ANALISIS PENDEKATAN PSIKOANALISIS
DALAM
NOVEL AYAT-AYAT CINTA
KARYA HABIBURRAHMAN EL-SHIRAZY
OLEH : HERIYANTI
A.
Pendekatan Psikoanalisis
Pendekatan psikologi adalah pendekatan yang bertolak dari
asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan
manusia. Manusia senantiasa memperhatikan perilaku yang beragam. Bila ingin
melihat dan mengenal manusia lebih dalam dan lebih jauh diperlukan psikologi.
Di zaman kemajuan teknologi seperti sekarang ini manusia mengalami konflik
kejiwaan yang bemula dari sikap kejiwaan tertentu bermuara pula ke permasalahan
kejiwaan(Semi,1990:76).
Pendekatan psikologi sastra ternyata memiliki beberapa
manfaat dan keunggulan, seperti diungkapkan Semi (1990:80), sebagai berikut:
(1) sangat sesuai untuk mengkaji secara mendalam aspek perwatakan, (2) dengan
pendekatan ini dapat memberi umpan balik kepada penulis tentang masalah
perwatakan yang dikembangkannya, dan (3) sangat membantu dalam menganalisis
karya sastra Surrealis, abstrak, atau absurd dan akhirnya dapat membantu
pembaca memahami karya-karya semacamnya.
Pendekatan psikologi sastra juga dapat dimanfaatkan untuk
beberapa hal. Pertama, untuk memahami aspek kejiwaan pengarang dalam kaitannya
dengan proses kreatif karya sastra yang dihadirkannya. Kedua, untuk
mengeksplorasi segi-segi pemikiran dan kejiwaan tokoh-tokoh utama cerita,
terutam menyangkut alam pikiran bawah sadar.
Psikologi sastra adalah ilmu sastra yang mendekati karya
sastra dari sudut psikologi (Hartoko melalui Endraswara, 2008:70). Dasar konsep
dari psikologi sastra adalah munculnya jalan buntu dalam memahami sebuah karya
sastra, sedangkan pemahaman dari sisi lain dianggap belum bisa mewadahi
tuntutan psikis, oleh karena hal itu muncullah psikologi sastra, yang berfungsi
sebagai jembatan dalam interpretasi. Penelitian psikologi sastra memfokuskan
pada aspek-aspek kejiwaan. Artinya, dengan memusatkan perhatian pada
tokoh-tokoh penelitian dapat mengungkap gejala-gejala psikologis tokoh baik
yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan pengarang. Teori Psikoanalisis dari
Sigmund Freud. Sigmund Freud dianggap sebagai pencetus psikologi sastra, ia
menciptakan teori psikoanalisis yang membuka wacana penelitian psikologi
sastra. Pendekatan psikoanalisis sangat substil dalam hal menemukan berbagai hubungan
antar penanda tekstual (Endraswara, 2008: 199).
Psikoanalisis yang diciptakan Freud terbagi atas beberapa
bagian, yaitu :
a. Struktur Kepribadian
Menurut
Freud kepribadian memiliki tiga unsur penting, yaitu id (aspek biologis), ego
(aspek psikologis), dan superego (aspek sosiologis).
1.
Id
Id merupakan sistem kepribadian yang
paling primitif/dasar yang sudah beroperasi sebelum bayi berhubungan dengan
dunia luar. Id adalah sistem kepribadian yang di dalamnya terdapat faktor –
faktor bawaan (Freud, dalam Koswara, 1991:32). Faktor bawaan ini adalah insting
atau naluri yang dibawa sejak lahir. Naluri yang terdapat dalam diri manuasia
dibedakan menjadi dua, yaitu naluri kehidupan (life instincts) dan naluri
kematian (death insticts).
2.
Ego
Ego adalah aspek psikologis dari
kepribadian yang timbul karena kebutuhan pribadi untuk berhubungan dengan dunia
nyata (Freud, melalui Suryabrata,1993:147). Seperti orang yang lapar harus
berusaha mencari makanan untuk menghilangkan tegangan (rasa lapar) dalam
dirinya. Hal ini berarti seseorang harus dapat membedakan antara khayalan
tentang makanan dan kenyataannya. Hal inilah yang membedakan antara id dan ego.
Dikatakan aspek psikologis karena dalam memainkan peranannya ini, ego
melibatkan fungsi psikologis yang tinggi, yaitu fungsi konektif atau
intelektual. Ego selain sebagai pengarah juga berfungsi sebagai penyeimbang
antara dorongan naluri Id dengan keadaan lingkungan yang ada.
3.
Superego
Menurut Freud, superego adalah aspek
sosiologis dari kepribadian dan merupakan wakil dari nilai–nilai tradisional
atau cita–cita masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan orangtua kepada
anak–anaknya, yang dimaksud dengan berbagai perintah dan larangan. Jadi, bisa
dikatankan superego terbentuk karena adanya fitur yang paling berpengaruh seperti
orang tua. Dengan terbentuknya superego pada individu, maka kontrol terhadap
sikap yang dilakukan orang tua, dalam perkembangan selanjutnya dilakukan oleh
individu sendiri. Superego pada diri individu bisa dikatakan terdiri dari dua
subsistem.
B.
Pembahasan
Ayat-ayat cinta menceritakan perjalanan hidup seorang pria
muslim Indonesia di Mesir dengan berbagai masalah yang dihadapinya. Pemecahan
masalah yang dilakukan tokoh dengan berlandaskan pada syariah islam dan dia
berusaha mempertahankan sikapnya meskipun berbagai tantangan dihadapinya.
Diantaranya udara panas yang menguji dia untuk tetap belajar, godaan cinta
wanita yang menguji dia untuk dapat bergaul secara Islami, fitnah yang hampir menjerumuskannya
ke dalam keputusasaan.
Dari
gambaran tersebut dapat terlihat bahwa sebagai manusia dia memiliki
dorongan-dorongan primitif, namun denagn landasan iman yang kuat dia dapat
bertahan. Secara umum superego yang dia miliki berdasarkan ajaran yang dianut.
Id yang terjadi yang dialami tokoh
dalam novel ini diantaranya ketika dia harus menahan panasnya udara padang
pasir ketika dia harus menahan panasnya udara padang pasir ketika dia akan
berangkat belajar. Meskipun panas matahari menerpa di kota Cairo, Fahri dengan
tekad bulat tetap pergi ke Syikh Utsman untuk talaqqi. Id yang dialami Fahri
adalah dia merasa tidak nyaman dengan cuaca panas, id yang lain adalah perasaan
malas. Hal itu dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut :
“Awal-awal
Agustus memang puncak musim panas. Dalam kondisi sangat tidak nyaman seperti
ini, aku sendiri sebenarnya sangat malas keluar. Ramalan cuaca mengumumkan:
empat puluh satu derajat celcius! Dengan tekad bulat, setelah mengusir segala
rasa aras-arasen aku bersiap untuk keluar. Tepat pukul dua siang aku harus
sudah berada di masjid Abu Bakar Ash-Shidiq yang terletak di Shubra El-Khaima,
ujung utara Cairo, untuk talaqqi pada Syikh Utsman Abdul Fattah” (Hal 16)
Super ego yang dimiliki oleh tokoh
Fahri adalah dia optimis bisa menembus panasnya kota Cairo, karena Syikh Utsman
yang tua saja tidak pernah absen, sedangkan Fahri yang muda dan masih enerjik
pasti bisa hadir. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Insya
Allah tidak akan terjadi apa-pa. Aku sangat tidak enak pada Syaikh Utsman jika
tidak datang. Beliau saja yang sudah berumur tujuh puluh lima tahun selalu
datang. Tepat waktu lagi. Tak kenal cuaca panas atau dingin. Padahal rumah
beliau dari masjid tak kurang dua kilo,” tukasku sambil bergegas masuk kamar kembali,
mengambil topi dan kaca mata hitam.(hal.18)
Ego yang terdapat pada bagian awal
cerita adalah meskipun panas menerpa, Fahri menyempatkan berbincang-bincang di
depan apartemen dengan Maria yang muncul dari jendela kamarnya. Fahri juga
menerima titipan Maria meskipun dia terburu-buru untuk talaqqi kepada Syikh
Utsman. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Kuberhentikan
langkah. Telingaku menangkap ada suara memanggil-manggil namaku dari atas.
Suara yang sudah kukenal. Kupicingkan mataku mencari asal suara. Di tingkat
empat. Tepat di atas kamarku. Seorang gadis Mesir berwajah bersih membuka
jendela kamrnya sambil tersenyum. Matanya yang bening menatapku penuh binar”.
(hal 21-22)
“Seringkali
ia titip sesuatu padaku. Biasanya tidak terlalu merepotkan. Seperti titip
membelikan disket, memfotocopy sesuatu, membelikan tinta print, dan sejenisnya
yang mudah kutunaikan. Banyak toko alat tulis, tempat foto copy dan toko
perlengkapan komputer di Hadayek Helwan. Jika tidak ada di sana, biasanya di Shubra
El-Khaima ada”. (hal 27)
Pada peristiwa berikutnya usai sholat, Fahri bertemu dengan
Syaikh Ahmad yang ramah dan tidak tertutup untuk kaula muda. Biasanya setelah
selesai talaqqi, Fahri langsung pulang menuju metro atau kereta listrik. Di
dalam metro Fahri bertemu seorang pemuda Mesir yang bernama Ashraf. Mereka
sempat saling kenalan dan berbincang-bincang. Di samping itu terdapat seorang
perempuan bercadar. Id yang dimiliki oleh Fahri adalah dia keras kepala untuk
pulang, padahal cuaca pada saat itu sangat panas dan sudah diingatkan oleh
Syaikh Ahmad untuk jangan pulang dulu. Hal itu dapat dilihat pada kutipan
sebagai berikut :
“Masya Allah, semoga Allah menyertai
langkahmu.”
“Amin”,
sahutku pelan sambil melirik jam dinding di atas mihrab.
Waktunya
sudah mepet.
“Syaikh,
saya pamit dulu,” kataku sambil bangkit berdiri. Syaikh Ahmad ikut berdiri.
Kucangklong tas, kupakai topi dan kaca mata. Syaikh Ahmad tersenyum melihat
penampilanku”. (hal.32)
Super ego yang dimiliki oleh Fahri adalah tidak merasa takut
terhadap cuaca yang tidak mendukung. Meskipun Syaikh Ahmad tidak menganjurkan
untuk tidak masuk dan jarak tempuh yang jauh, tetapi bagi Fahri tidak menjadi
masalah. Jadwal belajar harus dia penuhi dan tidak boleh dilanggar, karen kalau
dilanggar dia merasa tidak bisa memegang janji kepada dirinya sendiri. Hal itu
dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut :
“Cuacanya
buruk, sangat panas. Apa tidak sebaiknya istirahat saja? Jarak yang akan kau
tempuh itu tidak dekat. Pikirkan juga kesehatanmu, Akh,” lanjut beliau sambil
meletakkan tangan kanannya di pundak kiriku. “Semestinya memang begitu Syaikh.
Tapi saya harus komitmen dengan jadwal. Jadwal adalah janji. Janji pada diri
sendiri dan janji pada Syaikh Utsman untuk datang.” (hal.31)”
Ego yang terdapat pada bagian ini,
yaitu keyakinan Fahri sirna ketika di hari yang sangat panas, tidak mendapatkan
tempat duduk ada yang kosong, tetapi dengan hati yang ikhlas Fahri menganggap
itu bukanlah keuntungannya atau bukan rizkinya. Maka dia harus berdiri sampai
nantinya mendapatkan tempat duduk. Hal itu dapat dilihat pada kutipan sebagai
berikut :
“Sebuah
metro biru kusam datang…. Aku yakin sekali akan dapat tempat duduk. Dalam cuaca
panas seperti ini pasti penumpang sepi. Begitu sampai di dalam, aku langsung
mengedarkan pandangan mencari tempat duduk. Sayang, semua tempat duduk telah
terisi. Bahkan ada lima penumpang yang berdiri. Sungguh mengherankan, bagaimana
mungkin terjadi? Di hari-hari biasa yang tidak panas saja seringkali ada tempat
duduk kosong”. (hal 33-34)
“Dapat
tempat duduk adalah juga rizki. Jika tidak dapat tempat duduk berarti belum
rizkinya. Aku menggeser diri ke dekat pintu di mana ada kipas angin
berputar-putar di atasnya”. (hal. 34)
Permasalahan yang dia hadapi ketika di kendaraan umum
melihat perlakuan seorang pria muslim terhadap wanita yang kafir yang
mencerminkan ajaran Islam yang damai.
Kehadiran
tiga orang turis asal Amerika membuat suasana di dalam metro mencekam, setelah
orang-orang Mesir tidak terima kehadiran tiga orang turis tersebut dan ketika
perempuan bercadar mempersilahkan perempuan tua dari mereka duduk di tempat
duduknya. Percekcokan tidak terelakkan, meskipun suasana dapat diredakan oleh
Fahri dengan tindakan manusiawi tanpa kekerasan.
Id yang terdapat dalam bagian ini
adalah teman Fahri yang baru dikenalnya di metro, yaitu teman Fahri yang baru
dikenalnya di metro, yaitu Ashraf tidak senang dengan kehadiran tiga bule yang
baru masuk metro. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Ashraf
menoleh ke kanan dan memandang tiga bule itu dengan raut tidak senang.
Tiba-tiba ia berteriak emosi “Ya Amrikaniyyun, Ia natullah alaikuikum!”
(hal.38)
Super Ego yang dimiliki oleh Fahri dalam
bab ini adalah Fahri sangat menyesalkan tindakan teman barunya itu. Seharusnya
seorang muslim tidak pantas mengeluarkan kata makian dan laknat terhadap sesama
manusia meskipun berbeda keyakinan. Untungnya tiga bule itu tidak paham dengan
makian menggunakan bahasa Arab. Hal itu dapat dilihat pada kutipan sebagai
berikut :
“Untung ketiga orang Amerika itu tidak bisa bahasa
Arab. Mereka kelihatannya tidak terpengaruh sama sekali dengan kata-kata yang
diucapkan Ashraf….(hal.39)”
“Tindakan Ashraf melaknat tiga turis Amerika itu
sangat aku sesalkan. Tindakannya jauh dari etika Al-Quran, padahal dia tiap
hari membaca Al-Quran…. (hal.40)”
Ego yang terdapat pada
bagian ini, yaitu Fahri berusaha menenangkan kericuhan yang dilakukan oleh
orang-orang Mesir yang tidak terima atas kehadiran tiga orang turis dan
ketidakterimaan mereka atas kebaikan yang diberikan oleh perempuan bercadar
terhadap salah satu turis. Pada akhirnya orang-orang Mesir itu luluh. Hal itu
tampak dalam kutipan berikut :
“Lelaki setengah baya itu tampak berkaca-kaca. Ia
beristigfar berkali-kali. Lalu mendekati diriku. Memegang kepalaku dengan kedua
tangannya dan mengecup kepalaku sambil berkata “Allah yaftah, alaik, ya
bunayya!” Allah yafta, alaikazakallah khaira!” Ia telah tersentu. Hatinya telah
lembut. (hal.51)”
Menolong
teman perempuan yang mengalami kesulitan belajar.
Rudi, salah satu teman apartemen dan satu kenegaraan dengan Fahri itu sempat
berprasangka buruk terhadap Fahri. Dia curiga bahwa Ashir Ashab pemberian dari
Maria itu merupakan tanda kasih, tetapi Fahri menepis anggapan itu. Fahri
menganggap pemberian itu adalah kewajaran sebagai tetangga dekat dan menjadi
kepala keluarga bagi teman-temannya. Setiap ada keperluan dari tetangganya
pasti Fahri yang dituju, Rudi minta maaf kepada Fah ri karena salah paham atas
anggapan negatif tersebut.
Id yang terdapat dalam
bagian ini adalah udara panas membuat Fahri lupa pesan Maria, sehingga dia
harus pergi dari toko yang satu ke toko yang lainnya untuk mendapatkan pesanan
maria itu, yaitu disket. Hal itu tampak dari kutipan berikut :
“Perjalanan pulang ternyata lebih panas dari
berangkat. Antara pukul setengah empat hingga pukul lima adalah puncak panas
siang itu. Berada di dalam metro rasanya seperti berada dalam ove. Kondisi itu
nyaris membuatku lupa akan titipan Maria. Aku teringat ketika keluar dari
mahattah Hadayek Helwan. Ada dua tokok alat tulis. Kucari di sana. Dua-duanya
kosong. (hal. 58)”.
Super
ego yang dimiliki oleh Fahri dalam bagian ini adalah dia rela mondar-mandir
untuk mendapatkan pesanan Maria, yaitu disket. Fahri rela kembali naik metro ke
tempatnya hanya sekedar mendapatkan peasanan teman terbaiknya itu. Rasa lelah
tidak ia hiraukan. Hal itu dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut :
“Aku melangkah ke Pyramid Com. Sebuah
rental komputer yang biasanya juga menjual disket. Malang! Rental itu ditutup.
Terpaksa aku kembali ke mahattah dan naik metro ke Helwan. Di kota Helwan ada
pasar dan toko-toko cukup besar. Di sana kudapatkan juga disket itu… (hal.
58)”.
Ego
yang terdapat pada bagian ini yaitu Rudi ngotot kalau Fahri ada apa-apa dengan
Maria, karena bagi Rudi tidak wajar pemberian ditujukan ke satu orang, mengapa
bukan untuk semua. Tanggapan Fahri jangan-jangan Rudi yang cemburu, sehingga
Rudi jadi serba salah juga. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Masalahnya ini dari Maria, Mas.
Sepertinya puteri Tuan Boutros itu perhatian sekali sama Mas. Jangan-jangan dia
jatuh hati sama Mas.” “Hus jangan ngomong sembangan! Mereka itu memang tetangga
yang baik. Sejak awal kita tinggal di sini mereka sudah baik sama kita. Bukan
sekali ini mereka memberi sesuatu pada kita.” “Tapi kenapa Maria bilang untuk
Mas. Bukan untuk kita semua?” “Lha ketahuan kan? Kau cemburu, jangan-jangan kau
yang jatuh cinta. Ya udah nanti biar kusampaikan sama Maria dan Tuan Boutros ayahnya,
kalau memberi sesuatu biar yang disebut namamu, hehehe.” “Jangan Mas. Bukan itu
maksudku?” (hal.59)”.
Menolong perempuan yang
dizalimi ayah angkatnya, Setelah datang sms dari teman
Fahri atas kelulusannya untuk melanjutkan mengerjakan tesis, dia dengan
teman-teman syukuran hingga tengah malam, tiba-tiba terdengarlah keributan di
jalan, yaitu Noura dipukuli Bahadur ayahnya. Fahri tidak tega dengan perlakuan
ayahnya itu, sehingga dia menyuruh Maria menghampirinya dan ditanyakan apa
masalahnya. Id yang terdapat dalam bagian ini adalah Fahri dan teman-temannya
dikagetkan oleh jeritan seorang perempuan dan teriakan seorang lelaki yang
memaki-maki perempuan itu. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Di
tengah asyiknya bercengkrama, tiba-tiba kami mendengar suara orang ribut. Suara
lelaki dan perempuan bersumpah serapah berbaur dengan suara jerit dan tangis
seorang perempuan. Suara itu datang dari bawah. Kami ke tepi suthun dan melihat
ke bawah. (hal.73)”
Super
ego yang terdapat dalam bagian ini adalah Fahri merasa kasihan dan tidak tega
dengan nasib perempuan itu. Fahri mengajak Maria untuk menolong perempuan itu.
Hal itu dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut:
“Apa
kau tidak kasihan padanya?”
“Sangat
kasihan.”
“Apa
kau tidak tergerak untuk menolongnya.”
Tergerak.
Tapi itu tidak mungkin.”
“Kenapa?”
“Si
Hitam Bahadur bisa melakukan apa saja. Ayahku tidak mau berurusan dengannya.”
Tidakkah
kau bisa turun dan menyeka air matanya. Kasihan Noura. Dia perlu seseorang yang
menguatkan hatinya.” (hal.75)”
Ego
yang terdapat pada bagian ini yaitu dengan sedikit terpaksa, karena bujukan
Fahri, Maria rela menolong perempuan itu. Rasa khawatir sempat menghantui Maria
atas keluarga perempuan itu. Hal itu tampak dalam kutipan berikut:
“Untuk yang ini jangan paksa aku, Fahri!
Aku tidak bisa!”
“Kumohon, demi rasa cintamu pada
Al-Masih. Kumohon!”
Baiklah, demi cintaku pada Al-Masih akan
kucoba. Tapi kau harus tetap mengawasi dari jendelamu. Jika ada apa-apa kau
harus berbuat sesuatu.” (hal. 76)”.
“Sekarang apa yang kulakukan?”
Tidak bisakah kau ajak dia ke kamarmu?”
“Aku kuatir Bahadur tahu.” (hal.77).”
Fahri
mengabarkan kelulusannya kepada Syaikh Ahmad sekalian menitip Noura kepadanya.
Seharian Fahri beraktifitas sampai-sampai dia demam tinggi. Fahri teringat
ibu-bapaknya yang ada di Indonesia hingga terbawa mimpi. Ketika di perjalanan
National Library, Fahri bertemu penjual boneka yang mendoakan Fahri mendapatkan
istri sholehah, cantik, anak sholeh, dia langsung terharu dan membelinya.
Boneka pnda yang dibelinya itu langsung dititipkan dan diberikan kepada
keponakan Aishah.
Id
yang terdapat dalam bagian ini adalah Fahri menemui Syaikh Ahmad dalam rangka
menyampaikan kabar kalau dia lulus dan rencana penyusunan tesis. Dia juga
bermaksud minta tolong untuk membantu Noura mendapatkan keadilan. Hal itu dapat
dilihat pada kutipan berikut:
“Setelah shalat shubuh aku tidak
langsung pulang, tapi menemui Syaikh Ahmad. Kukabarkan pada beliau kelulusanku
dan rencanaku membuat proposal tesis…. Barulah aku jelaskan padanya kisah
derita Noura panjang lebar dan mendetail seperti yang aku lihat dan aku
ketahui. Beliau menitikkan air mata mendengarnya. (hal.137)”
Super
Ego yang terdapat pada bagian ini adalah Syaikh Ahmad dan istrinya datang ke
asrama mahasiswa Indonesia untuk menjemput Noura. Hal itu dilakukan guna
mengantisipasi terjadinya masalah di sana dan menyelamatkan Noura dari kejaran
ayahnya yang jahat. Di sana sudah ditunggu Nurul. Hal itu dapat dilihat pada
kutipan sebagai berikut:
“Pukul sepuluh lebih sepuluh kami sampai
di kediaman Nurul dan kawan-kawannya yang berada di tingkat enam… Ketika
memeluk Noura, isteri Syaikh Ahmad menjelaskan maksud kedatangan dia dan
isterinya. Semuanya mengerti termasuk Noura. Noura akan dibawa ikut serta ke
kampung halaman Syaikh Ahmad….(hal.3)”.
Ego
yang terdapat dalam bab ini, yaitu Fahri sempat berangan-angan siapa yang akan
menjadi pendamping hidupnya, di antaranya Nurul, Maria, dan Aishah. Hal itu
dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Nurul dan teman-temannya orang jujur
dan amanah….Tiba-tiba aku ingat ledekan si Rudi kemari, jangan-jangan dia
orangnya!.... Congratulation Mas. She is the star, she is the true coise, she
will be a good wife!”. Ah, tidak mungkin! Kutepis jauh-jauh pikiran yang hendak
masuk. Memiliki isteri shalihah adalah dambaan. Tapi….ah, aku ini punguk dan
dia adalah bulan. Aku ini gembel kotor dan dia adalah bidadari tanpa noda…
(hal.140)”.
“….Lalu aku bergurau, “Kebetulan tidak
ada gadis yang mau dekat denganku. Tak ada yang mau mengenalku dan baik
denganku. Yang baik padaku malah Maria. Bagaimana Madame, kalau calonnya
Maria?” (hal.143)”.
“Aisha juga bertanya apakah aku telah
berkeluarga? Setelah selesai master apa yang akan aku kerjakan di Indonesia?
Apakah aku akan melanjutkan S3? Aku menjawab apa yang bisa kujawab…. (143)”.
Menahan
penderitaan selama di penjara. Setelah penangkapan Fahri, dia harus menjalani
hari-harinya di penjara dengan penyiksaan, ditendang, dipukuli, dicambuk sudah
menjadi santapan hariannya. Dia dipaksa untuk mengakui pemerkosaan atas Noura.
Dengan keimanan yang kuat dia tidak gentar berpegang pada agama Allah. Dia tetap
bungkam dan teguh pendirian. Hukuman yang diterimannya semakin menyakitkan.
Dalam keadaan pemukulan yang bertubi-tubi, Fahri masih memikirkan nasib
sitrinya sekarang.
Id
yang terdapat dalam bagian ini adalah Fahri dipaksa untuk mengakui pemerkosaan atas
Noura, yang tidak pernah dia lakukan. Dia dipukuli sampai berdarah-darah dan
bibirnya pecah. Dia sempat kaget dan ditertawai oleh polisi itu ketika berkata
jujur. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut:
“…Seorang polisi hitam besar membentakku
lalu menampar mukaku dengan seluruh kekuatan tangannya. Kurasakan darah
mengalir dari hidungku. “Akui saja, kau yang memperkosa gadis bernama Noura
yang jadi tetanggami di Hadayek Helwan pada jam setengah empat dini hari Kamis
8 Agustus yang lalu? Akui saja, atau kami paksa kau untuk mengaku! Jika kau
mengakuinya maka urusannya akan cepat.” Kata-kata polisi itu membuatku kaget
bukan main. Noura hamil dan aku yang dituduk memperkosanya. Sungguh celaka!
(hal.307-308)”.
“…Tapi penjelasanku dianggap seolah
suara keledai. Mereka malah tertawa. Dan menjadikan aku bulan-bulanan oleh
hinaan, makian dan tamparan yang membuat bibirku pecah. (hal.308)”.
Super
Ego yang terdapat dalam bagian ini adalah Fahri bersikeras tidak mengakui
perbuatan bejat itu. Malah menantang polisi itu untuk dibawa ke meja hijau.
Ketika Fahri dimaki-maki Fahri membalasnya dengan makian, sehingga membuat
salah satu polisi geram dan memukul wajahnya. Hal itu dapat dilihat pada
kutipan berikut:
“…Dan aku tidak mau mati dalam keadaan
mengakui perbuatan biadan yang memang tidak pernah aku lakukan. “Kapten, aku
memilih membuktikan di pengadilan bahwa aku tidak bersalah. Aku yakin negara
ini punya undang-undang dan hukum.
(y)
BalasHapusYg berbentuk makalah ada?
BalasHapus