernisme adalah Arnold Toynbee(1870-an), atasd dasar pertimbangan
terjadinya pergeseran kebudayan Barat ke arah irosionalitas dan relativism. Menurut
Charles Jencks, bangunan tersebut merupakan simbol modernisme sebab dibangun
atas dasar teknologi modern dengan tujuan menciptakan masyarakat utopis.
Sebagaimana modernisme,
postmodernisme berkembang dalam berbagai bidang ilmu, seperti : arsitektur,
perencanaan kota, sejarah, ekonomi, politik, psikologi, teknologi media masa,
filsafat, bahasa dan seni, termasuk sastra. Apostmodernisme merupakan
perkembangan positif modernisme, sedangkan postrukturalisme merupakan
perkembangan struturalisme. Postmodernisme dan postrukturalisme berkembang
dengan sangat pesat, dipicu paling sedikit oleh tiga indikator yang saling
melengkapi, sebagai berikut:
1. Postmodernisme
dan postrukturalisme sebagai kecenderungan mutakhir peradaban manusia
berkembang dalam situasi dan kondisi yang serba cepat.
2. Perkembangan
pesat kajian wacana, baik dalam bidang sastra, sebagai teks, maupun nonsastra,
sebagai diskursus.
3. Perkembangan
pesatinterdisipliner yang memungkinkan berbagai disiplin dalam kajian tunggal.
5.2 Teori-teori Postmodernisme
Postmodernisme pada dasarnya masih
meruoakan bagian integral zaman modern. Modern, dari kata modo (Latin), berarti
baru saja, jelas sangat sulit unutk dikaitkan dengan zaman modern yanng
berlangsung hampir selam 500 tahun. Oleh karen itulah, timbul pendaoat bahwa
baik istilah modern maupun postmodern diartikan sebagai aktivitas pada saat
suatu kemajuan brhasil untuk dicapai. Postmodernisme, misalnya terkandung dalam
setiapaktivitas, dalam hubungan ini aktifitas modernisme, dimana di dalamnya
terkandung suatu pembaharuan.
Modernisme dan postmodernisme dalam
sastra berkaitan dengan ciri-ciri karya satra, sebagai aliran, bukan teori.
Sebagai aliran medernisme dan postmodernisme, maka karya sastra tumpang tindih
dengan seni lukis dan filsafat. Hubungan dengan gejaia pertama terjadi oleh
karena keduanya dihasilkjan melalui sistem infirmasi dan tujuan estetika yang
sama. Ciri-ciri yang mendasari perbedaan antara modernisme dan postmodernisme
tidak menunjukan garis yang jelas, tidakhitam putih. Masalah-masalah
masyarakat, khususnya karya seni tidak bisa dibedakan secara paradoksal
dikotomis.
Timbulnya postmodernisme jelas
merupakan akibat ketidakmampuan modernisme dalam menaggulangi kepuasan
masyarakat, yaitu berbagai kebutuhan yang berkaitan dengan masalah sosial,
politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya.
Postmodernisme muncul untuk
mengoreksi lineritas modernisme. Tujuanya jelas untuk mengembalikan kesadaran
bahwa ada yang lain,the other, di luarnya, di luar wacana hegemoni.
Konsekuensinya adalah Barat seolah-olah memaksakan agar dunia timur
menyesuaikan diri dengan dunia Barat. Dalam hubungan inilahpostmodernisme
mengemukakan konsep relativisme budaya sehingga gejala yang selama ini dianggap
berada diluarnya dapat dipertimbangkan kembali.
Ariel Heryanto, 1994:83,
postmodernisme dikritik dengan berbagai alasan, di antaranya: Postmodernisme
dianggap sebagai relativisme, atausebagai sekedar metode kritik, dan tradisi
sudah lama di Indinesia. Sebagai gerakan ysng bersifat relatif, maka postmodernisme
dianggap menawarkan konsep apasaja bis tejadi,Postmodern juga dituduh terlalu
sempit, dekonstruksi, misalnya, dianggap sebagai konsep yang menghancurkan
segala sesuatu yang sudah ada. Postmodernisme lahir terlalu dini, sementara
masalah-masalah yang berkaitan dengan modernisme pun belum tuntas,
Postmodernisme sulit dipahami.
Ciri-ciri utama postmodern (Linda
hitcheon, 1992:60) dan dengan sendirinya juga postrukturalisme adalah penolakan
terhadap adanya satu pusat, kemutalakn, narasi-narasi besar.metanarasi, gerak
sejarah yang monolinier. Sebagia teori mutakhir yang lahir melalui keberagaman
aspek kehidupan manusia, postmodernisme mencangkup berbagai bidang ilmu.
5.3 Teori-teori postrukturalisme
Perbedaan antara postmodernisme
dengan postrukturalisme, dilakukan atas dasar kepentingan oraktis. Secara
historis, khususnya di Indonesia, keduanya muncul dalam periode yang sama.
Secara etimologis, kususnya dalam kehidupan praktis sehari-hari keduaistilah
hampir tidak dibedakan.
Dasar teori-teori postrukturalisme
adalah strukturalisme, sedangkan strukturalisme sendiri lahir melalui
formalisme Rusia yangmulai berkembangawal abad ke-20 (1915-1030). Teori
strukturalisme yang berkambang sejak tahun 1930-an (Selden, 1986: 72), setelah
dievaluasi kurang lebih setengah abad, maka sekitar tahun 1980-an direvisi oleh
teori postrukturalisme, dengan mempersempit pretensi-pretensi ilmiahnya. Hubungan
antara strukturalisme dengan postrukturalisme sangat kompleks.
5.3.1 Teori Resepsi Sastra
Semiotika, resepsi dan interteks berkembang
pesat sesudah strukturalisme mencapai klimaks sekaligus stagnasi, bahkan
sebagai involusi. Perbedaanya, semiotika, melalui intensitas sistem tanda
memberikan keseimbangan antara struktur intrinsik dan ekstrinsik, resepsi sstra
memberikan perhatian pada pembaca, sedangkan intertekspada hubungan antarakarya
yang satu dangan karya lainya. Secara definitif resepsi sastra, berasal dari
kata recipere (Latin) reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan
atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan
teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan
respons terhadapnya.
Resepsi sastra tampil sebagai teori
dominan sejak tahun 1970-an, dengan pertimbangan: Sebagai jalan keluar untuk
mengatasi strukturalisme yang hanya dianggap hanya memberikan perhatian
terhadap unsur-unsur, timbulnya kesadaran untuk membangkitkan kembali
kemanusiaan, dalam rangka kesadaran humanisme universal.
Dalam penelitian resepsi dibedakan
menjadi dua bentuk yaitu resepsi secara sinkronis dan resepsi secara diakronis.
Hubungan resepsi sastra dengan interteks terjadi karena baik resepsi terjadi
karena baik resepsi sastra maupun interteks mempermasalahkan hubungan antara
dua teks atau lebih.
5.3.2 Teori Interteks
Secara luas interteks diartikan
sabagai jarngan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari
itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan,
anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Pemahaman secara intertektual bertujuan
untuk menggalisecara maksimal makana-makna yang terkandung dalam sebuah teks.
Menrut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas
pemahaman terhadap karya-karya terdahulu, secara praktis aktivitas interteks
terjadi melalui dua cara, yaitu: Membaca dua teks atau secara berdampingan pada
saat yang sama.
Interteks dianggap berutang terhadap
prinsip-prinsip dialog. Prinsip-prinsipdialogis (Bakhtin, melalui Todorov,
1984:96-98) dianggap sabagai konsep yang penting dalam interaksionisme
simbolis, yang dengan sendirinyatidak bisa dijelaskan secara keseluruhan oleh
perapektif mekanis dan biologis, dan bahkan juga psikologis.Perspektif dialogis
memberikan kemungkinan yang palingluas untuk membongkar kompleksitas setruktur
naratif, sistem wacana, domonan autorial, dan siara-suara monologis yang lain.
5.3.3 Teori Feminis
1. Luce Irigasi
Luce Irigasi (Lechte, 2001: 248)
mengemukakan argumentasinya dengan menolak pendapat Freud dan Lacan, Yaitu:
yang real, yang simbolikdan yang imajiner.Sebagai seorang ahli bahasa, Irigasi
memusatkan perhatianya pada sizofrenia,yang dianggap sebagai bahasa pribadi
atau idiolek, yang pada dasarnya mengikuti aturan linguistikmmeskipun secara
terus-menerus dilanggar.
2. Julia Kristeva
Dalam kritik sastra, Julia Kristeva
lebih dikenal sebagai pelopor teori interteks. Menurut Kristeva (Lechte, 2001:
223) ruang tempat dimainkannya dinamika subjektivitas disebut ruang artistik.
Ada hubungan timbak balik ciri-ciri artistikdalam mambangun subjek, sebagaimana
subjek membangun karya seni. Karya seni dengan demikian merupakan landasan
pengalaman autentikyang mampu membuka jalan demisuatu perubahan kepribadian.
3. Helena Cixous
Helena Cixous (Moi, 1985: 104)
adalah seorang novelis, penulis darama, sekaligus kritikus feminis. Cixous (
Moi, 1985: 114) lebih jauh membicarakan hubungan esensial antara tulisan
perempuan dan ibu sebagai sumbar dan asal mausal suara yang terdengar dlam
semua teks perempuan. Feminitas dalam tulisan merupakan hak istimawa suara tak
bisa dipisahkan, keseluruhan pembicaraan perempuan adalah suara perempuan.
Secara fisikal perempuan mematrealisasikan apa yang di pikirkan , ia
memaknakannya dengan tubuhnya.
4. Donna L Haraway
Donna Harraway(1991:150) merupakan
kritikus feminis dengan sudut pandang dan argumantasi yang berbeda. Salah satu
aspek yang perlu dikemukakan di sini adalah kegairahanya dlam mendukung dan
memanfaatkan proyek teknologi modern, yaitu cyborg. Feminisme, yang secara
terdisional disebut emansipasi wanita, baik sebagai aksi politik maupun
intelektual, mewarnai bidang-bidang pergerakan kebudayaan, khususnya kritik
sastra.
5.3.4 Teori Postkolonial
Secara etimologis postkolonial
berasal dari kata ’post’ dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri
berasal dari akar kata colonia, bahasa romawi, yang berarti tanah pertanian
tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi
eksploitasi lainya. Dikaitkan dengan teori-teori postmodernisme yang lain,
studi postkolonial termasuk relatif baru.
Cukup sulit untuk menentukan secara agak pasti kapan teori postkolonialisme
lahir. Analisis wacana postkolonial bisa digunakan, di satu pihak untuk
menelusuri aspek-aspek yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan , sehingga
dapat diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja, di pihak lain membongkar
disiplin, lembaga, dan ideologi yang mendasarinya.
5.3.5 Teori Dekonstruksi
Dekonntruksi dibicarakan pada bagian
terakhir diantara teoti-teori postrukturalisme dengan pertimbangan bahwa
dekontruksi mewarnai teori-teori knontemporer sebagaimana telah dibicarakan di
depan, seperti: resepsi sastra, interteks, feminisme, postkolonialisme, dan
naratologi postrukturalisme. Secara leksikal ’de’ berari penurunan,
pengurangan, penolakan. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan
terhadap suatu intensitas kontruksi, yaitu gagasan, bangunan,dan susunan yang
sudah baku, bahkan univrsal.
Pada dasarnya dekonstruksi sudah
dilakukan oleh Nietzsche (Culler, 1983: 86-87) dalam kaitanya dengan
usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadap prisip sebab akibat.
5.4 Teori Postrukturalisme Naratologi
Karya sastra menjadi berbeda,
sekalius rumit dan kompleks, sehingga berbeda dengan deskripsi-deskripsi yang lain,
dan dengan demikian memerlukan pengetahuan
tambahan. Untuk memahaminya adalah sebagai akibat
peranan struktur naratif. Struktur naratif sastra, Sebagai struktur naratif
fiksional, jelas memiliki cara-cara khas yang berbeda dengan pengertian
setruktur naratif secara umum. Secara historis naratif dalam khazanah
sastraBarat (Noth, 1990: 369) dapat ditelusuri pada zaman Aristoteles, dengan
membedakan secara dikotomis antara mythos dan mises. Menurut tradisi
Aristoteles, mithos adalah plot itu sendiri, yang didefinisikan sebagaistruktur
cerita dengan ciri temporal dan kualitas. Salah satu unsur karya dalam
setruktur naratif yang selalu menjadi pembicaraan hangat adalah plot.
1. Wacana dan Teks
Setiap unit wacana, baik besar
amupun kecil, jelas memiliki bentuk, sebagai struktur tertentu. Wacana
diciptakan dengan tujuan-tujuan tertentu, positif atau negatif, sebagai fungsi.
Akhirnya, wacana akan menampilkan makna, hasil-hasil yang telah dicapaioleh
bentuk fungsi.makna karya sastra makna disimpulkan sebagai kualitas estetis,
proses kenikmatan tertinggi yang dirasakan oleh pembaca.
2. Tokoh-tokoh Strukturalisme
a. Gerard Genette b.
Gerald Prince
c. Seymor Chatman d.
Jonathan Culler
e. Roland Barthes f.
Mikhail Mikhailovich
g. Hayden White h.
Mary Louise Pratt
i. Jacques-Marie Emile Lacan j. Michael Foucault
k. Jean-Francois Lyotard l. Jean Baudrillard
BAB VI
TEORI-TEORI KOMUNIKASI DALAM KARYA SASTRA
Salah satu ciri karya sastra yamg
sangat penting adlah fungsinya sebagai system komunikasi. Secara garis besar
komunikasi dilakukan melalui : a) inteaksi social, b) aktivitas bahasa, dan c)
mekanisme teknologi. Komunikasi dalam sastra penting sekaligus rumit sebab, a)
karya sastra merupakan model kedua, dan b) karya sastra pada dasarnya sekaligus
memanfaatkan ketiga unsure diatas.
6.1 Ciri-ciri Anonimitas Pengarang
Menurut Plato pengarang hanya
berhasil untuk meniru kenyataan sehingga karya seni yang dihasilkan lebih
rendah dari kenyataan. Sebaliknya, menurut Aristoteles, melalui penafsiran
karya seni dapat meningkatkan kualitas kehidupan, sebagai katharsis. Pengarang
adalah anggota masyarakat, memperoleh pengetahuan melalui masyarakat, dan yang
terpenting menyajikan sudut pandang sesuai dengan masyarakat yang
mengkondisikannya. Secara faktual pengarang jelas memegang peranan penting,
bahkan menentukan tanpa pengarang karya sastra dianggap tidak ada. Tanpa
pengarang fakta-fakta social hanya terlihat melalui satu sisi, pada permukaan.
Kemapuan pengarang dalam menghasilakn karya sastra disebabkan oleh perbedaan
kualitas, yaitu kualitas dalam memanfaatkan emosionalitas dan intelektualitas.
Beberapa ciri yang harus dimiliki
oleh pengarang, diantaranya : a) pengarang harus memiliki keterampilan menulis,
b) pengarang dapat mengorganisasikan keseluruhan penglaman, c) pengarang harus
memiliki ketajaman emosionalitas dan intelektualitas, d) pengarang harus
memiliki kecintaan terhadap masalah-masalah kehidupan, dan e) harus memiliki
kekuatan imajinasi. Dikaitkan dengan subjek yang lain, seperti ilmuwan, jelas
perlu dtelusuri mengapa mereka melakukan penelitian, mengapa mereka mengarang.
Ada tiga indikator yang memicu aktivitas menngarang, diantaranya: a) keinginan
untuk mengadakan ekspresi, b) kinginan untuk melahirkan bentuk, dan c)
keinginan untuk mendidik masyarakat. Dilihat dari tanggung jawabnya, tugas
ilmuwa da seniman pad adaarnya sama, yaitu membawa manusia pada tingkat
kehidupan yang lebih baik, sbagai tanggung jaawab moral.
6.3 Karya satra: fokalisasi atau sudut pandang
Unsur terpenting dalam karya sastra
adalah pengarang sebab tanpa pengarang tidak ada karya, tetapi perlu disadari
bahwa teori sastar kontemporer telah menemukan cara-cara baru dalam memahami
unsur-unsur secara keseluruhan secara lebih baik. Manfaat sudut pandang yang
sangat praktis dapat ditunjukan dslam seni lukis, dimana suatu objek akan
menunjukkan kualitas yang berbeda apabila dilihat melalui sisi yang berbeda.
Sudut pandanglah yang menentukan kualitas objek sehingga dapat dipahami
eksistensinya dalam membangun plot, tema, dan pandangan dunia. Masalah yang
sama apabila dilihat melalui sudut pandang yang berbeda akan menghasilakn arid
an makna yang berbeda.
Fokalisasi dari kata focus, yang
berarti kancah perhatian, perspektif cerita, atau sudut pandang. Menceritakan
sesuatu pasti menyangkut fokalisasi. Artinya, menceritakan sesuatu past
dilakukan melalui perspektif tertentu sesuai dengan sudut pandang fokalisator.
Membedakan antara pencerita dengan fokalisator penting dalam rangka: a)
memisahkan hegemoni subjek creator terhadap subjek fiksional, b) menampilkan
hakikat intersubjektivitas. Pada dasarnya sudut pandang dibedakan menjadi dua
macam, yaitu; a) sudut pandang orang pertama atau sudut pandang berperan serta,
dan b) sudut pandang orang ketiga yang disebut juga sudut pandang tidak
berperan serta.
6.3 Pemahaman: jenis dan peranan
Menurut Teeuw (1988: 189-193)
peranan pembaca secara jelas dikemukakan oleh Mukarovsky dan Vodicka yang
dipertegas oleh Jaus (1985). Penelitian didasarkan atas kegagalan sejarah
sastra tradisional yang didasarkan atas: a) sejarah sastra universal, sejarah
sastra berbagai pelaksanaan kehandak Tuhan, b) sejarah sasatra nasional.
Sejarah sastra sebagai milik bangsa, dan c) sejarah sastra yang didasarkan atas
rangkaian periode. Atas dasar kegagalan itulah Jausz menyimpulkan sejarah
sastra sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan peranan pembaca. Bentuk,
fiungsi, dan makna karya sastra tidak tetap, melainkan selalu berubah-ubah,
sesuai dengan penerimaan pembaca. Fungsi terpenting dominasi pembaca adalah
kemampuannya untuk mengungkapkan kekayan karya sastra.
Pembaca jelas berbeda-beda, baik
dari segi usia, jenis kelamin, profesi, kelas social, dan wilayah
geografis.karya sasatra dapat mengantisipasi keragaman pembaca tersebut sebab
karya sastra terdiri atas berbagai jenis, sedangkan jenisnya pun tidak statis,
melainkan selalu berubah-ubah. Menurut Luxemburg, dkk (1984: 76) pembaca
dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) pembaca di dalam teks, dan b) pembaca di
luar teks.
BAB VII
Teori dan Metode Penelitan Multidisiplin
Sudah sangat banyak dilakukan
penelitian monodisiplin, baik yang sudah dipublikasikan maupun masih tersimpan
di berbagai lembaga, khususnya perguruan-perguruan tinggi. Dengan pusat
perhatian pada unsur-unsur, sekaligus melepaskan karya dari relevansi
masyarakatnya, sturkturalisme mengarahkan penelitian hanya pada aspek-aspek
tertentu, seperti: tokoh, tema, plot, gaya bahasa, sudut pandang, dsb. Khasanah
sastra secara keseluruhan disebut sebagai sastra nusantara atau sastra di
Indonesia.
Keragaman sastra mengimplikasikan
keragaman latar belakang social budayanya. Sastrawan, sejarawan, sosiolog,
antropolog, dan ilmuan yang lain secara bebas memasuki stiap aspek kehidupan
tanpa perlu merasa khawatir akan kehabisan objek kajian. Keragaman sastra,
khususnya sebagai perwujudan genre, dengan sendirinya memerlukan bentuk dan
cara-cara pemahaman yang juga berbeda. Sampai saat ini, jenis karya sastra yang
banyak dianalisis adalah sastra modern, khususnya novel. Karya sattra
mengandung aspek-aspek cultural, bukan individual. Benar, karya sastra
dihasilkan oleh seorang pengarang, tapi masalah-masalah yang diceritakan adalah
masyarakat-masyarakat pada umumnya. Dalam hubungan inilah disebutkan bahwa
pengarang adalah wakil masyarakat, pengarang sebagai konstruksi transindividual
bukan dirinya sendiri. Keragaman aspek-aspek kebudayaan dapat diungkapkan
secara maksimal apabila tersedia cara-cara pemahaman, model-model analisis, dan
dengan sendirinya dengan teori metodenya masing-masing.
6.3 Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra atau sosiokritik
dianggap sebagai disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang berdiri sendiri,
sosiologi sastra dianggap baru lahir abad ke 18, ditandai dengan tulisan madame
de stael (Albrecht, dkk., eds., 1970:ix;Laurenson dan Swingwood,
19972:25-27)yang berjudul de la literature cinsideree dans ses rapports avec
las institusions socielis(1800). Ada tiga indicator tertentu dalam kaitannya
dengan lahirnya satu disiplin yang baru diantaranya :
1) Hadirnya sejumlah masalah baru yang menarik dan
perlu dipecahkan
2) Adanya metode dan teori yang relevan untuk
memecahkannya
3) Adanya pengakuan secara institusonal
Ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan mengapa sastra memilik mkaitan erat dengan masyarakat dan
dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sbb:
1) Karya sastra
ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin,
sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
2) Karya sastra
hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam
masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3) Medium karya
sastra, baik lisan maupun tertulis, dipinjam melalui kompetisi masyarakat, yang
dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
4) Berbeda
dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-isdiadat, dan ttradisi yang lain, dalam
karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas
sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
5) Sama dengan
masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat
menemukan citradirinya dalam suatu karya.
Hubungan karya sastra dengan
masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas merupakan
hubungan yang hakiki. Karya satra mempunyai tugas penting, baik dalam usahanya
untuk menjadi pelopor pembaharuan, maupun memberikan pengakuan terhadap suatu
gejala kemasyarakatan. Sebagai multidisiplin, maka ilmu-ilmu yang terlibat
dalam sosiologi sastra adalah sastra dan sosiologi. Yang perlu diperhatikkan
dalam penelitian sosiologi sastra adalah dominasi karya sastra, sedangkan ilmu-ilmu
yang lain berfungsi sebagai pembantu.
Dengan pertimbangan bahwa sosiologi
sastra adlah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarrakat, maka
model analisis yang dapat dilakukan meliputi tiga macam, sbb:
1. Menganalisis
masalah-masalah social yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri,
kemudian menghubungkanya dengan kenyataan yang pernah terjadi.
2. Sama dengan
diatas, tetapi dengan cara menemukan hubungan-hubungan antarstruktur, bukan
aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.
3. Menganalisis
karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh
disiplin tertentu,
6.3 Psikologi Sastra
Pada dasarnya, baik sosiologi sastra
dan psikologi sastra, maupun antroopologi sastra, dibangun atas dasar asumsi-asumsi
genesis, dalam kaitannya dengan asal-usul karya. Secara definitif, antropologi
sastra dengan sendirinya membicarakan karya sastra dalam kaitannya dengan
manusia dalam masyarakat, lebih khusus lagi manusia sebagai asal-usul bahasa.
Sosiologi sastra pada umumnya, khususnya strukturalisme genettik tidak pernah
menganggap asal-usul karya sebagai manifestasi pengarang individual. Psikologi
sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah-masalah psikologis praktis.
Secara definitif, tujuan psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan
masyarakat. Ada 3 cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara
psikologi dengan sastra, yaitu:
1. Memahami
unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis
2. Memahami
kejiwaan unsure-unsur tokoh fiksional dalam karya sastra
3. Memahami
unsure-unsur kejiwaan pembaca.
Pada dasarnya psikologi sastra
memberikan perhatian pada masalah yang kedua, yaitu pembicaraan dalam kaitannya
dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya.
Psikologi sastra sebagaimana dimaksudkan dalam pembicaraan ini adalah cara-cara
penelitian yang dilakukan dengan mennempatkan karya sastra sebagai gejala yang
dinamis.
6.3 Antropologi Sastra
Salah satu faktor yang mendorong
perkembangan antropologi sastra adalah hakikat manusia sebagaimana dikemukakan
oleh Ernest Cassirer (1956:44) manusia sebagai animal symbolicum, yang
sekaligus menolak hakikkat manusia sebagai semata-mata animal ratiole. Secara
definitif antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan
relevansi manusia. Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua macam.
Yaitu antropologi fisik dan antropologi cultural. Maka antropologi sastra
dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi cultural, dengan karya-karya
yang dihasilkan oleh manusia.
Antropolgi sastra merupakan
pendekatan inerdisiplin yang paling baru dalam ilmu sastra. Lahiirnya model
pendekatan antropologi sastra dipicu oleh tiga sebab yaitu:
1.
Baik sastra maupun antropologi menanggap bahasa
sebagai objek penting
2.
Kedua disiplin mempermasalahkan relevansi manusia
budaya
3.
Kedua disiplin juga mempermasalahkan tradisi lisan,
khususnya cerita rakyat dan mitos’
BAB VIII
KESIMPULAN
Dalam penelitian ilmu-ilmu
humaniora, khususnya ilmu sastra, ada 3 komponen yang terlibat, yaitu: a).
Subjek peneliti, b). Obyek penelitian, dan c). Sarana atau peralatan
penelitian. Subjek penelitian adalah manusia itu sendiri, dengan kemampuan
intelektualitas,fisik,dana dan keseluruhan tanggungjawab psikologis yang
diperlukan selama proses penelitian. Obyek penelitian adalah karya
sastra,dengan ciri kreativitas imajinatif, terdiri atas bebtuk dan isi. Sarana
atau peralatan penelitian adalah seperangkat cara yang digunakan menganalisis,
yaitu; teori, metode, teknik dan instrumen.
Kurangnya perhatian terhadap sastra
lama jelas menghambat penyebaran aspek – aspek kebudayaan lokal yang terkandung
di dalamnya, yang sesungguhnya sangat kaya dengan nilai – nilai. Memberikan
perhatian terhadap sastra lama bearti menopang perkembangan visi sastra dan
budaya konteporer, membangkitkan kekuatan – kekuatan lokal, bukan dalam
pengertian negatif, misalnya, pertentangan etnis, agama dan kelompok yang lain.
Perkembangan positif bidang
penelitian sastra adalah perkembangan yang seimbang antar karya sastra di satu
pihak dengan teori, teori, kritik, dan sejarah sastra di pihak yang lain. Kedua
bidang memiliki ciri – ciri yang bertentangan, faktor yang petama bersifat
subyektif imajinatif,sedangkan faktor yang kedua bersifat objektif. Meskipun
demikian jelas keduanya saling memerlukan, bahkan tidak mungkin dipisahkan.
Kedua sastra berkembang atas dasar perkembangan teori, kritik, dan sejarah
sastra, sebaliknya teori,kritik, dan sejarah sastra. Antar hubungan ini perlu
dijelaskan dengan pertimbangan bahwa masih banyak pendapat teori, kritiks, dan
sejarah tidak perlu, karya sastra dapat berkembang secara mandiri, semata –
mata atas dasar kemampuan kreativitas imajinatif
Teori, metode, dan teknik adalah
alat, keberhasilan tergantung dari kemampuan orang yang menggunakan alat
tersebut. Teori lama mungkin bangkit kembali, yaitu sesudah memperoleh cara
pandang dan paradigma yang baru sehingga menjadi teori baru. Setruktualisme
kemudian menjadi postruktualisme, semiotika struktualisme menjadi simiotik
postruktualisme atau hipersemiotik.
Sama dengan karya sastra,setiap
penelitian harus berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh orang lain,
penelitian harus orisional. Perbedaan dimungkinkan oleh dua faktor; a) faktor
pebedaan objek, b) faktor pebedaan teori dan metode. Teori, metode, dan teknik,
bukan semata – mata alat yang pasif,alat dalam pengertian sehari-hari. Selama
dimanfaatkan teori menghasilkan energi yang menarik partikel – partikel objek
sehingga gejala yang semula stagnasi menjadi bereaksi. Makin canggih sebuah
teori,maka makin kuatlah energi yang dihasilkan. Kemampuan tersebut ditunjukan
oleh teori mutakhir, yaitu postruktualisme.
ijin memahami,,makasih
BalasHapusResume ya, bukan review
BalasHapusini mah resume yeu
BalasHapusthanks kk
BalasHapus