Senin, 18 Mei 2015

Tugas Review Buku Penelitian




 
REVIEW BUKU PENELITIAN
(Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra)
Disampaikan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Metodologi  Penelitian Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H.M. Ide Said DM., M.Pd

Disusun oleh

HERIYANTI
14B01030

PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.    IDENTITAS BUKU
Judul                           : Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra
Pengarang                   : Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U
Penerbit                       : Pustaka Pelajar
Edisi Terbit                 : Cetakan IV / April 2008
Kota Terbit                  : Yogyakarta
T e b a l                       : xii + 407 halaman

B.     PENJELASAN BUKU
Buku teori, metode, dan teknik penelitian sastra  yang ditulis oleh Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna ini merupakan buku sastra yang ditulis dengan tujuan untuk mengisi kekosongan literatur sastra, khususnya buku-buku yang berhubungan dengan teori dan metode. Buku ini disusun sebagai penghormatan terhadap Prof. Dr. A. Teeuw yang telah berjasa besar dalam memicu perkembangan sastra Indonesia, baik sastra lama maupun sastra modern.
Buku ini ditujukan untuk mahasiswa S1, S2, dan S3 ilmu-ilmu humaniora. Sebagai pelengkap dalam mengembangkan ilmu pengetahuan selanjutnya. Buku ini adalah cetakan 4 yang terdiri dari 8 bab dan disetiap babnya terbagi lagi atas beberapa sub bab. Halaman keseluruhan dari buku ini adalah 407 halaman, namun yang berisi pembahasan materi teori, metode dan teknik penelitian sastra hanya 365 halaman. Ukuran buku ini adalah 21cm x 14 cm, dengan sampul yang berwarna coklat.





BAB II
HASIL REVIEW BUKU

BAB I
SEJARAH PERKEMBANGAN TEORI SASTRA
Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara etimologis teori berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Dalam hubungannya dengan dunia keilmuan teori berarti perangkat pengertian, konsep, proposisi, yang mempunyai korelasi, dan telah diuji kebenarannya. Pada umumnya teori dipertentangkan dengan praktik. Teori-teori yang tidak atau belum berhasil untuk diuji dalam prakti, dengan sendirinya belum bisa disebut sebagai teori yang valid. Objek melahirkan teori, sebaliknya, teori memberikan berbagai kemudahan untuk memehami objek.dengan dibantu oleh metode dan teknik, teori meungkinkan ilmu pengetahuan berkembang secara lebih cepat dengan ditemukannya metode dan teori, pengetahuan pada gilirannya berubah menjadi ilmu pengetahuan. Secara genesis denngan demikian dalam proses penelitian teori diperoleh dengan dua cara, yaitu peneliti memanfaatkan teori terdahulu dan peneliti memanfaatkan teori yang dikemukakannya sendiri.
Sebagai alat, teori tidak harus selalu baru secara keseluruhan.kebaruan diperlukan dalam bentuk proses, sebagai modifikasi, cara-cara baru pada saat mempertemukan hakikat teori dengan objek. Srukturalisme adalah sebuah teori, yang secara genesis telah ada sejak zaman Aristoteles, tetapi secara terus menerus diperbaharui sepanjang sejarahnya, dan memperoleh bentuknya yanglebih sempurna. Teori-teori ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang sastra, diadopsi melalui pemikiran para sarjana barat. Sifat-sifat teori sebagai berikut:
  1. Mudah disesuaikan dengan cirri-ciri karya yang akan dianalisis.
  2. Mudah disesuaikan dengan metode dan teori yang menyertainya.
  3. dapat dimanfaatkan untuk menganalisis baik ilmu yang sejenis mapun berbeda.
  4. Memilki formula-formula yang sederhana, tetapi mengimplikasikan jaringan analisis yang kompleks.
  5. Memiliki prediksi yang dapat menjangkau objek jauh ke masa depan.
Objek penelitian dalam hal ini karya sastra, memiliki banyak dimensi, aspek dan unsure. Dalam satu penelitian dimungkinkan untuk menggunakan lebih dari satu teori, sebagai metode triangulasi. Tujuannya jelas untuk memperoleh pemahamn yang lebih mendalam terhadap objek penelitian. Perbedaan antara objek dan teori, objek karya sastra ditafsirkan secara estetika, sesuai dengan prinsip-prinsip puitika sastra, sedangkan teori ditafsirkan secara logika, sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu pengethuan yang bersangkutan.sebagai cara kerja teori dan metode terdiri atas konsep, proposisi, dan kerangka kerja. Dengan memanfaatkan teori dan metode tertentu maka dalam pemikiran oeneliti akan timbu kemampuan-kemampuan baru untuk memahami gejala yang sebelumnya sama sekali belum nampak.
Sebagai alat, teori berfungsi untuk mengarahkan suatu penelitian, sedangkan analisis secara langsung dilakukan melalui instrument yang lebih kongkret, yaitu metode dan teknik. Tujuan utama teori, dengan metode dan teknik, adalah mempermudah pemahaman terhadap objek sekaligus memberikan keluaran secara maksimal. Perkembangan ilmu pengetahuan tergantung dari perkembanganteori dan metode. Penerapan teori dilakukan melalui dua tahapan, pertama, teori dalam kaitannya dengan sastra sebagai produk social tertentu, kedua, teori dalam kaitannya dengan karya sastra sebagai hakikat imajinasi dan kreativitas.
Dalam ilmu sastra yang dimaksudkan dengan penelitian adalah untuk mengumpulkan data, menganalisis data, dan menyajikan hasil penelitian. Sebelum melakukan penelitian yang sesungguhnya, perlu disusun proposal atau rancangan penelitian. Pada dasarnya, butir-butir yang terkandung daam proposal hamper sama dengan penelitian yang sesungguhnya. Kualitas proposal, baik kelengkapan data maupun kesempurnaan teori dan metodenya berpengaruh besar terhadap penyelesain peneliti selanjutnya. Penelitian sastra mempertimbangkan cirri-ciri sebagai berikut:
  1. Hipotesis dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat deskripsi, bukan generalisasi.
  2. Populasi dan sample tidak mutlak diperlukan, kecuali dalam penelitian tertentu.
  3. Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat terbuka, deskripsi dan pemahaman berkembang terus.
  4. Tidak diperlukan objektivitas dalam pengertian yang umum sebab peneliti terlibat secara terus-menerus.
  5. Objek yang sesungguhnya bukanlah bahasa tetapi wacana, teks.




















