BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Salah
satu permasalahan pendidikan yang dihadapi sekolah pada umumnya adalah
kekerasan guru terhadap siswa yang masih sering terjadi dilingkungan sekolah.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF (2006) di beberapa
daerah di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan yang terjadi pada
siswa dilakukan oleh guru. Kita tahu bahwa sekolah merupakan tempat siswa
menimba ilmu pengetahuan dan seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa.
Namun ternyata di beberapa sekolah terjadi kasus kekerasan pada siswa oleh
guru. Kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada siswa seperti
dilempar penghapus dan penggaris, dijemur di lapangan, dan dipukul. Di samping
itu siswa juga mengalami kekerasan psikis dalam bentuk bentakan dan kata
makian, Kasus-kasus kekerasan sangat berlawanan dari peran seorang guru
sebagai pendidik, pengajar, dan pembimbing. Kuriake mengatakan bahwa di
Indonesia cukup banyak guru yang menilai cara kekerasan masih efektif untuk
mengendalikan siswa. Padahal cara ini bisa menyebabkan trauma psikologis, atau
siswa akan menyimpan dendam, makin kebal terhadap hukuman, dan cenderung
melampiaskan kemarahan dan agresi terhadap siswa lain yang dianggap lemah.
Lingkaran negatif ini jika terus berputar bisa melanggengkan budaya kekerasan
di masyarakat. Untuk itu pada kesempatan ini penulis akan membahas mengenai
kekerasan pada siswa dan apa yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak yang
terkait.
B.
Rumusan
masalah
Adapaun
rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tinjauan kekerasan dari
berbagai landasan ?
2. Mengapa kekerasan sering terjadi
dalam dunia pendidikan?
3. Bagaimana dampak kekerasan pada
siswa?
4. Bagaimana cara mengatasi kekerasan
dalam dunia pendidikan?
C.
Tujuan
Adapun tujuan pada makalah berikut adalah sebagai
berikut:
1. Menjelaskan tinjauan kekerasan dari
berbagai landasan
2. Mengidentifikasi
penyebab terjadinya kekerasan pada siswa oleh guru
3. Menguraikan
dampak kekerasan guru terhadap siswa
4. Menetapkan
solusi yang yang tepat untuk mengatasi kekerasan pada siswa
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan
Kekerasan dari Berbagai Landasan
Kekerasan
adalah tindakan yang tidak terpuji dan tentunya sangat bertentangan dengan
berbagai landasan dalam pendidikan. Berikut paparan mengenai kekerasan bila
ditinjau dari berbagai landasan pendidikan di Indonesia:
1. Tinjauan dari Landasan Hukum
Pendidikan
Kekerasan
dalam pendidikan sangat bertentangan dengan:
ü Pasal 3 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “fungsi
pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”.
ü Tentang kekerasan fisik, pada pasal
80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan sebagai berikut:
§ Setiap orang yang melakukan
kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
§ Dalam hal anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
§ Dalam hal anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
§ Pidana ditambah sepertiga dari
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila
yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Kemudian yang berkaitan dengan kekerasan seksual:
ü Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
ü (UU Perlindungan Anak)
Selanjutnya secara khusus, undang-undang ini bahkan
mengamanatkan bahwa anak-anak wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang
dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di sekolah.
ü Pasal 54
Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi
dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau
teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan
lainnya.”
ü (UU Perlindungan Anak)
Jika melihat undang-undang tersebut, sesungguhnya sudah
sangat nyata bahwa tindakan kekerasan terhadap anak merupakan tindakan kriminal
yang pelakunya akan diproses secara hukum. Tindakan kekerasan dengan bungkus
pendidikan juga dapat mengakibatkan pelaku dikenai tindak pidana, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 80 UU. No. 23 tahun 2002.
2. Tinjauan dari Landasan Psikologi
Pendidikan
Dampak
yang timbul dari efek kekerasan adalah siswa menjadi pendiam atau penyendiri,
minder dan canggung dalam bergaul, tidak mau sekolah, stres atau tegang,
sehingga tidak konsentrasi dalam belajar, dan dalam beberapa kasus yang lebih
parah dapat mengakibatkan bunuh diri. Kekerasan yang dilakukan oleh guru sangat
bertentangan dengan pendapat Freedman (Pidarta, 2007:220) yang menyatakan bahwa
guru harus mampu membangkitkan kesan pertama yang positif dan tetap positif
untuk hari-hari berikutnya. Sikap dan perilaku guru sangat penting artinya bagi
kemauan dan semangat belajar anak-anak. Jadi, hukuman yang dilakukan oleh guru
akan menjadi kesan negatif yang berdampak negatif pula dalam proses belajar
anak.
3. Tinjauan dari Landasan Sosial Budaya
Pada
landasan sosial budaya, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan hubungan
antarindividu, individu dan kelompok dan antarkelompok serta mengembangkan
nilai-nilai budaya Indonesia. Namun, hal tersebut hanya menjadi wacana saat
kekerasan terjadi dalam pendidikan. Siswa tidak dapat mengembangkan hubungan
yang baik antarindividu, individu dan kelompok dan antarkelompok ketika “budaya
senioritas” masih melekat di sekolah. Di sisi lain, terkikisnya budaya bangsa
yang dikenal dunia dengan sopan santunnya akibat maraknya tindak kekerasan
khususnya dalam dunia pendidikan.
B.
Faktor-Faktor
Penyebab Kekerasan Dalam Dunia Pendidikan
Kekerasan yang terjadi dalam dunia
pendidikan dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu:
1. Dari Guru
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
guru melakukan kekerasan pada siswanya, yaitu:
a.
Kurangnya
pengetahuan bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak efektif untuk
memotivasi siswa atau merubah perilaku, malah beresiko menimbulkan trauma
psikologis dan melukai harga diri siswa.
b.
Persepsi
yang parsial dalam menilai siswa. Bagaimana pun juga, setiap anak punya konteks
kesejarahan yang tidak bisa dilepaskan dalam setiap kata dan tindakan yang
terlihat saat ini, termasuk tindakan siswa yang dianggap “melanggar” batas. Apa
yang terlihat di permukaan, merupakan sebuah tanda / sign dari masalah yang
tersembunyi di baliknya. Yang terpenting bukan sebatas “menangani” tindakan
siswa yang terlihat, tapi mencari tahu apa yang melandasi tindakan / sikap
siswa.
c.
Adanya
masalah psikologis yang menyebabkan hambatan dalam mengelola emosi hingga guru
yang bersangkutan
menjadi lebih sensitif dan reaktif.
d.
Adanya
tekanan kerja : target yang harus dipenuhi oleh guru, baik dari segi kurikulum,
materi maupun prestasi yang harus dicapai siswa didiknya sementara kendala yang
dirasakan untuk mencapai hasil yang ideal dan maksimal cukup besar.
e.
Pola
authoritarian masih umum digunakan dalam pola pengajaran di Indonesia. Pola
authoritarian mengedepankan faktor kepatuhan dan ketaatan pada figure otoritas
sehingga pola belajar mengajar bersifat satu arah (dari guru ke murid).
Implikasinya, murid kurang punya kesempatan untuk berpendapat dan berekspresi.
Dan, pola ini bisa berdampak negatif jika dalam diri sang guru terdapat insecurity
yang berusaha di kompensasi lewat penerapan kekuasaan.
f.
Muatan
kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan
kemampuan afektif (Rini, 2008). Tidak menutup kemungkinan suasana belajar jadi
“kering” dan stressful, dan pihak guru pun kesulitan dalam menciptakan suasana
belajar mengajar yang menarik, padahal mereka dituntut mencetak siswa-siswa
berprestasi.
2. Dari siswa
Salah satu factor yang bisa ikut
mempengaruhi terjadinya kekerasan, adalah dari sikap siswa tersebut. Sikap
siswa tidak bisa dilepaskan dari dimensi psikologis dan kepribadian siswa itu
sendiri. Kecenderungan sadomasochism tanpa sadar bisa melandasi
interaksi antara siswa dengan pihak guru, teman atau kakak kelas atau adik
kelas. Perasaan bahwa dirinya lemah, tidak pandai, tidak berguna, tidak
berharga, tidak dicintai, kurang diperhatikan, rasa takut diabaikan, bisa saja
membuat seorang siswa clinging pada powerful / authority figure
dan malah “memancing” orang tersebut untuk actively responding to his / her
need meskipun dengan cara yang tidak sehat. Contohnya, tidak heran jika
anak berusaha mencari perhatian dengan bertingkah yang memancing amarah,
agresifitas,atau pun hukuman. Tapi, dengan demikian, tujuannya tercapai, yakni
mendapat perhatian. Sebaliknya, bisa juga perasaan inferioritas dan tidak
berharga di kompensasikan dengan menindas pihak lain yang lebih lemah supaya
dirinya merasa hebat.
3. Dari
Keluarga
Kekerasan yang dilakukan baik oleh
guru maupun siswa, perlu juga dilihat dari faktor kesejarahan mereka.
a. Pola Asuh
Anak yang dididik dalam pola asih yang indulgent, highly
privilege (orang tua sangat memanjakan anak dan memmenuhi semua keinginan
anak), tumbuh dengan lack of internal control and lack of sense of
responsibility. Mengapa? Dengan memenuhi semua keinginan dan tuntutan
mereka, anak tidak belajar mengendalikan impulse, menyeleksi dan
menyusun skala prioritas kebutuhan, dan bahkan tidak belajar mengelola emosi.
Ini jadi bahaya karena anak merasa jadi raja dan bisa melakukan apa saja yang
ia inginkan dan bahkan menuntut orang lain melakukan keinginannya. Jadi anak
akan memaksa orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, dengan cara apapun juga
asalkan tujuannya tercapai. Anak juga tak memiliki sense of responsibility
karena kemudahan yang ia dapatkan, membuat anak tidak berpikir action-consequences,
aksi reaksi, kalau mau sesuatu ya harus berusaha. Anak di sekolah ingin
dapat nilai bagus tapi tidak mau belajar, akhirnya mencontek, atau memaksa
siswa lain memberi contekan dengan ancaman atau pun bribe .
Orang tua yang emotionally or physically
uninvolved, bisa menimbulkan persepsi pada anak bahwa mereka tidak
dikehendaki, jelek, bodoh, tidak baik, dsb. Kalau situasi ini tidak sempat
diperbaiki, bisa menimbulkan dampak psikologi, yakni munculnya perasaan inferior,
rejected, dsb. Unresolved feeling of emotionally – physically rejected,
membuat anak memilih untuk jadi bayang-bayang orang lain, clinging to
strong identity meskipun sering jadi bahan tertawaan atau hinaan,
disuruh-suruh. Atau, anak cenderung menarik diri dari pergaulan, jadi pendiam,
pemurung atau penakut hingga memancing pihak aggressor untuk menindas
mereka. Sebaliknya, orang tua yang terlalu rigid dan authoritarian,
tidak memberikan kesempatan pada anaknya untuk berekspresi, dan lebih banyak
mengkritik, membuat anak merasa dirinya “not good enough” person, hingga
dalam diri mereka bisa tumbuh inferioritas, dependensi, sikapnya penuh
keraguan, tidak percaya diri, rasa takut pada pihak yang lebih kuat, sikap taat
dan patuh yang irrasional, dsb. Atau, anak jadi tertekan, karena harus menahan
semua gejolak emosi, rasa marah, kecewa, sedih, sakit hati – tanpa ada jalan
keluar yang sehat. Lambat laun tekanan emosi itu bisa keluar dalam bentuk
agresivitas yang diarahkan pada orang lain.
b. Orangtua
mengalami masalah psikologis
Jika orangtua mengalami masalah
psikologis yang berlarut-larut, bisa mempengaruhi pola hubungan dengan anak.
Misalnya, orang tua yang stress berkepanjangan, jadi sensitif, kurang
sabar dan mudah marah pada anak, atau melampiaskan kekesalan pada anak. Lama
kelamaan kondisi ini mempengaruhi kehidupan pribadi anak. Ia bisa kehilangan
semangat, daya konsentrasi, jadi sensitif, reaktif, cepat marah, dsb.
c. Keluarga
disfungsional
Keluarga yang mengalami disfungsi
punya dampak signifikan terhadap sang anak. Keluarga yang salah satu anggotanya
sering memukul, atau menyiksa fisik atau emosi, intimidasi anggota keluarga
lain; atau keluarga yang sering konflik terbuka tanpa ada resolusi, atau
masalah berkepanjangan yang dialami oleh keluarga hingga menyita energy psikis
dan fisik, hingga mempengaruhi interaksi, komunikasi dan bahkan kemampuan
belajar, kemampuan kerja beberapa anggota keluarga yang lain. Situasi demikian
mempengaruhi kondisi emosi anak dan lebih jauh mempengaruhi perkembangan
kepribadiannya. Sering dijumpai siswa “bermasalah”, setelah diteliti ternyata
memiliki latar belakang keluarga yang disfungsional.
4. Dari
Lingkungan
Tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan
yang terjadi selama ini juga terjadi karena adanya faktor lingkungan, yaitu:
a. Adanya budaya kekerasan : seseorang
melakukan kekerasan karena dirinya berada dalam suatu kelompok yang sangat
toleran terhadap tindakan kekerasan. Anak yang tumbuh dalam lingkungan tersebut
memandang kekerasan hal yang biasa / wajar.
b. Mengalami sindrom Stockholm :
Sindrom Stockholm merupakan suatu kondisi psikologis dimana antara pihak korban
dengan pihak aggressor terbangun hubungan yang positif dan later on
korban membantu aggressor mewujudkan keinginan mereka. Contoh, kekerasan
yang terjadi ketika mahasiswa senior melakukan kekerasan pada mahasiswa baru
pada masa orientasi bersama terjadi karena mahasiswa senior meniru sikap
seniornya dulu dan dimasa lalunya juga pernah mengalami kekerasan pada masa
orientasi
c. Tayangan televisi yang banyak berbau
kekerasan : Jika seseorang terlalu sering menonton tayangan kekerasan maka akan
mengakibatkan dirinya terdorong untuk mengimitasi perilaku kekerasan yang ada
di televisi. Sebab, dalam tayangan tersebut menampilkan kekerasan yang
diasosiasikan dengan kesuksesan, kekuatan dan kejayaan seseorang. Akibatnya,
dalam pola berpikir muncul premis bahwa jika ingin kuat dan ditakuti, pakai
jalan kekerasan.
C.
Dampak
Kekerasan pada Siswa
Dampak yang akan muncul dari kekerasan akan melahirkan
pesimisme dan apatisme dalam sebuah generasi. Selain itu terjadi proses
ketakutan dalam diri anak untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif.
Kepincangan psikologis ini dapat dilihat pada anak-anak sekolah saat ini yang
cenderung pasif dan takut berbicara dimuka kelas, bolos ketika guru galak
mengajar. Sedangkan dalam keluarga, anak yang sering diberi hukuman fisik akan
mengalami gangguan psikologis dan akan berperilaku lebih banyak diam dan selalu
menyendiri selain itu terkadang melakukan kekerasan yang sama terhadap teman
main, kekerasan terhadap adik kelas, terjadi senioritas dan kekerasan lain
dalam dunia pendidikan.
Kekerasan yang terjadi pada siswa di sekolah dapat
mengakibatkan berbagai dampak fisik dan psikis, yaitu:
- kekerasan secara fisik mengakibatkan organ-organ tubuh siswa mengalami kerusakan seperti memar, luka-luka, dll.
- trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman, dendam, menurunnya semangat belajar, daya konsentrasi, kreativitas, hilangnya inisiatif, serta daya tahan (mental) siswa, menurunnya rasa percaya diri, inferior, stress, depresi dsb. Dalam jangka panjang, dampak ini bisa terlihat dari penurunan prestasi, perubahan perilaku yang menetap,
- siswa yang mengalami tindakan kekerasan tanpa ada penanggulangan, bisa saja menarik diri dari lingkungan pergaulan, karena takut, merasa terancam dan merasa tidak bahagia berada diantara teman-temannya. Mereka juga jadi pendiam, sulit berkomunikasi baik dengan guru maupun dengan sesama teman. Bisa jadi mereka jadi sulit mempercayai orang lain, dan semakin menutup diri dari pergaulan.
- Hukuman fisik biasanya dijalankan oleh guru di bawah kondisi tekanan emosional yang dipicu oleh perilaku murid. Akibat langsung pada pendidik sesudah melaksanakan hukuman fisik yaitu naiknya tekanan darah, disusul dengan turunnya ketegangan emosi. Ini sebenarnya timbul dari kehendaknya sendiri, self reinforced. Si guru akan berkata “Sekarang aku sudah merasa baik lagi”. Situasi ini menuntut kendali-diri pendidik demi kepentingan jangka panjang peserta didik.
- Murid yang mengalami hukuman fisik akan memakai kekerasan di keluarganya nanti, sehingga siklus kekerasan makin kuat. Gershoff, yang meneliti kasus ini selama 60 tahun sejak 1938, menemukan sejumlah perilaku negatif akibat dari kekerasan, seperti perilaku bermasalah dalam agresi, anti-sosial, dan gangguan kesehatan mental. Kekerasan tidak mengajar murid untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan tidak menghentikan perilaku keliru jika mereka ada di luar pantauan orangtua dan guru.
- Murid itu, sebagai korban, kehilangan haknya atas pendidikan, dan haknya untuk bebas dari segala bentuk kekerasan fiisik dan mental yang tidak manusiawi. Martabat mereka direndahkan. Pertumbuhan dan perkembangan diri mereka dihambat.
D.
Cara Mengatasi
Terjadinya Kekerasan di Dunia Pendidikan Indonesia
1.
Bagi Sekolah
v Menerapkan pendidikan tanpa
kekerasan di sekolah
Pendidikan
tanpa kekerasan adalah suatu pendidikan yang ditujukan pada anak dengan
mengatakan “tidak” pada kekerasan dan menentang segala bentuk kekerasan. Dalam
menanamkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah, guru dapat melakukannya
dengan menjalin komunikasi yang efektif dengan siswa, mengenali potensi-potensi
siswa, menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran, guru memberikan kebebasan
pada siswa untuk berkreasi dan guru menghargai siswa sesuai dengan talenta yang
dimiliki siswa (Susilowati, 2007).
v Hukuman yang diberikan, berkorelasi
dengan tindakan anak. Ada sebab ada akibat, ada kesalahan dan ada konsekuensi
tanggung jawabnya.Dengan menerapkan hukuman yang selaras dengan konsekuensi
logis tindakan siswa yang dianggap keliru, sudah mencegah pemilihan / tindakan
hukuman yang tidak rasional.
v Sekolah terus mengembangkan dan
membekali guru baik dengan wawasan / pengetahuan, kesempatan untuk punya
pengalaman baru, kesempatan untuk mengembangkan kreativitas mereka. Guru juga
membutuhkan aktualisasi diri, tidak hanya dalam bentuk materi, status, dsb.
Guru juga senang jika diberi kesempatan untuk menuangkan aspirasi, kreativitas
dan mencoba mengembangkan metode pengajaran yang menarik tanpa keluar dari
prinsip dan nilai-nilai pendidikan. Selain itu, sekolah juga bisa memberikan
pendidikan psikologi pada para guru untuk memahami perkembangan anak serta
dinamika kejiwaan secara umum. Dengan pendekatan psikologi, diharapkan guru
dapat menemukan cara yang lebih efektif dan sehat untuk menghadapi anak didik.
v Konseling. Bukan hanya siswa yang
membutuhkan konseling, tapi guru pun mengalami masa-masa sulit yang membutuhkan
dukungan, penguatan, atau pun bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang
terbaik.
v Segera memberikan pertolongan bagi
siapapun yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah, dan menindaklanjuti
kasus tersebut dengan cara adekuat.
v Sekolah yang
ramah bagi siswa merupakan sekolah yang berbasis pada hak asasi, kondisi
belajar mengajar yang efektif dan berfokus pada siswa, dan memfokuskan pada
lingkungan yang ramah pada siswa.
2.
Bagi Orangtua atau keluarga
v Perlu lebih berhati-hati dan penuh
pertimbangan dalam memilihkan sekolah untuk anak-anaknya agar tidak mengalami
kekerasan di sekolah.
v Menjalin komunikasi yang efektif
dengan guru dan sesama orang tua murid untuk memantau perkembangan anaknya.
v Orangtua menerapkan pola asuh yang
lebih menekankan pada dukungan daripada hukuman, agar anak-anaknya mampu
bertanggung jawab secara sosial
v Hindari tayangan televisi yang tidak
mendidik, bahkan mengandung unsur kekerasan. Kekerasan yang ditampilkan dalam
film cenderung dikorelasikan dengan heroisme, kehebatan, kekuatan dan
kekuasaan.
v Setiap masalah yang ada, sebaiknya
dicari solusi / penyelesaiannya dan jangan sampai berlarut-larut. Kebiasaan
menunda persoalan, menghindari konflik, malah membuat masalah jadi
berlarut-larut dan menyita energy. Sikap terbuka satu sama lain dan saling
mendukung, sangat diperlukan untuk menyelesaikan setiap persoalan dengan baik.
v Carilah bantuan pihak professional
jika persoalan dalam rumah tangga, semakin menimbulkan tekanan hingga
menyebabkan salah satu atau beberapa anggota keluarga mengalami hambatan dalam
menjalankan kehidupan mereka sehari-hari.
3.
Bagi siswa yang mengalami kekerasan
v Segera sharing
pada orangtua atau guru atau orang yang dapat dipercaya mengenai kekerasan yang
dialaminya sehingga siswa tersebut segera mendapatkan pertolongan untuk
pemulihan kondisi fisik dan psikisnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kita tahu
bahwa sekolah merupakan tempat siswa menimba ilmu pengetahuan dan seharusnya
menjadi tempat yang aman bagi siswa. Namun ternyata di beberapa sekolah terjadi
kasus kekerasan pada siswa yang dilakukan oleh sesama siswa, guru atau pihak
lain di dalam lingkungan sekolah.
Kekerasan dan pelecehan yang terjadi dalam dunia
pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini, bukanlah sesuatu yang muncul dengan
tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam kuat sejak dulu sebelum kemudian
akhirnya meledak. Sebagai contoh, masyarakat yang pernah mengenyam dunia
pendidikan tentu masih ingat benar dengan istilah MOS (Masa Orientasi Siswa)
atau OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus) dengan berbagai nama lainnya. Kedua
kegiatan tersebut senantiasa dilakukan setiap tahun untuk menyambut siswa dan
mahasiswa baru. Tujuan awalnya adalah untuk memberikan pembekalan, baik materi
maupun pengenalan lingkungan sekolah atau kampus kepada siswa maupun mahasiswa
baru. Hal ini dianggap penting untuk membantu proses belajar mengajar sebagai
kegiatan utama. Sayang, dalam pelaksaannya kedua kegiatan ini justru mengalami
penyimpangan tujuan.
B. Saran
Oleh
karena itu, sangat penting bagi semua pihak, baik guru, orang tua dan siswa
untuk memahami bahwa kekerasan bukanlah solusi atau aksi yang tepat, namun
semakin menambah masalah. Semoga pembahasan ini dapat bermanfaat dan mengurangi
terjadinya kekerasan pada siswa. Perlu diingat, bahwa untuk mengatasi masalah
ini dibutuhkan kerjasama dari semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Susilowati, Pudji. 2010. Faktor-Faktor
Penyebab Kekerasan Pada Siswa.
http://ideguru.wordpress.com/2010/04/25/faktor-faktor-penyebab-kekerasan-pada-siswa/ (diakses
tanggal 15 Januari 2015)
Hardianti.
2008. Kekerasan dalam Pendidikan.
http://hardianti.blogspot.com/2008/03/kekerasan-dalam
pendidikan.html (diakses
tanggal 15 Januari 2015)
Hardjasapoetra.
2010. Kekerasan dalam dunia pendidikan.
http://hardjasapoetra.blogspot.com/2010/03/kekerasan-dalam-dunia-pendidikan.html (diakses tanggal 15 Januari 2015)
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar