Senin, 22 Juni 2015

KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN (Tugas Landasan Pendidikan)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi sekolah pada umumnya adalah kekerasan guru terhadap siswa yang masih sering terjadi dilingkungan sekolah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF (2006) di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan yang terjadi pada siswa dilakukan oleh guru. Kita tahu bahwa sekolah merupakan tempat siswa menimba ilmu pengetahuan dan seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa. Namun ternyata di beberapa sekolah terjadi kasus kekerasan pada siswa oleh guru. Kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada siswa seperti dilempar penghapus dan penggaris, dijemur di lapangan, dan dipukul. Di samping itu siswa juga mengalami kekerasan psikis dalam bentuk bentakan dan kata makian, Kasus-kasus kekerasan sangat berlawanan dari peran seorang  guru sebagai pendidik, penga­jar, dan pembimbing. Kuriake mengatakan bahwa di Indonesia cukup banyak guru yang menilai cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan siswa. Padahal cara ini bisa menyebabkan trauma psikologis, atau siswa akan menyimpan dendam, makin kebal terhadap hukuman, dan cenderung melampiaskan kemarahan dan agresi terhadap siswa lain yang dianggap lemah. Lingkaran negatif ini jika terus berputar bisa melanggengkan budaya kekerasan di masyarakat. Untuk itu pada kesempatan ini penulis akan membahas mengenai kekerasan pada siswa dan apa yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak yang terkait.
B.     Rumusan masalah
Adapaun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana tinjauan kekerasan dari berbagai landasan ?
2.      Mengapa kekerasan sering terjadi dalam dunia pendidikan?
3.      Bagaimana dampak kekerasan pada siswa?
4.      Bagaimana cara mengatasi kekerasan dalam dunia pendidikan?
C.  Tujuan
Adapun tujuan pada makalah berikut adalah sebagai berikut:
1.      Menjelaskan tinjauan kekerasan dari berbagai landasan
2.      Mengidentifikasi penyebab terjadinya kekerasan pada siswa oleh guru
3.      Menguraikan dampak kekerasan guru terhadap siswa
4.      Menetapkan solusi yang yang tepat untuk mengatasi kekerasan pada siswa
 BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tinjauan Kekerasan  dari Berbagai Landasan
Kekerasan adalah tindakan yang tidak terpuji dan tentunya sangat bertentangan dengan berbagai landasan dalam pendidikan. Berikut paparan mengenai kekerasan bila ditinjau dari berbagai landasan pendidikan di Indonesia:
1.      Tinjauan dari Landasan Hukum Pendidikan
Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan:
ü  Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
ü  Tentang kekerasan fisik, pada pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan sebagai berikut:
§  Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
§  Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
§  Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
§  Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Kemudian yang berkaitan dengan kekerasan seksual:
ü  Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
ü  (UU Perlindungan Anak)
Selanjutnya secara khusus, undang-undang ini bahkan mengamanatkan bahwa anak-anak wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di sekolah.
ü  Pasal 54
Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”
ü  (UU Perlindungan Anak)
Jika melihat undang-undang tersebut, sesungguhnya sudah sangat nyata bahwa tindakan kekerasan terhadap anak merupakan tindakan kriminal yang pelakunya akan diproses secara hukum. Tindakan kekerasan dengan bungkus pendidikan juga dapat mengakibatkan pelaku dikenai tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam pasal 80 UU. No. 23 tahun 2002.
2.      Tinjauan dari Landasan Psikologi Pendidikan
Dampak yang timbul dari efek kekerasan adalah siswa menjadi pendiam atau penyendiri, minder  dan canggung dalam bergaul, tidak mau sekolah, stres atau tegang, sehingga tidak konsentrasi dalam belajar, dan dalam beberapa kasus yang lebih parah dapat mengakibatkan bunuh diri. Kekerasan yang dilakukan oleh guru sangat bertentangan dengan pendapat Freedman (Pidarta, 2007:220) yang menyatakan bahwa guru harus mampu membangkitkan kesan pertama yang positif dan tetap positif untuk hari-hari berikutnya. Sikap dan perilaku guru sangat penting artinya bagi kemauan dan semangat belajar anak-anak. Jadi, hukuman yang dilakukan oleh guru akan menjadi kesan negatif yang berdampak negatif pula dalam proses belajar anak.
3.      Tinjauan dari Landasan Sosial Budaya
Pada landasan sosial budaya, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan hubungan antarindividu, individu dan kelompok dan antarkelompok serta mengembangkan nilai-nilai budaya Indonesia. Namun, hal tersebut hanya menjadi wacana saat kekerasan terjadi dalam pendidikan. Siswa tidak dapat mengembangkan hubungan yang baik antarindividu, individu dan kelompok dan antarkelompok ketika “budaya senioritas” masih melekat di sekolah. Di sisi lain, terkikisnya budaya bangsa yang dikenal dunia dengan sopan santunnya akibat maraknya tindak kekerasan khususnya dalam dunia pendidikan.
B.     Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan
Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu:
1.       Dari Guru
Ada beberapa faktor yang menyebabkan guru melakukan kekerasan pada siswanya, yaitu:
a.       Kurangnya pengetahuan bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku, malah beresiko menimbulkan trauma psikologis dan melukai harga diri siswa.
b.      Persepsi yang parsial dalam menilai siswa. Bagaimana pun juga, setiap anak punya konteks kesejarahan yang tidak bisa dilepaskan dalam setiap kata dan tindakan yang terlihat saat ini, termasuk tindakan siswa yang dianggap “melanggar” batas. Apa yang terlihat di permukaan, merupakan sebuah tanda / sign dari masalah yang tersembunyi di baliknya. Yang terpenting bukan sebatas “menangani” tindakan siswa yang terlihat, tapi mencari tahu apa yang melandasi tindakan / sikap siswa.
c.       Adanya masalah psikologis yang menyebabkan hambatan dalam mengelola emosi hingga guru yang bersangkutan menjadi lebih sensitif dan reaktif.
d.      Adanya tekanan kerja : target yang harus dipenuhi oleh guru, baik dari segi kurikulum, materi maupun prestasi yang harus dicapai siswa didiknya sementara kendala yang dirasakan untuk mencapai hasil yang ideal dan maksimal cukup besar.
e.       Pola authoritarian masih umum digunakan dalam pola pengajaran di Indonesia. Pola authoritarian mengedepankan faktor kepatuhan dan ketaatan pada figure otoritas sehingga pola belajar mengajar bersifat satu arah (dari guru ke murid). Implikasinya, murid kurang punya kesempatan untuk berpendapat dan berekspresi. Dan, pola ini bisa berdampak negatif jika dalam diri sang guru terdapat insecurity yang berusaha di kompensasi lewat penerapan kekuasaan.
f.       Muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan afektif (Rini, 2008). Tidak menutup kemungkinan suasana belajar jadi “kering” dan stressful, dan pihak guru pun kesulitan dalam menciptakan suasana belajar mengajar yang menarik, padahal mereka dituntut mencetak siswa-siswa berprestasi.
2.      Dari siswa
Salah satu factor yang bisa ikut mempengaruhi terjadinya kekerasan, adalah dari sikap siswa tersebut. Sikap siswa tidak bisa dilepaskan dari dimensi psikologis dan kepribadian siswa itu sendiri. Kecenderungan sadomasochism tanpa sadar bisa melandasi interaksi antara siswa dengan pihak guru, teman atau kakak kelas atau adik kelas. Perasaan bahwa dirinya lemah, tidak pandai, tidak berguna, tidak berharga, tidak dicintai, kurang diperhatikan, rasa takut diabaikan, bisa saja membuat seorang siswa clinging pada powerful / authority figure dan malah “memancing” orang tersebut untuk actively responding to his / her need meskipun dengan cara yang tidak sehat. Contohnya, tidak heran jika anak berusaha mencari perhatian dengan bertingkah yang memancing amarah, agresifitas,atau pun hukuman. Tapi, dengan demikian, tujuannya tercapai, yakni mendapat perhatian. Sebaliknya, bisa juga perasaan inferioritas dan tidak berharga di kompensasikan dengan menindas pihak lain yang lebih lemah supaya dirinya merasa hebat.
3.      Dari Keluarga
Kekerasan yang dilakukan baik oleh guru maupun siswa, perlu juga dilihat dari faktor kesejarahan mereka.
a.       Pola Asuh
Anak yang dididik dalam pola asih yang indulgent, highly privilege (orang tua sangat memanjakan anak dan memmenuhi semua keinginan anak), tumbuh dengan lack of internal control and lack of sense of responsibility. Mengapa? Dengan memenuhi semua keinginan dan tuntutan mereka, anak tidak belajar mengendalikan impulse, menyeleksi dan menyusun skala prioritas kebutuhan, dan bahkan tidak belajar mengelola emosi. Ini jadi bahaya karena anak merasa jadi raja dan bisa melakukan apa saja yang ia inginkan dan bahkan menuntut orang lain melakukan keinginannya. Jadi anak akan memaksa orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, dengan cara apapun juga asalkan tujuannya tercapai. Anak juga tak memiliki sense of responsibility karena kemudahan yang ia dapatkan, membuat anak tidak berpikir action-consequences, aksi reaksi, kalau mau sesuatu ya harus berusaha. Anak di sekolah ingin dapat nilai bagus tapi tidak mau belajar, akhirnya mencontek, atau memaksa siswa lain memberi contekan dengan ancaman atau pun bribe .
Orang tua yang emotionally or physically uninvolved, bisa menimbulkan persepsi pada anak bahwa mereka tidak dikehendaki, jelek, bodoh, tidak baik, dsb. Kalau situasi ini tidak sempat diperbaiki, bisa menimbulkan dampak psikologi, yakni munculnya perasaan inferior, rejected, dsb. Unresolved feeling of emotionally – physically rejected, membuat anak memilih untuk jadi bayang-bayang orang lain, clinging to strong identity meskipun sering jadi bahan tertawaan atau hinaan, disuruh-suruh. Atau, anak cenderung menarik diri dari pergaulan, jadi pendiam, pemurung atau penakut hingga memancing pihak aggressor untuk menindas mereka. Sebaliknya, orang tua yang terlalu rigid dan authoritarian, tidak memberikan kesempatan pada anaknya untuk berekspresi, dan lebih banyak mengkritik, membuat anak merasa dirinya “not good enough” person, hingga dalam diri mereka bisa tumbuh inferioritas, dependensi, sikapnya penuh keraguan, tidak percaya diri, rasa takut pada pihak yang lebih kuat, sikap taat dan patuh yang irrasional, dsb. Atau, anak jadi tertekan, karena harus menahan semua gejolak emosi, rasa marah, kecewa, sedih, sakit hati – tanpa ada jalan keluar yang sehat. Lambat laun tekanan emosi itu bisa keluar dalam bentuk agresivitas yang diarahkan pada orang lain.
b.      Orangtua mengalami masalah psikologis
Jika orangtua mengalami masalah psikologis yang berlarut-larut, bisa mempengaruhi pola hubungan dengan anak. Misalnya, orang tua yang stress berkepanjangan, jadi sensitif, kurang sabar dan mudah marah pada anak, atau melampiaskan kekesalan pada anak. Lama kelamaan kondisi ini mempengaruhi kehidupan pribadi anak. Ia bisa kehilangan semangat, daya konsentrasi, jadi sensitif, reaktif, cepat marah, dsb.
c.       Keluarga disfungsional
Keluarga yang mengalami disfungsi punya dampak signifikan terhadap sang anak. Keluarga yang salah satu anggotanya sering memukul, atau menyiksa fisik atau emosi, intimidasi anggota keluarga lain; atau keluarga yang sering konflik terbuka tanpa ada resolusi, atau masalah berkepanjangan yang dialami oleh keluarga hingga menyita energy psikis dan fisik, hingga mempengaruhi interaksi, komunikasi dan bahkan kemampuan belajar, kemampuan kerja beberapa anggota keluarga yang lain. Situasi demikian mempengaruhi kondisi emosi anak dan lebih jauh mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Sering dijumpai siswa “bermasalah”, setelah diteliti ternyata memiliki latar belakang keluarga yang disfungsional.
4.      Dari Lingkungan
Tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan yang terjadi selama ini juga terjadi karena adanya faktor lingkungan, yaitu:
a.       Adanya budaya kekerasan : seseorang melakukan kekerasan karena dirinya berada dalam suatu kelompok yang sangat toleran terhadap tindakan kekerasan. Anak yang tumbuh dalam lingkungan tersebut memandang kekerasan hal yang biasa / wajar.
b.      Mengalami sindrom Stockholm : Sindrom Stockholm merupakan suatu kondisi psikologis dimana antara pihak korban dengan pihak aggressor terbangun hubungan yang positif dan later on korban membantu aggressor mewujudkan keinginan mereka. Contoh, kekerasan yang terjadi ketika mahasiswa senior melakukan kekerasan pada mahasiswa baru pada masa orientasi bersama terjadi karena mahasiswa senior meniru sikap seniornya dulu dan dimasa lalunya juga pernah mengalami kekerasan pada masa orientasi
c.       Tayangan televisi yang banyak berbau kekerasan : Jika seseorang terlalu sering menonton tayangan kekerasan maka akan mengakibatkan dirinya terdorong untuk mengimitasi perilaku kekerasan yang ada di televisi. Sebab, dalam tayangan tersebut menampilkan kekerasan yang diasosiasikan dengan kesuksesan, kekuatan dan kejayaan seseorang. Akibatnya, dalam pola berpikir muncul premis bahwa jika ingin kuat dan ditakuti, pakai jalan kekerasan.

C.    Dampak Kekerasan pada Siswa
Dampak yang akan muncul dari kekerasan akan melahirkan pesimisme dan apatisme dalam sebuah generasi. Selain itu terjadi proses ketakutan dalam diri anak untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif. Kepincangan psikologis ini dapat dilihat pada anak-anak sekolah saat ini yang cenderung pasif dan takut berbicara dimuka kelas, bolos ketika guru galak mengajar. Sedangkan dalam keluarga, anak yang sering diberi hukuman fisik akan mengalami gangguan psikologis dan akan berperilaku lebih banyak diam dan selalu menyendiri selain itu terkadang melakukan kekerasan yang sama terhadap teman main, kekerasan terhadap adik kelas, terjadi senioritas dan kekerasan lain dalam dunia pendidikan.
Kekerasan yang terjadi pada siswa di sekolah dapat mengakibatkan berbagai dampak fisik dan psikis, yaitu:
  • kekerasan secara fisik mengakibatkan organ-organ tubuh siswa mengalami kerusakan seperti memar, luka-luka, dll.
  • trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman, dendam, menurunnya semangat belajar, daya konsentrasi, kreativitas, hilangnya inisiatif, serta daya tahan (mental) siswa, menurunnya rasa percaya diri, inferior, stress, depresi dsb. Dalam jangka panjang, dampak ini bisa terlihat dari penurunan prestasi, perubahan perilaku yang menetap,
  • siswa yang mengalami tindakan kekerasan tanpa ada penanggulangan, bisa saja menarik diri dari lingkungan pergaulan, karena takut, merasa terancam dan merasa tidak bahagia berada diantara teman-temannya. Mereka juga jadi pendiam, sulit berkomunikasi baik dengan guru maupun dengan sesama teman. Bisa jadi mereka jadi sulit mempercayai orang lain, dan semakin menutup diri dari pergaulan.
  • Hukuman fisik biasanya dijalankan oleh guru di bawah kondisi tekanan emosional yang dipicu oleh perilaku murid. Akibat langsung pada pendidik sesudah melaksanakan hukuman fisik yaitu naiknya tekanan darah, disusul dengan turunnya ketegangan emosi. Ini sebenarnya timbul dari kehendaknya sendiri, self reinforced. Si guru akan berkata “Sekarang aku sudah merasa baik lagi”. Situasi ini menuntut kendali-diri pendidik demi kepentingan jangka panjang peserta didik.
  • Murid yang mengalami hukuman fisik akan memakai kekerasan di keluarganya nanti, sehingga siklus kekerasan makin kuat. Gershoff, yang meneliti kasus ini selama 60 tahun sejak 1938, menemukan sejumlah perilaku negatif akibat dari kekerasan, seperti perilaku bermasalah dalam agresi, anti-sosial, dan gangguan kesehatan mental. Kekerasan tidak mengajar murid untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan tidak menghentikan perilaku keliru jika mereka ada di luar pantauan orangtua dan guru.
  • Murid itu, sebagai korban, kehilangan haknya atas pendidikan, dan haknya untuk bebas dari segala bentuk kekerasan fiisik dan mental yang tidak manusiawi. Martabat mereka direndahkan. Pertumbuhan dan perkembangan diri mereka dihambat.


D.    Cara Mengatasi Terjadinya Kekerasan di Dunia Pendidikan Indonesia
1.      Bagi Sekolah
v Menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah
Pendidikan tanpa kekerasan adalah suatu pendidikan yang ditujukan pada anak dengan mengatakan “tidak” pada kekerasan dan menentang segala bentuk kekerasan. Dalam menanamkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah, guru dapat melakukannya dengan menjalin komunikasi yang efektif dengan siswa, mengenali potensi-potensi siswa, menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran, guru memberikan kebebasan pada siswa untuk berkreasi dan guru menghargai siswa sesuai dengan talenta yang dimiliki siswa (Susilowati, 2007).
v Hukuman yang diberikan, berkorelasi dengan tindakan anak. Ada sebab ada akibat, ada kesalahan dan ada konsekuensi tanggung jawabnya.Dengan menerapkan hukuman yang selaras dengan konsekuensi logis tindakan siswa yang dianggap keliru, sudah mencegah pemilihan / tindakan hukuman yang tidak rasional.
v Sekolah terus mengembangkan dan membekali guru baik dengan wawasan / pengetahuan, kesempatan untuk punya pengalaman baru, kesempatan untuk mengembangkan kreativitas mereka. Guru juga membutuhkan aktualisasi diri, tidak hanya dalam bentuk materi, status, dsb. Guru juga senang jika diberi kesempatan untuk menuangkan aspirasi, kreativitas dan mencoba mengembangkan metode pengajaran yang menarik tanpa keluar dari prinsip dan nilai-nilai pendidikan. Selain itu, sekolah juga bisa memberikan pendidikan psikologi pada para guru untuk memahami perkembangan anak serta dinamika kejiwaan secara umum. Dengan pendekatan psikologi, diharapkan guru dapat menemukan cara yang lebih efektif dan sehat untuk menghadapi anak didik.
v Konseling. Bukan hanya siswa yang membutuhkan konseling, tapi guru pun mengalami masa-masa sulit yang membutuhkan dukungan, penguatan, atau pun bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik.
v Segera memberikan pertolongan bagi siapapun yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah, dan menindaklanjuti kasus tersebut dengan cara adekuat.
v Sekolah yang ramah bagi siswa merupakan sekolah yang berbasis pada hak asasi, kondisi belajar mengajar yang efektif dan berfokus pada siswa, dan memfokuskan pada lingkungan yang ramah pada siswa.
2.      Bagi Orangtua atau keluarga
v  Perlu lebih berhati-hati dan penuh pertimbangan dalam memilihkan sekolah untuk anak-anaknya agar tidak mengalami kekerasan di sekolah.
v  Menjalin komunikasi yang efektif dengan guru dan sesama orang tua murid untuk memantau perkembangan anaknya.
v  Orangtua menerapkan pola asuh yang lebih menekankan pada dukungan daripada hukuman, agar anak-anaknya mampu bertanggung jawab secara sosial
v  Hindari tayangan televisi yang tidak mendidik, bahkan mengandung unsur kekerasan. Kekerasan yang ditampilkan dalam film cenderung dikorelasikan dengan heroisme, kehebatan, kekuatan dan kekuasaan.
v  Setiap masalah yang ada, sebaiknya dicari solusi / penyelesaiannya dan jangan sampai berlarut-larut. Kebiasaan menunda persoalan, menghindari konflik, malah membuat masalah jadi berlarut-larut dan menyita energy. Sikap terbuka satu sama lain dan saling mendukung, sangat diperlukan untuk menyelesaikan setiap persoalan dengan baik.
v  Carilah bantuan pihak professional jika persoalan dalam rumah tangga, semakin menimbulkan tekanan hingga menyebabkan salah satu atau beberapa anggota keluarga mengalami hambatan dalam menjalankan kehidupan mereka sehari-hari.
3.      Bagi siswa yang mengalami kekerasan
v  Segera sharing pada orangtua atau guru atau orang yang dapat dipercaya mengenai kekerasan yang dialaminya sehingga siswa tersebut segera mendapatkan pertolongan untuk pemulihan kondisi fisik dan psikisnya.







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Kita tahu bahwa sekolah merupakan tempat siswa menimba ilmu pengetahuan dan seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa. Namun ternyata di beberapa sekolah terjadi kasus kekerasan pada siswa yang dilakukan oleh sesama siswa, guru atau pihak lain di dalam lingkungan sekolah.
            Kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, bukanlah sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam kuat sejak dulu sebelum kemudian akhirnya meledak. Sebagai contoh, masyarakat yang pernah mengenyam dunia pendidikan tentu masih ingat benar dengan istilah MOS (Masa Orientasi Siswa) atau OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus) dengan berbagai nama lainnya. Kedua kegiatan tersebut senantiasa dilakukan setiap tahun untuk menyambut siswa dan mahasiswa baru. Tujuan awalnya adalah untuk memberikan pembekalan, baik materi maupun pengenalan lingkungan sekolah atau kampus kepada siswa maupun mahasiswa baru. Hal ini dianggap penting untuk membantu proses belajar mengajar sebagai kegiatan utama. Sayang, dalam pelaksaannya kedua kegiatan ini justru mengalami penyimpangan tujuan. 
B.     Saran
            Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pihak, baik guru, orang tua dan siswa untuk memahami bahwa kekerasan bukanlah solusi atau aksi yang tepat, namun semakin menambah masalah. Semoga pembahasan ini dapat bermanfaat dan mengurangi terjadinya kekerasan pada siswa. Perlu diingat, bahwa untuk mengatasi masalah ini dibutuhkan kerjasama dari semua pihak.
 DAFTAR PUSTAKA

Susilowati, Pudji. 2010. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Pada Siswa. http://ideguru.wordpress.com/2010/04/25/faktor-faktor-penyebab-kekerasan-pada-siswa/ (diakses tanggal 15 Januari 2015)

Hardianti. 2008. Kekerasan dalam Pendidikan. http://hardianti.blogspot.com/2008/03/kekerasan-dalam pendidikan.html (diakses tanggal 15 Januari 2015)

Hardjasapoetra. 2010. Kekerasan dalam dunia pendidikan. http://hardjasapoetra.blogspot.com/2010/03/kekerasan-dalam-dunia-pendidikan.html (diakses tanggal 15 Januari 2015)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional


Tidak ada komentar:

Posting Komentar