BAB II
Paradigma Penelitian Sastra
Secara etimologis paradigma berasal dari bahasa latin (paradigma), berarti contoh, model, pola. Prinsip-prinsip paradigma dikembangkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution,terbit pertamakali tahun 1962.
Menurut Ritzer (1980: 1-24), paradigma yaitu konsep-konsep dasar Kuhn itu sendiri, dibicarakan secara luas dalam berbagai ilmu pengetahuan sejak tahun 1970-an, dengan sendirinya dengan pokok permasalahan yang berbeda beda, sesuai dengan disiplin yang bersangkutan. Pada dasarnya ilmu pengetahuan bersifat netral. Ilmuan mengadakan penelitian , yang kemudian disertai dengan penemuan-penemuan, tujuannya adalah untuk kesejahteraan umat manusia.
Dikaitkan dengan keberadaan subjek sebagai konsumen ilmu pengetahuan, maka pada umumnya yang lahir lebih dahulu adalah paradigma. Secara psikologis konsep-konsep yang mendukung lahirnya paradigma tertentu dalam diri subjek pada dasarnya telah ditanamkan sejak usia dini, yang kemudian memiliki pola-pola tertentu setelah subjek duduk di bangku sekolah. Sebagai pandangan hidup ilmu pengetahuan, selain factor-faktor dari dalam, seperti minat dan bakat , factor luar juga berpengaruh besar, seperti lingkungan dalam keluarga dan lingkungan di sekiternya.
Dengan adanya persamaan pandangan dalam hidup, khususnya dikalangan para ilmuan, maka akan terbentuk komunitas ilmuan tertentu, yang pada giliranya akan melahirkan sub komunitas, dengan pandanagan yang berbeda-beda, tetapi pada tingkat makro tetap menunjukan persamaan-persamaan. Dengan penjelasan di atas, maka paling sedikit ada tiga hal yang mempengaruhi perbedaan paradigma seorang ilmuan, sebagai berikut.
1.      Unsur dalam diri sendiri.
2.      Unsur luar berupa lingkungan fisik.
3.      Unsur luar berupa penjelajahan metodologi dan teori.
Melihat luasnya penyebaran dan beragamnya konsep-konsep paradigma, baik dalam dunia ilmiah maupun kehidupan praktis sehari-hari, maka pembicaraan ini hanya membatasi perkembanganya dalam dunia ilmiah. Artinya paradigma dibicarakan dalam kaitanay dengan teori dan metode disatu pihak, sifat-sifat dasar objek yaitu karya sastra itu sendiri dipihak yang lain. Kaitan paradigma dengan teori dan metode tidak banyak menimbulkan masalah sebab komponen-komponen tersebut memiliki ciri-ciri yang relatif sama, konsep-konsep dasar yang memungkinkan subjek untuk menganalisis objek penelitian.
Dikaitkan dengan pentingnya peranan paradigma bagi seorang limuan dalam mengembangkan suatu disiplin tertentu, maka masalah yang perlu dikemukakan adalah bagaimana cara menentukan perbedaan paradigma seorang ilmuwan dengan ilmuan yang lain, demikian juga satu komunitas keilmuwan dengan komunitas yang lain. Secera filosofis, menurut Ritzer(1980:2-24), khusuanya dalam kaitanya dengan metode kualitatif paling sedikit ada empat faktor yang berpengaruh di dalamnya, sebagai berikut.
1.      Faktor ontologis, keberadaan objek, yang dengan sendirinya berbeda di antara masing-masing ilmuwan.
2.      Faktor epistomtlogis, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan.
3.      Faktor aksiologis, penelitian adalah penilaian, berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bebas nilai.
4.      Faktor metodologis, keseluruhan proses penelitian , termasuk metode, teori dan teknik.
Paradigma individual dengan sendirinya merupakan pengalaman yang paling
singkat. Menurut Jung (1949: 377-380), isi pengalaman individual adalah pengalaman kehidupan sekarang, pengalaman individu selama hidup di dunia nyata, sebagai pengalan kehidupan sehari-hari. Sebaliknya paradigma kelompok diterima melalui kualitas spesies, termasuk kelas, ras, dan ciri genetik lainya. Pengalaman sekarang disebut material antogenesis, pengalaman masa lampau disebut material filogenesis.
Model pendekatan, seperti sosiologi sastra dan psikologi sastra, demikian juga pendektatan multi disiplin lainya jelas memerlukan pengalaman pradigma yang lebih kompleks. Sosiologi sastra misalnya, paling sedikit melibatkan dua bidang ilmu dengan hakikat yang berbeda, bahkan bertentatangan secara diametral, yaitu sosiologi dan sastra.
Dalam hubungan inilah diperlukan keluasan cakrawalapeneliti sehingga keseluruhan partikelbidang ilmu yang terlibat dapat ditarik sehingga terjadi kesatuan yang bermakna. Keterlibatan berbagai disiplin dengan berbagai paradigma memeiliki segi positif, dengan pertimbangan sebagai berikut
1.      Multiparadigma membuka cakrawala yang lebih luas, cara pamahaman ternyata tidak beraifat tunggal, melainkan plural.
2.      Menghilangkan anggapan bahwa paradigma, seperti juga sebuah teori, dapat menjawab semua permasalahan.
3.      Menciptakan saling menghargai pendapat, kelebihan, dan kekurangan orang lain.
4.      Keberagaman paradigma jalas mengevokasi kebergaman khsanah kultural.
5.      Prulalitas paradigma sesuai dengan semangat postruturalisme, teori modern yang memberikan perhatian pada hakikatmulti8kultural, dengan memberikan perhatian terhadap kearifan lokal.










BAB III
METODE, METODOLOGI, TEKNIK DAN PENDEKATAN
3.1 Metode, Metodologi, dan Teknik
Metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsiuntuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dupecahkan. Metode sering dikacaukan penggunaannya dengan metodologi. Metodologi jelas mengimplikasikan metode, berbeda dengan metode, metodologi tidak berkaitan dengan teknik-teknik penelitian, melainkan dengan konsep-konsep dasar logika secara keseluruhan.secara definitive metode ddengan teknik tidak memiliki batas-batas yang jelas. Ada 3 cara yang dapat dikemukakan untuk membedakan antara metode dengan teknik, bahkan juga dengan teori, sebagai berikut:
a.       Dengan cara membedakan tingkat abstraksinya.
b.      Dengan cara memperhatikan factor mana yang lebih luas ruang lingkup pemakainnya.
c.       Dengan cara memperhatikan hubungannya dengan objek.
Istilah lain yang juga menimbulkan perdebatan dalam dunia penelitian adalah pendekatan. Secara etimologis pendekatan juga berarti jalan, yaitu cara itu sendiri, tetapi perlu dijelaskan bahwa pendekatan pada dasarnya memiliki tingkat abstraksi yang lebih tinggi baik dengan metode maupun teori. Dalam pelaksaan penelitian, aspek-aspek yang muncul adalah teori, metode, dan teknik. Atas dasar kekhasan sifat karya sastra, maka sejumlah metode yang perlu dibicarakan dalam analisis karya sastra, diantaranya: metode intuitif, hermeneutika, formal, analisis isi, dialektika, deskriptif analisis, deskriptif komparatif, dan deskriptif induktif.
1.      Metode Intuitif
Metode intuitif dianggap sebagai kemampuan dasar manusia dalam upaya memahami unsure-unsur kebudayaan. Ciri khas metode intuitif ada;ah kontemplasi, pemahaman terhadap gejala-gejala cultural dengan mempertimbangkan keseimbangan antara individu dengan alam semesta.
2.      Metode Hermeneutika
Dikaitkan dengan fungsi utama hermeneutika sebagai metode untuk memahami agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa diantara karya tulis yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra. Pada tahap tertentu teks agama sama dengan karya sastra.
3.      Metode Kualitatif
Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Ciri terpenting metode kualitatif adalah:
a.    Memberi perhatian yang utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sbagai studi cultural
b.    Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian.
c.    Desai dan kerangka penelitian bersifat sementara sbab penelitian bersifat terbuka.
d.   Lebih mengutamakan proses daripada hasil penelitian.
e.    Penelitian bersifat alamiah.
4.      Metode Analisis isi
isi dalam metode analisis isi terdiri dari 2 macam yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokunen dan naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi. Sebagaimana metode kualitatif, dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran.
5.      Metode Formal
Metode formal adalah dengan mempertimbangkan aspek-aspaek formal, bentuk yaitu karya sastra. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra daengan memperhatikan sifat-sifat teks yang dianggap aratistik. Ciri utama metode formal adalah analisis terhadap unsure-unsur karya sastra, kemudian bagaiman hubungan antara unsur-unsur tersebut dengan totalitasnya.
6.      Metode Dialektika
Prisip-prisip dialektika hampir sama denngan hermenautika, khususnya dalam gerak spiral eksplorasi makna, yaitu penelusuran unsur ke dalam totalitas, dan sebaliknya. Yang membedakan adalah kontinuitas oprasionalisasi tidak pada level tertulis, tetapi diteruskan pada jaringan kategori social, yang justru merupakan maknanya secara lengkap.
7.      Metode Deskriptif Analisis
Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Analisis tidak semata-mmata menguraikan melainkan juga member pemahaman dan penjelasan secukupnya.
3.2 Pendekatan dan Problematikanya
Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek, sedangkan metode adalah cara-cara mengimpulkan, menganalisis, dan menyajikan data. Tujuan metode adalah efisiensi, dengan cara menyederhanakan. Tujuan pendekatan adalah penagkuan terhadap hakikat ilmiah objek ilm pengetahuan itu sendiri. Model pendekatan sastra yang perlu dikemukakan, diantaranya:
  1. Pendekatan Biografis
Pendekatan biografis merupakan studi yang sistematis mengenai proses kreativitas. Subjek creator danggap sebagai asal usul karya sastra , arti sebuah karya sastra dengan demikian secara relative sama dengan maksud, niat, pesan dan bahkan tujuan-tujuan tertentu pengarang.
2.      Pendekatan Sosiologis
Pendekatan biografis menganggap karya sastra sebagai milik pengarang, sedangkan pendekatan sosiologis menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat. Dasar filosofis pendekatan sosilogis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat.
3.      Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu pengarang, karya sastra dan pembaca, dengan pertimbangan bahwa pendekatan psikologis lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan karya sastra.
4.      Pendekatan Antropologis
Antropologi adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat. Antropologi dibedakan menjadi antropologi fisik dan kebudayaan. Antropologi kebudayaan dibedakan menjadi dua bidang, yaitu antropologi dengan objek verbal dan nonverbal. Lahirnya antropologi didasarkan atas kenyataan, pertama, adanya hubungan antara ilmu antropologi dengan bahasa.
5.      Pendekatan Historis
Pendekatan histories mempertmbangkan relevansi karya sastra sebagai dokumen social. Tugas utama sastra adalah menempatkan karya sastra dalam suatu tradisi, tetpi bagaimana cara manempatkannya adalah tugs pendekatan, yang dibantu oleh teori dan mmetode. Dengan mempetimbangkan indicator sejarah dan sastra, maka beberaa masalah yang menjadi objek sasaran pendekatan histories, diantaranya, sebagai berikut:
1.      Perubahan karya sastra dengan bahasanya sebagai akinat proses penebitan ulang.
2.      Fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan.
3.      Kedudukan pengarang pada saat menulis.
4.      Karya sastra sebagai wakil tradisi zamannya.
6.      Pendekatan Mitopoik
Pendekatan mitopoik dianggap paling pluralis sebab memasukkan hampir semua unsur kebudayaan.

7.      Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif banyak menggunakan data sekunder, data yang sudah diangkat melalui aktivitas pengarang sebagai subjek pencipta, jadi, sebagai data literer. Untuk menjelaskan hubungan antara penganrang, semestaan, pembaca dan karya sastra, Abrams membuat diagram yang terdiri atas empat komponen utama,dengan empat pendekatan, yaitu ekspresif, mimetic, pragmatic, dan objektif.
8.      Pendekatan Mimemis
Pendekatan mimemis, khususnya dalam kerangka Abrams bertumpu pada karya sastra. Pendekatan mimemis perlu dikembangkan dalam rangka menopang keragaman khazanah kebudayaan.pemahaman terhadap cirri-ciri kebudayaan kelompok yang lain dapat meningkatkan kualitas solidaritas sekaligus menghapuskan berbagai kecurigaan dan kecemburuan sosial.
9.      Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatis memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan pragmatis memilki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyarakat, perkembangan dan penyebarluasannya, sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan.
10.  Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apa pun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu pada karya sastra itu sendiri.








BAB IV
TEORI-TEORI STRUKTURALISME
Strukturalisme yang telah berhasil untuk memasuki seluruh bidang kehidupan manusia, sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman secara maksimal. Secara histories perkembangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap yaitu: formalisme strukturalisme dinamik.
4.1.Prinsip- prinsip antar hubungan
Dalam streukturalisme konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya unsure- unsure sebagai cirri khas tersebut dapat berperan secara maksimal semata- mata dengan adanjya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukan anatara hubungan unsur- unsur yang terlibat unsur- unsur pada giliranya memiliki kapasitas memiliki kapasitas untuk melakukan reorganisasi dan regulasi diri, membentuk dan membina hubungan antar unsur.
Melalui tradisi formalis, khususnya tradisi formalisme, ciri- ciri antar hubungan memperoleh tempat yang memada. Antar hubungan sistem jaringan yang mengikat sekaligus memberikan makna terhadap gejala- gejala yang ditangkap. Suatu cerita menjadi menarik misalnya salah satu cara yang dilakukan pengarang adalah dengan mempercepat atau sebaliknya memperlambat terjadinya suatu peristiwa meningkatkkan atau sebaliknya menurunkan frequensi pemanfaatan kata-kata tertentu .Dengan mengambil analogi dalam bidang bahasa, sebagai hubungan sintagmatis dan paradigmayis, maka karya sastra dapat dianalisis dengan 2 cara. Pertama menganalisis dengan unsur- unsur yang terkandung dalam karya sastra, kedua menganalisis karya melalui perbandingan dengan unsur- unsur diluarnya yaitu kebudayaan pada umumnya.
4.2.Teori formalisme
Sebagai teori modern mengenai sastra, secara histories kelahiran formalisme dipicu oleh paling sedikit tiga factor
  1. formalisme lahir sebagai akibat penolakan terhadap paradigma positivisme abad ke- 19 yang memegang prinsip kausalitas
  2. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora di mana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis
  3. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian karya sastra dengan sejarah, sosiologi, dan psikologi.
Penerapan strukturalisme dalam disiplin linguistik yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure merupakan langkah yang sangat maju dalam rangkan mengarahkan teori tersebut sebagai teori modern selanjutnya. Konsep dasar yang ditawarkan adalah perbedaan yang jelas dikotomi antara a) signifian(bentuk ,bunyi ,lambang, penanda) dan signifie ( yang diartikan, yang ditandakan sebagai pelambang) b) parole (tuturan, bahasa individual) dan langue (bahasa yang hukum- hukumnya telah disepakati bersama) c) sinkroni analisis (karya- karya sezaman) dan diakroni ( analisis karya dalam pekembangan sejarahnya)
4.3.Teori strukturalisme dinamik
Strukturalisme berasal dari kata structura, bahasa latin, yang berarti bentuk atau bangunan.Menurut Teuw (1988: 131), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme berkembang melalui tradisi formalisme sebagian besar dalam strukturalis.
Robert scholes (1977) menjelaskan keberadaan struktarisme menjadi tiga tahap yaitu: sebagai paradigma berpikir, sebagai metode, dan terakhir sebagai teori. Mekanisme seperti ini merupakan cara yang biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Demikianlah akhirnya strukturalisme disempurnakan kembali dalam strukturalisme genetik, resepsi, interteks, dan akhirnya pasca struktiralisme, khususnya dalam dekonstruksi.
Secara strukturalisme berarti paham mengenai unsur- unsur yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar hubunganya, disatu pihak antar hubungan unsur yang satu debngan unsur lainya, dipihal lain hubungan anatara uynsur dengan totalitasnya. Selama lebih kurang setenfgah abad perkembangan strukturalisme telah memberikan hasil yang memadai yang meliputi berbagai ilmu pengetahuan. Sebagai suatu cara pemahaman, baik secara teori maupun metode, ciri- ciri yang cukup menonjol adalah lahirnnya brbagai kerangka dan model analisis,khususnya analisis fiksi
4.4.Teori semiotika
Secara definitif, menurut Paul Cobley dan litza Janz (2002:4) semiotika berasal dari kata seme, bahasa yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semion, yang tanda. Kehidupan manusia dipenuhi tanda, dengan pertantaraan tanda- tanda poroses kehidupan menjadi lebih efisien, dengan perantaraan tanda- tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya.Dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda, maka tanda dibedakan sebagai berikut.
1.      Representamen,ground, tanda itu sendiri, sebagai perwujudan gejala umum:
a.       qualisign, terbentuk oleh kausalitas: warna hijau
b.      sinsigns terbentuk melalui realitas fisik
c.       legisigns, berupa hukum: sura wasit dalam pelanggaran
2.      Object yaitu apa yang diacu
a.       ikon, hubungan tanda dan objek karena serupa misalnya foto
b.      indeks hubungan tanda dan objek karena sebab akibat
c.       simbol hubungan tanda dan objek karena kesepakatan
Ada banyak cara yang ditawarkan dalam rangka menganalisis karya sastra secara semiotius. Cara yang paling umum adalah dengan menganalisis karya sastra melalui dua tahapan sebagaimana ditawarkan oleh Rene dan Warren(1962), yaitu: a) analisis intrinsik ( analisis Mikrostruktur) dan b) analisis ekstrinsik (analsis makrostruktur).
4.4.1 Bidang- bidang penerapan
Sebagai ilmu semiotika berfungsi untruk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun tanda non verbal. Memahami sistem tanda, bagaimanacara kerjanya, berarti menikmati suatu kehidupan yang lebuih baik.Semiotik buydaya sebagaimana dijelaskan oleh aart van Zoest, jelas terlalu luas sebab apabila dikaitkan dengan salah satu defenisi kebudayaan sebab defenisi kebudayaan maka semua model semiotika termasuk ke dalam kebudayaan.
4.4.2 Semiotika sastra
Tanda- tanda sastra tidak terbatas pada teks tertulis . Hubungan antara penulis, karya sastra, dan pembaca menyediakan pemahaman mengenain tanda yang sangat kaya. Atas dasar luasnya gejala- gejala sastra yang ditimbulkan inilah maka lahir teiri yang khusus berkaitan denganya, seperti: teori ekspresif, pragmatik, resepsi, interteks,strukturalisme genetik. Sastra dalam bentuk karya atau naskah juga mengandung makna tanda- tanda non verbal. Menurut van Zoest (1993 : 86), dalam teks sastra diantara ketiganya ikon yang paling menarik. Ada tiga macam ikon yaitu:a) ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang, misalnya puisi kongkret atau visual,b) ikon diagramatis atau realisional, berdasarkan perssamaan struktur misalnya dua kenyataan yang didenotasijkan sekaligus.dalam bahasa indonesia simbol pada umumnya disamakan dengan lambang.
Dalam sastra, sistem simbol yang terpenting adalah bahasa.Sebagai prasarat komunukasi, Edmunt Leach (1976: 15) membedakan antara simbol dengan tanda dan sinyal. Sinyal meunjukan hubungan dengan dua gejala yang secara mekanis dan otomotis. Simbol ditandai oleh dua ciri, yaitu: a) antara penanda dan petanda tidak ada hubungan instreinsik sebelumnya, b) termasuk ke dalam kultural yang sama.
4.4.3 Semiotika sosial
Menurut salah seorang pelopornya itu Haliday (1992: 3-8) adalah semiotika itu sendiri dengan memberikan lebih detail dan menyeluruh tentang masyarakat sebagai markostruktur. Semiotika sosial melangkah lebih jauh disatru pihak mencoba memberikan penilaian pada gejala dibalik objek, dilain pihak memberikan kemungkinan untuk menjelaskan hakikat masyarakat dalam rangka multidisiplin, sebagai multikultural. Strukturalisme sosial memiliki implikasi lebih jauh dalam kaitanya dengan hakikat teks sebagai gejala yang dinamis.


4.5.Teori strukturalisme genetik
Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania. Strukturasme genetik memiliki im[plikasi yang lebih luas dalam kaitanya dengan perkembangan ilmu- ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang strukturalis, Goldman sampai pada kesimpulan bahwa struktur mesti disempurnakan menjadi srtuktur bermakna, di mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas. Secara defenitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberiklan perhatian terhadap asal- usul karya. Secara ringkas berarti strukturalusme genetik sekaligus memberikasn perhatian terhadap analisis instrinsik dan eksdtinsik.Secara sosiologis, menurut Hauser (1985: 139) senimanpun pada dasarnya ditentukan oleh lelas sosialnya.Pewrlu dijelaskan bahwa keterlibatan pengarang lebih berwsifat afinitas, sebagai bentuk ketertarikan terhadap suatu masalah.
Secara definitif strukturalisme harus menjelaskan struktur dan asak- usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek trans - individual dan pandangan dunia.
4.6.Teori Strukturalisme Naratologi
Natarologi sengja diuraikan secara agak luas, dengan pertimbangan pertama, berbagai aspek berkaitan dengan cerita telah mewarnai penelitian- penelitian baik dalam bidang sastra maupun kebudayaan. Kedua, buku ini memang dimaksudkan untuk melengkapi literatur sastra dalam kaitanya dengan wacana naratif. Wacana naratif sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan pencitraan. Secara historis menurut Marrie- Lauureryan dan van Al- phen, Natarologi dapat dibagi menjadi tiga periode, sebagai berikut:
1.      Periode prastrukturalis (tahun 1960- an)
2.      Periode strukturalis (tahun 1960- 198)
3.      Periode pascastrukturalis ( tahun 1980-an hingga sekarang).
Para pelopor naratologi antara lain: Vladimir Lokovievich Propp, Claude levi-Straus, Txvetan Todorov, Algirdas Julien Greimas, dan Shiomith Rimmen-Kenan.
BAB V
TEORI-TEORI POSTRUKTURALISME
5.1 Hubungan antara postmoderisme dengan postruturalisme
Paradigma postruturalisme adalah cara-cara mutakhir, baik dalam bentuk teori maupun metode dan teknik, yang digunakan dalam, mengkaji objek. Sabagai cara yang baru, teori postruturalisme yang sudah berkembang selama kurang l;ebih setengah abad,sejak awal abad ke-20. Strukturalisme (Ritzer, 2003: 49-64) lahir sebagai reaksi terhadap model-model penelitian sebalimnya yang memperhatikan pada sejarah dan asal usul suatu gejala kultural, khususnya bahasa.
Teori sastra, sebagaimana teori-teori sebelumnya, seperti struturalisme, semiotika, resepsi, interteks, strukturalisme genetik, dan sebagainya, pada awal perkembanganya selalu menimbulkan berbagai masalah, antara yang menerima atau sebaliknya menolak. Pendapat lain (Stanley J. Grenz,2001:25-35) menyabutkan bahwa pelopor postmodernisme adalah Arnold Toynbee(1870-an), atasd dasar pertimbangan terjadinya pergeseran kebudayan Barat ke arah irosionalitas dan relativism. Menurut Charles Jencks, bangunan tersebut merupakan simbol modernisme sebab dibangun atas dasar teknologi modern dengan tujuan menciptakan masyarakat utopis.
Sebagaimana modernisme, postmodernisme berkembang dalam berbagai bidang ilmu, seperti : arsitektur, perencanaan kota, sejarah, ekonomi, politik, psikologi, teknologi media masa, filsafat, bahasa dan seni, termasuk sastra. Apostmodernisme merupakan perkembangan positif modernisme, sedangkan postrukturalisme merupakan perkembangan struturalisme. Postmodernisme dan postrukturalisme berkembang dengan sangat pesat, dipicu paling sedikit oleh tiga indikator yang saling melengkapi, sebagai berikut:
1.      Postmodernisme dan postrukturalisme sebagai kecenderungan mutakhir peradaban manusia berkembang dalam situasi dan kondisi yang serba cepat.
2.      Perkembangan pesat kajian wacana, baik dalam bidang sastra, sebagai teks, maupun nonsastra, sebagai diskursus.
3.      Perkembangan pesatinterdisipliner yang memungkinkan berbagai disiplin dalam kajian tunggal.
5.2 Teori-teori Postmodernisme
Postmodernisme pada dasarnya masih meruoakan bagian integral zaman modern. Modern, dari kata modo (Latin), berarti baru saja, jelas sangat sulit unutk dikaitkan dengan zaman modern yanng berlangsung hampir selam 500 tahun. Oleh karen itulah, timbul pendaoat bahwa baik istilah modern maupun postmodern diartikan sebagai aktivitas pada saat suatu kemajuan brhasil untuk dicapai. Postmodernisme, misalnya terkandung dalam setiapaktivitas, dalam hubungan ini aktifitas modernisme, dimana di dalamnya terkandung suatu pembaharuan.
Modernisme dan postmodernisme dalam sastra berkaitan dengan ciri-ciri karya satra, sebagai aliran, bukan teori. Sebagai aliran medernisme dan postmodernisme, maka karya sastra tumpang tindih dengan seni lukis dan filsafat. Hubungan dengan gejaia pertama terjadi oleh karena keduanya dihasilkjan melalui sistem infirmasi dan tujuan estetika yang sama. Ciri-ciri yang mendasari perbedaan antara modernisme dan postmodernisme tidak menunjukan garis yang jelas, tidakhitam putih. Masalah-masalah masyarakat, khususnya karya seni tidak bisa dibedakan secara paradoksal dikotomis.
Timbulnya postmodernisme jelas merupakan akibat ketidakmampuan modernisme dalam menaggulangi kepuasan masyarakat, yaitu berbagai kebutuhan yang berkaitan dengan masalah sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya.
Postmodernisme muncul untuk mengoreksi lineritas modernisme. Tujuanya jelas untuk mengembalikan kesadaran bahwa ada yang lain,the other, di luarnya, di luar wacana hegemoni. Konsekuensinya adalah Barat seolah-olah memaksakan agar dunia timur menyesuaikan diri dengan dunia Barat. Dalam hubungan inilahpostmodernisme mengemukakan konsep relativisme budaya sehingga gejala yang selama ini dianggap berada diluarnya dapat dipertimbangkan kembali.
Ariel Heryanto, 1994:83, postmodernisme dikritik dengan berbagai alasan, di antaranya: Postmodernisme dianggap sebagai relativisme, atausebagai sekedar metode kritik, dan tradisi sudah lama di Indinesia. Sebagai gerakan ysng bersifat relatif, maka postmodernisme dianggap menawarkan konsep apasaja bis tejadi,Postmodern juga dituduh terlalu sempit, dekonstruksi, misalnya, dianggap sebagai konsep yang menghancurkan segala sesuatu yang sudah ada. Postmodernisme lahir terlalu dini, sementara masalah-masalah yang berkaitan dengan modernisme pun belum tuntas, Postmodernisme sulit dipahami.
Ciri-ciri utama postmodern (Linda hitcheon, 1992:60) dan dengan sendirinya juga postrukturalisme adalah penolakan terhadap adanya satu pusat, kemutalakn, narasi-narasi besar.metanarasi, gerak sejarah yang monolinier. Sebagia teori mutakhir yang lahir melalui keberagaman aspek kehidupan manusia, postmodernisme mencangkup berbagai bidang ilmu.
5.3 Teori-teori postrukturalisme
Perbedaan antara postmodernisme dengan postrukturalisme, dilakukan atas dasar kepentingan oraktis. Secara historis, khususnya di Indonesia, keduanya muncul dalam periode yang sama. Secara etimologis, kususnya dalam kehidupan praktis sehari-hari keduaistilah hampir tidak dibedakan.
Dasar teori-teori postrukturalisme adalah strukturalisme, sedangkan strukturalisme sendiri lahir melalui formalisme Rusia yangmulai berkembangawal abad ke-20 (1915-1030). Teori strukturalisme yang berkambang sejak tahun 1930-an (Selden, 1986: 72), setelah dievaluasi kurang lebih setengah abad, maka sekitar tahun 1980-an direvisi oleh teori postrukturalisme, dengan mempersempit pretensi-pretensi ilmiahnya. Hubungan antara strukturalisme dengan postrukturalisme sangat kompleks.
5.3.1 Teori Resepsi Sastra
Semiotika, resepsi dan interteks berkembang pesat sesudah strukturalisme mencapai klimaks sekaligus stagnasi, bahkan sebagai involusi. Perbedaanya, semiotika, melalui intensitas sistem tanda memberikan keseimbangan antara struktur intrinsik dan ekstrinsik, resepsi sstra memberikan perhatian pada pembaca, sedangkan intertekspada hubungan antarakarya yang satu dangan karya lainya. Secara definitif resepsi sastra, berasal dari kata recipere (Latin) reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya.
Resepsi sastra tampil sebagai teori dominan sejak tahun 1970-an, dengan pertimbangan: Sebagai jalan keluar untuk mengatasi strukturalisme yang hanya dianggap hanya memberikan perhatian terhadap unsur-unsur, timbulnya kesadaran untuk membangkitkan kembali kemanusiaan, dalam rangka kesadaran humanisme universal.
Dalam penelitian resepsi dibedakan menjadi dua bentuk yaitu resepsi secara sinkronis dan resepsi secara diakronis. Hubungan resepsi sastra dengan interteks terjadi karena baik resepsi terjadi karena baik resepsi sastra maupun interteks mempermasalahkan hubungan antara dua teks atau lebih.
5.3.2 Teori Interteks
Secara luas interteks diartikan sabagai jarngan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Pemahaman secara intertektual bertujuan untuk menggalisecara maksimal makana-makna yang terkandung dalam sebuah teks. Menrut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas pemahaman terhadap karya-karya terdahulu, secara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yaitu: Membaca dua teks atau secara berdampingan pada saat yang sama.
Interteks dianggap berutang terhadap prinsip-prinsip dialog. Prinsip-prinsipdialogis (Bakhtin, melalui Todorov, 1984:96-98) dianggap sabagai konsep yang penting dalam interaksionisme simbolis, yang dengan sendirinyatidak bisa dijelaskan secara keseluruhan oleh perapektif mekanis dan biologis, dan bahkan juga psikologis.Perspektif dialogis memberikan kemungkinan yang palingluas untuk membongkar kompleksitas setruktur naratif, sistem wacana, domonan autorial, dan siara-suara monologis yang lain.
5.3.3 Teori Feminis
1. Luce Irigasi
Luce Irigasi (Lechte, 2001: 248) mengemukakan argumentasinya dengan menolak pendapat Freud dan Lacan, Yaitu: yang real, yang simbolikdan yang imajiner.Sebagai seorang ahli bahasa, Irigasi memusatkan perhatianya pada sizofrenia,yang dianggap sebagai bahasa pribadi atau idiolek, yang pada dasarnya mengikuti aturan linguistikmmeskipun secara terus-menerus dilanggar.
2. Julia Kristeva
Dalam kritik sastra, Julia Kristeva lebih dikenal sebagai pelopor teori interteks. Menurut Kristeva (Lechte, 2001: 223) ruang tempat dimainkannya dinamika subjektivitas disebut ruang artistik. Ada hubungan timbak balik ciri-ciri artistikdalam mambangun subjek, sebagaimana subjek membangun karya seni. Karya seni dengan demikian merupakan landasan pengalaman autentikyang mampu membuka jalan demisuatu perubahan kepribadian.
3. Helena Cixous
Helena Cixous (Moi, 1985: 104) adalah seorang novelis, penulis darama, sekaligus kritikus feminis. Cixous ( Moi, 1985: 114) lebih jauh membicarakan hubungan esensial antara tulisan perempuan dan ibu sebagai sumbar dan asal mausal suara yang terdengar dlam semua teks perempuan. Feminitas dalam tulisan merupakan hak istimawa suara tak bisa dipisahkan, keseluruhan pembicaraan perempuan adalah suara perempuan. Secara fisikal perempuan mematrealisasikan apa yang di pikirkan , ia memaknakannya dengan tubuhnya.
4. Donna L Haraway
Donna Harraway(1991:150) merupakan kritikus feminis dengan sudut pandang dan argumantasi yang berbeda. Salah satu aspek yang perlu dikemukakan di sini adalah kegairahanya dlam mendukung dan memanfaatkan proyek teknologi modern, yaitu cyborg. Feminisme, yang secara terdisional disebut emansipasi wanita, baik sebagai aksi politik maupun intelektual, mewarnai bidang-bidang pergerakan kebudayaan, khususnya kritik sastra.
5.3.4 Teori Postkolonial
Secara etimologis postkolonial berasal dari kata ’post’ dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata colonia, bahasa romawi, yang berarti tanah pertanian tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainya. Dikaitkan dengan teori-teori postmodernisme yang lain, studi postkolonial termasuk relatif  baru. Cukup sulit untuk menentukan secara agak pasti kapan teori postkolonialisme lahir. Analisis wacana postkolonial bisa digunakan, di satu pihak untuk menelusuri aspek-aspek yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan , sehingga dapat diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja, di pihak lain membongkar disiplin, lembaga, dan ideologi yang mendasarinya.
5.3.5 Teori Dekonstruksi
Dekonntruksi dibicarakan pada bagian terakhir diantara teoti-teori postrukturalisme dengan pertimbangan bahwa dekontruksi mewarnai teori-teori knontemporer sebagaimana telah dibicarakan di depan, seperti: resepsi sastra, interteks, feminisme, postkolonialisme, dan naratologi postrukturalisme. Secara leksikal ’de’ berari penurunan, pengurangan, penolakan. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap suatu intensitas kontruksi, yaitu gagasan, bangunan,dan susunan yang sudah baku, bahkan univrsal.
Pada dasarnya dekonstruksi sudah dilakukan oleh Nietzsche (Culler, 1983: 86-87) dalam kaitanya dengan usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadap prisip sebab akibat.
5.4 Teori Postrukturalisme Naratologi
Karya sastra menjadi berbeda, sekalius rumit dan kompleks, sehingga berbeda dengan deskripsi-deskripsi yang lain, dan dengan demikian memerlukan pengetahuan
tambahan. Untuk memahaminya adalah sebagai akibat peranan struktur naratif. Struktur naratif sastra, Sebagai struktur naratif fiksional, jelas memiliki cara-cara khas yang berbeda dengan pengertian setruktur naratif secara umum. Secara historis naratif dalam khazanah sastraBarat (Noth, 1990: 369) dapat ditelusuri pada zaman Aristoteles, dengan membedakan secara dikotomis antara mythos dan mises. Menurut tradisi Aristoteles, mithos adalah plot itu sendiri, yang didefinisikan sebagaistruktur cerita dengan ciri temporal dan kualitas. Salah satu unsur karya dalam setruktur naratif yang selalu menjadi pembicaraan hangat adalah plot.
1. Wacana dan Teks
Setiap unit wacana, baik besar amupun kecil, jelas memiliki bentuk, sebagai struktur tertentu. Wacana diciptakan dengan tujuan-tujuan tertentu, positif atau negatif, sebagai fungsi. Akhirnya, wacana akan menampilkan makna, hasil-hasil yang telah dicapaioleh bentuk fungsi.makna karya sastra makna disimpulkan sebagai kualitas estetis, proses kenikmatan tertinggi yang dirasakan oleh pembaca.
2. Tokoh-tokoh Strukturalisme
a. Gerard Genette                               b. Gerald Prince
c. Seymor Chatman                             d. Jonathan Culler
e. Roland Barthes                               f. Mikhail Mikhailovich
g. Hayden White                                 h. Mary Louise Pratt
i. Jacques-Marie Emile Lacan             j. Michael Foucault
k. Jean-Francois Lyotard                    l. Jean Baudrillard










BAB VI
TEORI-TEORI KOMUNIKASI DALAM KARYA SASTRA
Salah satu ciri karya sastra yamg sangat penting adlah fungsinya sebagai system komunikasi. Secara garis besar komunikasi dilakukan melalui : a) inteaksi social, b) aktivitas bahasa, dan c) mekanisme teknologi. Komunikasi dalam sastra penting sekaligus rumit sebab, a) karya sastra merupakan model kedua, dan b) karya sastra pada dasarnya sekaligus memanfaatkan ketiga unsure diatas.
6.1 Ciri-ciri Anonimitas Pengarang
Menurut Plato pengarang hanya berhasil untuk meniru kenyataan sehingga karya seni yang dihasilkan lebih rendah dari kenyataan. Sebaliknya, menurut Aristoteles, melalui penafsiran karya seni dapat meningkatkan kualitas kehidupan, sebagai katharsis. Pengarang adalah anggota masyarakat, memperoleh pengetahuan melalui masyarakat, dan yang terpenting menyajikan sudut pandang sesuai dengan masyarakat yang mengkondisikannya. Secara faktual pengarang jelas memegang peranan penting, bahkan menentukan tanpa pengarang karya sastra dianggap tidak ada. Tanpa pengarang fakta-fakta social hanya terlihat melalui satu sisi, pada permukaan. Kemapuan pengarang dalam menghasilakn karya sastra disebabkan oleh perbedaan kualitas, yaitu kualitas dalam memanfaatkan emosionalitas dan intelektualitas.
Beberapa ciri yang harus dimiliki oleh pengarang, diantaranya : a) pengarang harus memiliki keterampilan menulis, b) pengarang dapat mengorganisasikan keseluruhan penglaman, c) pengarang harus memiliki ketajaman emosionalitas dan intelektualitas, d) pengarang harus memiliki kecintaan terhadap masalah-masalah kehidupan, dan e) harus memiliki kekuatan imajinasi. Dikaitkan dengan subjek yang lain, seperti ilmuwan, jelas perlu dtelusuri mengapa mereka melakukan penelitian, mengapa mereka mengarang. Ada tiga indikator yang memicu aktivitas menngarang, diantaranya: a) keinginan untuk mengadakan ekspresi, b) kinginan untuk melahirkan bentuk, dan c) keinginan untuk mendidik masyarakat. Dilihat dari tanggung jawabnya, tugas ilmuwa da seniman pad adaarnya sama, yaitu membawa manusia pada tingkat kehidupan yang lebih baik, sbagai tanggung jaawab moral.
6.3 Karya satra: fokalisasi atau sudut pandang
Unsur terpenting dalam karya sastra adalah pengarang sebab tanpa pengarang tidak ada karya, tetapi perlu disadari bahwa teori sastar kontemporer telah menemukan cara-cara baru dalam memahami unsur-unsur secara keseluruhan secara lebih baik. Manfaat sudut pandang yang sangat praktis dapat ditunjukan dslam seni lukis, dimana suatu objek akan menunjukkan kualitas yang berbeda apabila dilihat melalui sisi yang berbeda. Sudut pandanglah yang menentukan kualitas objek sehingga dapat dipahami eksistensinya dalam membangun plot, tema, dan pandangan dunia. Masalah yang sama apabila dilihat melalui sudut pandang yang berbeda akan menghasilakn arid an makna yang berbeda.
Fokalisasi dari kata focus, yang berarti kancah perhatian, perspektif cerita, atau sudut pandang. Menceritakan sesuatu pasti menyangkut fokalisasi. Artinya, menceritakan sesuatu past dilakukan melalui perspektif tertentu sesuai dengan sudut pandang fokalisator. Membedakan antara pencerita dengan fokalisator penting dalam rangka: a) memisahkan hegemoni subjek creator terhadap subjek fiksional, b) menampilkan hakikat intersubjektivitas. Pada dasarnya sudut pandang dibedakan menjadi dua macam, yaitu; a) sudut pandang orang pertama atau sudut pandang berperan serta, dan b) sudut pandang orang ketiga yang disebut juga sudut pandang tidak berperan serta.
6.3 Pemahaman: jenis dan peranan
Menurut Teeuw (1988: 189-193) peranan pembaca secara jelas dikemukakan oleh Mukarovsky dan Vodicka yang dipertegas oleh Jaus (1985). Penelitian didasarkan atas kegagalan sejarah sastra tradisional yang didasarkan atas: a) sejarah sastra universal, sejarah sastra berbagai pelaksanaan kehandak Tuhan, b) sejarah sasatra nasional. Sejarah sastra sebagai milik bangsa, dan c) sejarah sastra yang didasarkan atas rangkaian periode. Atas dasar kegagalan itulah Jausz menyimpulkan sejarah sastra sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan peranan pembaca. Bentuk, fiungsi, dan makna karya sastra tidak tetap, melainkan selalu berubah-ubah, sesuai dengan penerimaan pembaca. Fungsi terpenting dominasi pembaca adalah kemampuannya untuk mengungkapkan kekayan karya sastra.
Pembaca jelas berbeda-beda, baik dari segi usia, jenis kelamin, profesi, kelas social, dan wilayah geografis.karya sasatra dapat mengantisipasi keragaman pembaca tersebut sebab karya sastra terdiri atas berbagai jenis, sedangkan jenisnya pun tidak statis, melainkan selalu berubah-ubah. Menurut Luxemburg, dkk (1984: 76) pembaca dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) pembaca di dalam teks, dan b) pembaca di luar teks.




















BAB VII
Teori dan Metode Penelitan Multidisiplin
Sudah sangat banyak dilakukan penelitian monodisiplin, baik yang sudah dipublikasikan maupun masih tersimpan di berbagai lembaga, khususnya perguruan-perguruan tinggi. Dengan pusat perhatian pada unsur-unsur, sekaligus melepaskan karya dari relevansi masyarakatnya, sturkturalisme mengarahkan penelitian hanya pada aspek-aspek tertentu, seperti: tokoh, tema, plot, gaya bahasa, sudut pandang, dsb. Khasanah sastra secara keseluruhan disebut sebagai sastra nusantara atau sastra di Indonesia.
Keragaman sastra mengimplikasikan keragaman latar belakang social budayanya. Sastrawan, sejarawan, sosiolog, antropolog, dan ilmuan yang lain secara bebas memasuki stiap aspek kehidupan tanpa perlu merasa khawatir akan kehabisan objek kajian. Keragaman sastra, khususnya sebagai perwujudan genre, dengan sendirinya memerlukan bentuk dan cara-cara pemahaman yang juga berbeda. Sampai saat ini, jenis karya sastra yang banyak dianalisis adalah sastra modern, khususnya novel. Karya sattra mengandung aspek-aspek cultural, bukan individual. Benar, karya sastra dihasilkan oleh seorang pengarang, tapi masalah-masalah yang diceritakan adalah masyarakat-masyarakat pada umumnya. Dalam hubungan inilah disebutkan bahwa pengarang adalah wakil masyarakat, pengarang sebagai konstruksi transindividual bukan dirinya sendiri. Keragaman aspek-aspek kebudayaan dapat diungkapkan secara maksimal apabila tersedia cara-cara pemahaman, model-model analisis, dan dengan sendirinya dengan teori metodenya masing-masing.
6.3 Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang berdiri sendiri, sosiologi sastra dianggap baru lahir abad ke 18, ditandai dengan tulisan madame de stael (Albrecht, dkk., eds., 1970:ix;Laurenson dan Swingwood, 19972:25-27)yang berjudul de la literature cinsideree dans ses rapports avec las institusions socielis(1800). Ada tiga indicator tertentu dalam kaitannya dengan lahirnya satu disiplin yang baru diantaranya :
1) Hadirnya sejumlah masalah baru yang menarik dan perlu dipecahkan
2) Adanya metode dan teori yang relevan untuk memecahkannya
3) Adanya pengakuan secara institusonal
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memilik mkaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sbb:
1)      Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
2)      Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3)      Medium karya sastra, baik lisan maupun tertulis, dipinjam melalui kompetisi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
4)      Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-isdiadat, dan ttradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
5)      Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citradirinya dalam suatu karya.
Hubungan karya sastra dengan masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya satra mempunyai tugas penting, baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan, maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala kemasyarakatan. Sebagai multidisiplin, maka ilmu-ilmu yang terlibat dalam sosiologi sastra adalah sastra dan sosiologi. Yang perlu diperhatikkan dalam penelitian sosiologi sastra adalah dominasi karya sastra, sedangkan ilmu-ilmu yang lain berfungsi sebagai pembantu.
Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adlah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarrakat, maka model analisis yang dapat dilakukan meliputi tiga macam, sbb:
1.      Menganalisis masalah-masalah social yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkanya dengan kenyataan yang pernah terjadi.
2.      Sama dengan diatas, tetapi dengan cara menemukan hubungan-hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.
3.      Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu,
6.3 Psikologi Sastra
Pada dasarnya, baik sosiologi sastra dan psikologi sastra, maupun antroopologi sastra, dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis, dalam kaitannya dengan asal-usul karya. Secara definitif, antropologi sastra dengan sendirinya membicarakan karya sastra dalam kaitannya dengan manusia dalam masyarakat, lebih khusus lagi manusia sebagai asal-usul bahasa. Sosiologi sastra pada umumnya, khususnya strukturalisme genettik tidak pernah menganggap asal-usul karya sebagai manifestasi pengarang individual. Psikologi sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah-masalah psikologis praktis. Secara definitif, tujuan psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Ada 3 cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu:
1.      Memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis
2.      Memahami kejiwaan unsure-unsur tokoh fiksional dalam karya sastra
3.      Memahami unsure-unsur kejiwaan pembaca.
Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang kedua, yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya. Psikologi sastra sebagaimana dimaksudkan dalam pembicaraan ini adalah cara-cara penelitian yang dilakukan dengan mennempatkan karya sastra sebagai gejala yang dinamis.


6.3 Antropologi Sastra
Salah satu faktor yang mendorong perkembangan antropologi sastra adalah hakikat manusia sebagaimana dikemukakan oleh Ernest Cassirer (1956:44) manusia sebagai animal symbolicum, yang sekaligus menolak hakikkat manusia sebagai semata-mata animal ratiole. Secara definitif antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia. Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua macam. Yaitu antropologi fisik dan antropologi cultural. Maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi cultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia.
Antropolgi sastra merupakan pendekatan inerdisiplin yang paling baru dalam ilmu sastra. Lahiirnya model pendekatan antropologi sastra dipicu oleh tiga sebab yaitu:
1.      Baik sastra maupun antropologi menanggap bahasa sebagai objek penting
2.      Kedua disiplin mempermasalahkan relevansi manusia budaya
3.      Kedua disiplin juga mempermasalahkan tradisi lisan, khususnya cerita rakyat dan mitos’













BAB VIII
KESIMPULAN
Dalam penelitian ilmu-ilmu humaniora, khususnya ilmu sastra, ada 3 komponen yang terlibat, yaitu: a). Subjek peneliti, b). Obyek penelitian, dan c). Sarana atau peralatan penelitian. Subjek penelitian adalah manusia itu sendiri, dengan kemampuan intelektualitas,fisik,dana dan keseluruhan tanggungjawab psikologis yang diperlukan selama proses penelitian. Obyek penelitian adalah karya sastra,dengan ciri kreativitas imajinatif, terdiri atas bebtuk dan isi. Sarana atau peralatan penelitian adalah seperangkat cara yang digunakan menganalisis, yaitu; teori, metode, teknik dan instrumen.
Kurangnya perhatian terhadap sastra lama jelas menghambat penyebaran aspek – aspek kebudayaan lokal yang terkandung di dalamnya, yang sesungguhnya sangat kaya dengan nilai – nilai. Memberikan perhatian terhadap sastra lama bearti menopang perkembangan visi sastra dan budaya konteporer, membangkitkan kekuatan – kekuatan lokal, bukan dalam pengertian negatif, misalnya, pertentangan etnis, agama dan kelompok yang lain.
Perkembangan positif bidang penelitian sastra adalah perkembangan yang seimbang antar karya sastra di satu pihak dengan teori, teori, kritik, dan sejarah sastra di pihak yang lain. Kedua bidang memiliki ciri – ciri yang bertentangan, faktor yang petama bersifat subyektif imajinatif,sedangkan faktor yang kedua bersifat objektif. Meskipun demikian jelas keduanya saling memerlukan, bahkan tidak mungkin dipisahkan. Kedua sastra berkembang atas dasar perkembangan teori, kritik, dan sejarah sastra, sebaliknya teori,kritik, dan sejarah sastra. Antar hubungan ini perlu dijelaskan dengan pertimbangan bahwa masih banyak pendapat teori, kritiks, dan sejarah tidak perlu, karya sastra dapat berkembang secara mandiri, semata – mata atas dasar kemampuan kreativitas imajinatif
Teori, metode, dan teknik adalah alat, keberhasilan tergantung dari kemampuan orang yang menggunakan alat tersebut. Teori lama mungkin bangkit kembali, yaitu sesudah memperoleh cara pandang dan paradigma yang baru sehingga menjadi teori baru. Setruktualisme kemudian menjadi postruktualisme, semiotika struktualisme menjadi simiotik postruktualisme atau hipersemiotik.
Sama dengan karya sastra,setiap penelitian harus berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh orang lain, penelitian harus orisional. Perbedaan dimungkinkan oleh dua faktor; a) faktor pebedaan objek, b) faktor pebedaan teori dan metode. Teori, metode, dan teknik, bukan semata – mata alat yang pasif,alat dalam pengertian sehari-hari. Selama dimanfaatkan teori menghasilkan energi yang menarik partikel – partikel objek sehingga gejala yang semula stagnasi menjadi bereaksi. Makin canggih sebuah teori,maka makin kuatlah energi yang dihasilkan. Kemampuan tersebut ditunjukan oleh teori mutakhir, yaitu postruktualisme.








                                                                            

4 komentar: