Sabtu, 25 Oktober 2014

Analisis Pendekeatan Psikoanalisis Novel Ayat-ayat Cinta



ANALISIS PENDEKATAN PSIKOANALISIS DALAM
NOVEL AYAT-AYAT CINTA
KARYA HABIBURRAHMAN EL-SHIRAZY
OLEH : HERIYANTI
A.    Pendekatan Psikoanalisis
Pendekatan psikologi adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia. Manusia senantiasa memperhatikan perilaku yang beragam. Bila ingin melihat dan mengenal manusia lebih dalam dan lebih jauh diperlukan psikologi. Di zaman kemajuan teknologi seperti sekarang ini manusia mengalami konflik kejiwaan yang bemula dari sikap kejiwaan tertentu bermuara pula ke permasalahan kejiwaan(Semi,1990:76).
Pendekatan psikologi sastra ternyata memiliki beberapa manfaat dan keunggulan, seperti diungkapkan Semi (1990:80), sebagai berikut: (1) sangat sesuai untuk mengkaji secara mendalam aspek perwatakan, (2) dengan pendekatan ini dapat memberi umpan balik kepada penulis tentang masalah perwatakan yang dikembangkannya, dan (3) sangat membantu dalam menganalisis karya sastra Surrealis, abstrak, atau absurd dan akhirnya dapat membantu pembaca memahami karya-karya semacamnya.
Pendekatan psikologi sastra juga dapat dimanfaatkan untuk beberapa hal. Pertama, untuk memahami aspek kejiwaan pengarang dalam kaitannya dengan proses kreatif karya sastra yang dihadirkannya. Kedua, untuk mengeksplorasi segi-segi pemikiran dan kejiwaan tokoh-tokoh utama cerita, terutam menyangkut alam pikiran bawah sadar.
Psikologi sastra adalah ilmu sastra yang mendekati karya sastra dari sudut psikologi (Hartoko melalui Endraswara, 2008:70). Dasar konsep dari psikologi sastra adalah munculnya jalan buntu dalam memahami sebuah karya sastra, sedangkan pemahaman dari sisi lain dianggap belum bisa mewadahi tuntutan psikis, oleh karena hal itu muncullah psikologi sastra, yang berfungsi sebagai jembatan dalam interpretasi. Penelitian psikologi sastra memfokuskan pada aspek-aspek kejiwaan. Artinya, dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh penelitian dapat mengungkap gejala-gejala psikologis tokoh baik yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan pengarang. Teori Psikoanalisis dari Sigmund Freud. Sigmund Freud dianggap sebagai pencetus psikologi sastra, ia menciptakan teori psikoanalisis yang membuka wacana penelitian psikologi sastra. Pendekatan psikoanalisis sangat substil dalam hal menemukan berbagai hubungan antar penanda tekstual (Endraswara, 2008: 199).
Psikoanalisis yang diciptakan Freud terbagi atas beberapa bagian, yaitu :
a.       Struktur Kepribadian
Menurut Freud kepribadian memiliki tiga unsur penting, yaitu id (aspek biologis), ego (aspek psikologis), dan superego (aspek sosiologis).
1.      Id
Id merupakan sistem kepribadian yang paling primitif/dasar yang sudah beroperasi sebelum bayi berhubungan dengan dunia luar. Id adalah sistem kepribadian yang di dalamnya terdapat faktor – faktor bawaan (Freud, dalam Koswara, 1991:32). Faktor bawaan ini adalah insting atau naluri yang dibawa sejak lahir. Naluri yang terdapat dalam diri manuasia dibedakan menjadi dua, yaitu naluri kehidupan (life instincts) dan naluri kematian (death insticts).
2.      Ego
Ego adalah aspek psikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan pribadi untuk berhubungan dengan dunia nyata (Freud, melalui Suryabrata,1993:147). Seperti orang yang lapar harus berusaha mencari makanan untuk menghilangkan tegangan (rasa lapar) dalam dirinya. Hal ini berarti seseorang harus dapat membedakan antara khayalan tentang makanan dan kenyataannya. Hal inilah yang membedakan antara id dan ego. Dikatakan aspek psikologis karena dalam memainkan peranannya ini, ego melibatkan fungsi psikologis yang tinggi, yaitu fungsi konektif atau intelektual. Ego selain sebagai pengarah juga berfungsi sebagai penyeimbang antara dorongan naluri Id dengan keadaan lingkungan yang ada.
3.      Superego
Menurut Freud, superego adalah aspek sosiologis dari kepribadian dan merupakan wakil dari nilai–nilai tradisional atau cita–cita masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan orangtua kepada anak–anaknya, yang dimaksud dengan berbagai perintah dan larangan. Jadi, bisa dikatankan superego terbentuk karena adanya fitur yang paling berpengaruh seperti orang tua. Dengan terbentuknya superego pada individu, maka kontrol terhadap sikap yang dilakukan orang tua, dalam perkembangan selanjutnya dilakukan oleh individu sendiri. Superego pada diri individu bisa dikatakan terdiri dari dua subsistem.
B.     Pembahasan
Ayat-ayat cinta menceritakan perjalanan hidup seorang pria muslim Indonesia di Mesir dengan berbagai masalah yang dihadapinya. Pemecahan masalah yang dilakukan tokoh dengan berlandaskan pada syariah islam dan dia berusaha mempertahankan sikapnya meskipun berbagai tantangan dihadapinya. Diantaranya udara panas yang menguji dia untuk tetap belajar, godaan cinta wanita yang menguji dia untuk dapat bergaul secara Islami, fitnah yang hampir menjerumuskannya ke dalam keputusasaan.
Dari gambaran tersebut dapat terlihat bahwa sebagai manusia dia memiliki dorongan-dorongan primitif, namun denagn landasan iman yang kuat dia dapat bertahan. Secara umum superego yang dia miliki berdasarkan ajaran yang dianut.
            Id yang terjadi yang dialami tokoh dalam novel ini diantaranya ketika dia harus menahan panasnya udara padang pasir ketika dia harus menahan panasnya udara padang pasir ketika dia akan berangkat belajar. Meskipun panas matahari menerpa di kota Cairo, Fahri dengan tekad bulat tetap pergi ke Syikh Utsman untuk talaqqi. Id yang dialami Fahri adalah dia merasa tidak nyaman dengan cuaca panas, id yang lain adalah perasaan malas. Hal itu dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut :
“Awal-awal Agustus memang puncak musim panas. Dalam kondisi sangat tidak nyaman seperti ini, aku sendiri sebenarnya sangat malas keluar. Ramalan cuaca mengumumkan: empat puluh satu derajat celcius! Dengan tekad bulat, setelah mengusir segala rasa aras-arasen aku bersiap untuk keluar. Tepat pukul dua siang aku harus sudah berada di masjid Abu Bakar Ash-Shidiq yang terletak di Shubra El-Khaima, ujung utara Cairo, untuk talaqqi pada Syikh Utsman Abdul Fattah” (Hal 16)
            Super ego yang dimiliki oleh tokoh Fahri adalah dia optimis bisa menembus panasnya kota Cairo, karena Syikh Utsman yang tua saja tidak pernah absen, sedangkan Fahri yang muda dan masih enerjik pasti bisa hadir. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Insya Allah tidak akan terjadi apa-pa. Aku sangat tidak enak pada Syaikh Utsman jika tidak datang. Beliau saja yang sudah berumur tujuh puluh lima tahun selalu datang. Tepat waktu lagi. Tak kenal cuaca panas atau dingin. Padahal rumah beliau dari masjid tak kurang dua kilo,” tukasku sambil bergegas masuk kamar kembali, mengambil topi dan kaca mata hitam.(hal.18)

            Ego yang terdapat pada bagian awal cerita adalah meskipun panas menerpa, Fahri menyempatkan berbincang-bincang di depan apartemen dengan Maria yang muncul dari jendela kamarnya. Fahri juga menerima titipan Maria meskipun dia terburu-buru untuk talaqqi kepada Syikh Utsman. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Kuberhentikan langkah. Telingaku menangkap ada suara memanggil-manggil namaku dari atas. Suara yang sudah kukenal. Kupicingkan mataku mencari asal suara. Di tingkat empat. Tepat di atas kamarku. Seorang gadis Mesir berwajah bersih membuka jendela kamrnya sambil tersenyum. Matanya yang bening menatapku penuh binar”. (hal 21-22)
“Seringkali ia titip sesuatu padaku. Biasanya tidak terlalu merepotkan. Seperti titip membelikan disket, memfotocopy sesuatu, membelikan tinta print, dan sejenisnya yang mudah kutunaikan. Banyak toko alat tulis, tempat foto copy dan toko perlengkapan komputer di Hadayek Helwan. Jika tidak ada di sana, biasanya di Shubra El-Khaima ada”. (hal 27)

Pada peristiwa berikutnya usai sholat, Fahri bertemu dengan Syaikh Ahmad yang ramah dan tidak tertutup untuk kaula muda. Biasanya setelah selesai talaqqi, Fahri langsung pulang menuju metro atau kereta listrik. Di dalam metro Fahri bertemu seorang pemuda Mesir yang bernama Ashraf. Mereka sempat saling kenalan dan berbincang-bincang. Di samping itu terdapat seorang perempuan bercadar. Id yang dimiliki oleh Fahri adalah dia keras kepala untuk pulang, padahal cuaca pada saat itu sangat panas dan sudah diingatkan oleh Syaikh Ahmad untuk jangan pulang dulu. Hal itu dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut :
            “Masya Allah, semoga Allah menyertai langkahmu.”
            “Amin”, sahutku pelan sambil melirik jam dinding di atas mihrab.
            Waktunya sudah mepet.
“Syaikh, saya pamit dulu,” kataku sambil bangkit berdiri. Syaikh Ahmad ikut berdiri. Kucangklong tas, kupakai topi dan kaca mata. Syaikh Ahmad tersenyum melihat penampilanku”. (hal.32)

Super ego yang dimiliki oleh Fahri adalah tidak merasa takut terhadap cuaca yang tidak mendukung. Meskipun Syaikh Ahmad tidak menganjurkan untuk tidak masuk dan jarak tempuh yang jauh, tetapi bagi Fahri tidak menjadi masalah. Jadwal belajar harus dia penuhi dan tidak boleh dilanggar, karen kalau dilanggar dia merasa tidak bisa memegang janji kepada dirinya sendiri. Hal itu dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut :
“Cuacanya buruk, sangat panas. Apa tidak sebaiknya istirahat saja? Jarak yang akan kau tempuh itu tidak dekat. Pikirkan juga kesehatanmu, Akh,” lanjut beliau sambil meletakkan tangan kanannya di pundak kiriku. “Semestinya memang begitu Syaikh. Tapi saya harus komitmen dengan jadwal. Jadwal adalah janji. Janji pada diri sendiri dan janji pada Syaikh Utsman untuk datang.” (hal.31)”

            Ego yang terdapat pada bagian ini, yaitu keyakinan Fahri sirna ketika di hari yang sangat panas, tidak mendapatkan tempat duduk ada yang kosong, tetapi dengan hati yang ikhlas Fahri menganggap itu bukanlah keuntungannya atau bukan rizkinya. Maka dia harus berdiri sampai nantinya mendapatkan tempat duduk. Hal itu dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut :
“Sebuah metro biru kusam datang…. Aku yakin sekali akan dapat tempat duduk. Dalam cuaca panas seperti ini pasti penumpang sepi. Begitu sampai di dalam, aku langsung mengedarkan pandangan mencari tempat duduk. Sayang, semua tempat duduk telah terisi. Bahkan ada lima penumpang yang berdiri. Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin terjadi? Di hari-hari biasa yang tidak panas saja seringkali ada tempat duduk kosong”. (hal 33-34)
“Dapat tempat duduk adalah juga rizki. Jika tidak dapat tempat duduk berarti belum rizkinya. Aku menggeser diri ke dekat pintu di mana ada kipas angin berputar-putar di atasnya”. (hal. 34)

Permasalahan yang dia hadapi ketika di kendaraan umum melihat perlakuan seorang pria muslim terhadap wanita yang kafir yang mencerminkan ajaran Islam yang damai.
Kehadiran tiga orang turis asal Amerika membuat suasana di dalam metro mencekam, setelah orang-orang Mesir tidak terima kehadiran tiga orang turis tersebut dan ketika perempuan bercadar mempersilahkan perempuan tua dari mereka duduk di tempat duduknya. Percekcokan tidak terelakkan, meskipun suasana dapat diredakan oleh Fahri dengan tindakan manusiawi tanpa kekerasan.
            Id yang terdapat dalam bagian ini adalah teman Fahri yang baru dikenalnya di metro, yaitu teman Fahri yang baru dikenalnya di metro, yaitu Ashraf tidak senang dengan kehadiran tiga bule yang baru masuk metro. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut :
“Ashraf menoleh ke kanan dan memandang tiga bule itu dengan raut tidak senang. Tiba-tiba ia berteriak emosi “Ya Amrikaniyyun, Ia natullah alaikuikum!” (hal.38)

Super Ego yang dimiliki oleh Fahri dalam bab ini adalah Fahri sangat menyesalkan tindakan teman barunya itu. Seharusnya seorang muslim tidak pantas mengeluarkan kata makian dan laknat terhadap sesama manusia meskipun berbeda keyakinan. Untungnya tiga bule itu tidak paham dengan makian menggunakan bahasa Arab. Hal itu dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut :
“Untung ketiga orang Amerika itu tidak bisa bahasa Arab. Mereka kelihatannya tidak terpengaruh sama sekali dengan kata-kata yang diucapkan Ashraf….(hal.39)”
“Tindakan Ashraf melaknat tiga turis Amerika itu sangat aku sesalkan. Tindakannya jauh dari etika Al-Quran, padahal dia tiap hari membaca Al-Quran…. (hal.40)”

Ego yang terdapat pada bagian ini, yaitu Fahri berusaha menenangkan kericuhan yang dilakukan oleh orang-orang Mesir yang tidak terima atas kehadiran tiga orang turis dan ketidakterimaan mereka atas kebaikan yang diberikan oleh perempuan bercadar terhadap salah satu turis. Pada akhirnya orang-orang Mesir itu luluh. Hal itu tampak dalam kutipan berikut :
“Lelaki setengah baya itu tampak berkaca-kaca. Ia beristigfar berkali-kali. Lalu mendekati diriku. Memegang kepalaku dengan kedua tangannya dan mengecup kepalaku sambil berkata “Allah yaftah, alaik, ya bunayya!” Allah yafta, alaikazakallah khaira!” Ia telah tersentu. Hatinya telah lembut. (hal.51)”

Menolong teman perempuan yang mengalami kesulitan belajar. Rudi, salah satu teman apartemen dan satu kenegaraan dengan Fahri itu sempat berprasangka buruk terhadap Fahri. Dia curiga bahwa Ashir Ashab pemberian dari Maria itu merupakan tanda kasih, tetapi Fahri menepis anggapan itu. Fahri menganggap pemberian itu adalah kewajaran sebagai tetangga dekat dan menjadi kepala keluarga bagi teman-temannya. Setiap ada keperluan dari tetangganya pasti Fahri yang dituju, Rudi minta maaf kepada Fah ri karena salah paham atas anggapan negatif tersebut.
Id yang terdapat dalam bagian ini adalah udara panas membuat Fahri lupa pesan Maria, sehingga dia harus pergi dari toko yang satu ke toko yang lainnya untuk mendapatkan pesanan maria itu, yaitu disket. Hal itu tampak dari kutipan berikut :
Perjalanan pulang ternyata lebih panas dari berangkat. Antara pukul setengah empat hingga pukul lima adalah puncak panas siang itu. Berada di dalam metro rasanya seperti berada dalam ove. Kondisi itu nyaris membuatku lupa akan titipan Maria. Aku teringat ketika keluar dari mahattah Hadayek Helwan. Ada dua tokok alat tulis. Kucari di sana. Dua-duanya kosong. (hal. 58)”.

Super ego yang dimiliki oleh Fahri dalam bagian ini adalah dia rela mondar-mandir untuk mendapatkan pesanan Maria, yaitu disket. Fahri rela kembali naik metro ke tempatnya hanya sekedar mendapatkan peasanan teman terbaiknya itu. Rasa lelah tidak ia hiraukan. Hal itu dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut :
“Aku melangkah ke Pyramid Com. Sebuah rental komputer yang biasanya juga menjual disket. Malang! Rental itu ditutup. Terpaksa aku kembali ke mahattah dan naik metro ke Helwan. Di kota Helwan ada pasar dan toko-toko cukup besar. Di sana kudapatkan juga disket itu… (hal. 58)”.
Ego yang terdapat pada bagian ini yaitu Rudi ngotot kalau Fahri ada apa-apa dengan Maria, karena bagi Rudi tidak wajar pemberian ditujukan ke satu orang, mengapa bukan untuk semua. Tanggapan Fahri jangan-jangan Rudi yang cemburu, sehingga Rudi jadi serba salah juga. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Masalahnya ini dari Maria, Mas. Sepertinya puteri Tuan Boutros itu perhatian sekali sama Mas. Jangan-jangan dia jatuh hati sama Mas.” “Hus jangan ngomong sembangan! Mereka itu memang tetangga yang baik. Sejak awal kita tinggal di sini mereka sudah baik sama kita. Bukan sekali ini mereka memberi sesuatu pada kita.” “Tapi kenapa Maria bilang untuk Mas. Bukan untuk kita semua?” “Lha ketahuan kan? Kau cemburu, jangan-jangan kau yang jatuh cinta. Ya udah nanti biar kusampaikan sama Maria dan Tuan Boutros ayahnya, kalau memberi sesuatu biar yang disebut namamu, hehehe.” “Jangan Mas. Bukan itu maksudku?” (hal.59)”.
Menolong perempuan yang dizalimi ayah angkatnya, Setelah datang sms dari teman Fahri atas kelulusannya untuk melanjutkan mengerjakan tesis, dia dengan teman-teman syukuran hingga tengah malam, tiba-tiba terdengarlah keributan di jalan, yaitu Noura dipukuli Bahadur ayahnya. Fahri tidak tega dengan perlakuan ayahnya itu, sehingga dia menyuruh Maria menghampirinya dan ditanyakan apa masalahnya. Id yang terdapat dalam bagian ini adalah Fahri dan teman-temannya dikagetkan oleh jeritan seorang perempuan dan teriakan seorang lelaki yang memaki-maki perempuan itu. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Di tengah asyiknya bercengkrama, tiba-tiba kami mendengar suara orang ribut. Suara lelaki dan perempuan bersumpah serapah berbaur dengan suara jerit dan tangis seorang perempuan. Suara itu datang dari bawah. Kami ke tepi suthun dan melihat ke bawah. (hal.73)”
Super ego yang terdapat dalam bagian ini adalah Fahri merasa kasihan dan tidak tega dengan nasib perempuan itu. Fahri mengajak Maria untuk menolong perempuan itu. Hal itu dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut:
“Apa kau tidak kasihan padanya?”
“Sangat kasihan.”
“Apa kau tidak tergerak untuk menolongnya.”
Tergerak. Tapi itu tidak mungkin.”
“Kenapa?”
“Si Hitam Bahadur bisa melakukan apa saja. Ayahku tidak mau berurusan dengannya.”
Tidakkah kau bisa turun dan menyeka air matanya. Kasihan Noura. Dia perlu seseorang yang menguatkan hatinya.” (hal.75)”
Ego yang terdapat pada bagian ini yaitu dengan sedikit terpaksa, karena bujukan Fahri, Maria rela menolong perempuan itu. Rasa khawatir sempat menghantui Maria atas keluarga perempuan itu. Hal itu tampak dalam kutipan berikut:
“Untuk yang ini jangan paksa aku, Fahri! Aku tidak bisa!”
“Kumohon, demi rasa cintamu pada Al-Masih. Kumohon!”
Baiklah, demi cintaku pada Al-Masih akan kucoba. Tapi kau harus tetap mengawasi dari jendelamu. Jika ada apa-apa kau harus berbuat sesuatu.” (hal. 76)”.
“Sekarang apa yang kulakukan?”
Tidak bisakah kau ajak dia ke kamarmu?”
“Aku kuatir Bahadur tahu.” (hal.77).”
Fahri mengabarkan kelulusannya kepada Syaikh Ahmad sekalian menitip Noura kepadanya. Seharian Fahri beraktifitas sampai-sampai dia demam tinggi. Fahri teringat ibu-bapaknya yang ada di Indonesia hingga terbawa mimpi. Ketika di perjalanan National Library, Fahri bertemu penjual boneka yang mendoakan Fahri mendapatkan istri sholehah, cantik, anak sholeh, dia langsung terharu dan membelinya. Boneka pnda yang dibelinya itu langsung dititipkan dan diberikan kepada keponakan Aishah.
Id yang terdapat dalam bagian ini adalah Fahri menemui Syaikh Ahmad dalam rangka menyampaikan kabar kalau dia lulus dan rencana penyusunan tesis. Dia juga bermaksud minta tolong untuk membantu Noura mendapatkan keadilan. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Setelah shalat shubuh aku tidak langsung pulang, tapi menemui Syaikh Ahmad. Kukabarkan pada beliau kelulusanku dan rencanaku membuat proposal tesis…. Barulah aku jelaskan padanya kisah derita Noura panjang lebar dan mendetail seperti yang aku lihat dan aku ketahui. Beliau menitikkan air mata mendengarnya. (hal.137)”
Super Ego yang terdapat pada bagian ini adalah Syaikh Ahmad dan istrinya datang ke asrama mahasiswa Indonesia untuk menjemput Noura. Hal itu dilakukan guna mengantisipasi terjadinya masalah di sana dan menyelamatkan Noura dari kejaran ayahnya yang jahat. Di sana sudah ditunggu Nurul. Hal itu dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut:
“Pukul sepuluh lebih sepuluh kami sampai di kediaman Nurul dan kawan-kawannya yang berada di tingkat enam… Ketika memeluk Noura, isteri Syaikh Ahmad menjelaskan maksud kedatangan dia dan isterinya. Semuanya mengerti termasuk Noura. Noura akan dibawa ikut serta ke kampung halaman Syaikh Ahmad….(hal.3)”.
Ego yang terdapat dalam bab ini, yaitu Fahri sempat berangan-angan siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya, di antaranya Nurul, Maria, dan Aishah. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Nurul dan teman-temannya orang jujur dan amanah….Tiba-tiba aku ingat ledekan si Rudi kemari, jangan-jangan dia orangnya!.... Congratulation Mas. She is the star, she is the true coise, she will be a good wife!”. Ah, tidak mungkin! Kutepis jauh-jauh pikiran yang hendak masuk. Memiliki isteri shalihah adalah dambaan. Tapi….ah, aku ini punguk dan dia adalah bulan. Aku ini gembel kotor dan dia adalah bidadari tanpa noda… (hal.140)”.
“….Lalu aku bergurau, “Kebetulan tidak ada gadis yang mau dekat denganku. Tak ada yang mau mengenalku dan baik denganku. Yang baik padaku malah Maria. Bagaimana Madame, kalau calonnya Maria?” (hal.143)”.
“Aisha juga bertanya apakah aku telah berkeluarga? Setelah selesai master apa yang akan aku kerjakan di Indonesia? Apakah aku akan melanjutkan S3? Aku menjawab apa yang bisa kujawab…. (143)”.
Menahan penderitaan selama di penjara. Setelah penangkapan Fahri, dia harus menjalani hari-harinya di penjara dengan penyiksaan, ditendang, dipukuli, dicambuk sudah menjadi santapan hariannya. Dia dipaksa untuk mengakui pemerkosaan atas Noura. Dengan keimanan yang kuat dia tidak gentar berpegang pada agama Allah. Dia tetap bungkam dan teguh pendirian. Hukuman yang diterimannya semakin menyakitkan. Dalam keadaan pemukulan yang bertubi-tubi, Fahri masih memikirkan nasib sitrinya sekarang.
Id yang terdapat dalam bagian ini adalah Fahri dipaksa untuk mengakui pemerkosaan atas Noura, yang tidak pernah dia lakukan. Dia dipukuli sampai berdarah-darah dan bibirnya pecah. Dia sempat kaget dan ditertawai oleh polisi itu ketika berkata jujur. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut:
“…Seorang polisi hitam besar membentakku lalu menampar mukaku dengan seluruh kekuatan tangannya. Kurasakan darah mengalir dari hidungku. “Akui saja, kau yang memperkosa gadis bernama Noura yang jadi tetanggami di Hadayek Helwan pada jam setengah empat dini hari Kamis 8 Agustus yang lalu? Akui saja, atau kami paksa kau untuk mengaku! Jika kau mengakuinya maka urusannya akan cepat.” Kata-kata polisi itu membuatku kaget bukan main. Noura hamil dan aku yang dituduk memperkosanya. Sungguh celaka! (hal.307-308)”.
“…Tapi penjelasanku dianggap seolah suara keledai. Mereka malah tertawa. Dan menjadikan aku bulan-bulanan oleh hinaan, makian dan tamparan yang membuat bibirku pecah. (hal.308)”.
Super Ego yang terdapat dalam bagian ini adalah Fahri bersikeras tidak mengakui perbuatan bejat itu. Malah menantang polisi itu untuk dibawa ke meja hijau. Ketika Fahri dimaki-maki Fahri membalasnya dengan makian, sehingga membuat salah satu polisi geram dan memukul wajahnya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut:
“…Dan aku tidak mau mati dalam keadaan mengakui perbuatan biadan yang memang tidak pernah aku lakukan. “Kapten, aku memilih membuktikan di pengadilan bahwa aku tidak bersalah. Aku yakin negara ini punya undang-undang dan hukum.

2 komentar: