Sabtu, 25 Oktober 2014

Kajian Mimetik pada Novel Tuhan Jangan Pisahkan Kami



ANALISIS KAJIAN MIMETIK DALAM
NOVEL TUHAN JANGAN PISAHKAN KAMI
KARYA DAMIEN DEMATRA
OLEH : HERIYANTI

A.    Pendekatan Mimetik
Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang mengkaji karya sastra berkaitan dengan realitas atau kenyataan. Mimetik dalam bahasa Yunani disebut tiruan. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai imitasi dan realitas. Dalam pendekatan ini, karya sastra merupakan hasil tiruan atau cermin dari kehidupan. Dalam mengkaji sebuah karya sastra dengan menggunakan pendekatan mimetik, dibutuhkan data-data yang berkaitan dengan realitas kehidupan yang ada dalam karya sastra tersebut. Karena pendekatan mimetik menghubungkan karya sastra dengan realitas, maka kemudian muncul anggapan bahwa karya merupakan cerminan dari realitas, sehingga hakikat karya sastra yang bersifat fiktif sering kali dilupakan. Hal ini sangat berbeda dengan makna karya sastra yang merupakan hasil karangan fiktif pengarang. Kajian semacam ini dimulai dari pendapat plato tentang seni. Plato berpendapat bahwa seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang tampak pada dunia nyata. Ia berdiri di bawah kemyataan itu sendiri. Wujud yang ideal tidak bisa terjelma langsung dalam karya seni. Seni yang terbaik lewat mimetik dan benar. Sedangkan menurut Aristoteles, seniman tidak meniru kenyataan, manusia dan peristiwa sebagaimana adanya. Seniman menciptakan dunianya sendiri. Dalam memilih tema cerita, sastrawan harus punya kepekaan terhadap keadaan masyarakat dan zamannya. Sastrawan harus bisa menangkap berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Sangat disayangkan bila karya sastra hanya menggambarkan hal-hal yang indah dan baik, padahal masyarakat sekitarnya dalam kesulitan dan kesusahan. Dalam pandangan mimetik, karya sastra tidak mungkin dapat dipahami tanpa mengkaitkannya dengan semesta sebagai sumber penciptannya.
Novel merupakan salah satu diantara bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan masyarakat. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin pengarang melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan terekam terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya. Sketsa kehidupan yang tergambar dalam novel akan memberi pengalaman baru bagi pembacanya, karena apa yang ada dimasyarakat tidak sama persis deangan apa yang ada dalam karya sastra. Novel Tuhan Jangan Pisahkan Kami adalah salah satu novel yang beredar dimasyarakat Indonesia dan merupakan cerminan dari kehidupan odapus. (orang yang hidup dengan lupus).

B.     Ulasan tentang pengarang
Damien Dematra adalah seorang novelis, penulis skenario, sutradara, produser, dan pelukis. Sebagai penghargaan atas perjuangan para penderita lupus yang dikenalnya, Damien Dematra menulis novel yang diberi judul Tuhan Jangan Pisahkan Kami. Ia mempersembahkan novel ini kepada Tiara Savitri, Ketua Yayasan Lupus Indonesia, dan semua odapus (orang yang hidup dengan lupus) di Indonesia. Harapan mulia Damien karyanya ini bisa mengangkat kesadaran masyarakat tentang penyakit lupus sekaligus memberikan semangat pada penderitanya untuk meyakini bahwa lupus bukanlah akhir dari kehidupan. Menurut pengakuannya, ia tersentuh dan terinspirasi oleh cinta seorang teman kepada istrinya yang meninggal setelah berjuang melawan lupus. Dalam proses kreatifnya, setelah riset selama satu bulan, novel ini bisa diselesaikan dalam waktu empat hari pada akhir tahun 2009, sekaligus dengan skenario filmnya.

C.    Hubungan antara novel Tuhan Jangan Pisahkan Kami dengan dunia nyata
Novel Tuhan Jangan Pisahkan Kami sangat lekat sekali dengan kehidupan nyata. Pada bagian awal cerita dikisahkan bahwa Tokoh Zahir hidup di kota metropolitan yang bersifat individualis antara satu dengan yang lainnya. Layaknya seperti di kehidupan nyata bahwa kehidupan di perkotaan bersifat individualis dan di kawasan-kawasan elit yang bangunannya dibuat saling terpisah satu dengan yang lainnya sehingga tidak tercipta keakraban dengan tetangga sekitar. Hal tersebut terdapat dalam kutipan :
“Rumah indah itu terletak di kawasan elit yang bangunan-bangunannya terpisah jauh dan tidak memiliki sedikit pun tanda-tanda keakraban. Sesuatu yang wajar di Kota Jakarta yang serrba Individualistis.” (Dematra, 2010 : 1)
Dengan kehidupan tersebut anak-anak kadang tumbuh dalam sebuah keluarga yang serba individualis dan orang tua yang sibuk sehingga sangat rentan konflik dalam keluarga. Konflik keluarga yang timbul biasanya menyebabkan orang tua bertengkar tanpa mempedulikan psikologis anak-anaknya. Hal tersebut tampak dalam kutipan :
“Bunyi benda pecah dari arah bawah itu terdengar sangat kencang. Zahir Amar, yang sedang berada dalam kamarnya, menghela napas kesal. Ia berusaha menyembunyikan wajahnya dalam bantal yang empuk. Ia baru pulang pukul tiga pagi dan sekarang… ia melirik jam wekwr di sebelah tempat tidur. Pukul delapan pagi. Mereka yang bertengkar sepertinya tidak mengenal istirahat dan waktu. Kapan pun hati merasa ingin diluapkan, amarah dimuntahkan, kapan pun hasrat ingin dipuaskan, amarah disemburkan. Tidak peduli tempat, tidak peduli ada yang merasa keberatan.” (Dematra, 2010: 1)
Kebahagiaan dalam hidup tak bisa diukur dengan melihat tampilan luarnya saja, kehidupan mewah dan keluarga yang masih lengkap kadang-kadang tidak menjadi jaminan sebuah keluarga itu bahagia. Hal ini juga tampak dalam kutipan :
“Keluarga gue masih lengkap….tapi gue nggak ngerasa punya keluarga…” Jawab Zahir. “Papa Mama gue demen banget berantem. Tiap hari, pasti…. Ribut aja. Pecahin inilah, pecahin itulah…”(Dematra, 2010 : 61)
Selanjutnya realitas yang terjadi di kehidupan nyata adalah pemuda yang tampan dan kaya raya selalu diganrungi oleh perempuan-perempuan. Hal ini juga seperti  tampak dalam kutipan di novel :
“Andaikata ia tidak membawa mobil hitam sport mengkilap yang sekarang sedang dipakainya, dan tidak memiliki credit card yang nyaris tanpa batas, ia mungkin tidak akan digandrungi oleh begitu banyak wanita. Ia yakin akan hal itu.”(Dematra, 2010 : 22)
Dalam kehidupan nyata seringkali kita putus asa saat masalah bertubi-tubi datang dalam kehidupan. Termasuk saat divonis menderita penyakit seperti lupus. Biasanya merasa ingin bunuh diri dan mati saja sehingga bebas dari semua permasalahan.  dan hal ini tampak pula dalam kutipan novel :
Prasasti ingin bunuh diri saja. Ia tidak lagi merasa menjadi manusia. Semua ini terlalu berat baginya. Ia berada dalam sebuah pertandingan melawan sesuatu yang tidak dikenalnya. Prasasti berteriak sekuat yang dapat dilakukannya. Suaranya lemah dan kerongkongannya sakit. Bahkan untuk menyuarakan sakitnya pun…. Ia sudah tidak sanggup. Dan kondisinya makin parah.” (Dematra, 2010: 101)
Dalam kehidupan ini kadang-kadang seseorang tidak menyadari kalau terkena penyakit tertentu padahal tanda-tanda dalam tubuhnya sudah nampak. Penyakit lupus adalah salah satu penyakit yang sulit dikenali karena biasanya mirip dengan penyakit lain. Ciri-ciri odapus diantaranya, ruam di pipi, ngilu di persendian dan rambut rontok, kulit seperti terbakar. Hal ini tampak juga di kutipan
                “Matahari bersinar terik, dan prasasti merasa kulitnya bagai terbakar” (Dematra, 2010 : 69)
“Kepalanya semakin pusing dan tubuhnya sakit. Sesuatu dalam tubuhnya berteriak kesakitan, namun Prasasti tidak ingin mendengarnya. Teriakan itu semakin keras, tubuhnya semakin sakit, dan metabolismenya semakin tidak seimbang”.(Dematra, 2010 : 71)
Dalam kehidupan odapus (orang yang menderita lupus) serangan tiba-tiba datang saat penderita mengalami stress. Hal ini tampak pula dalam kutipan :
“Dia kena serangan. Kamu tahu, mereka yang terkena lupus ngga boleh stress atau tertekan! Sang suster agak marah. Aku panggil kamu supaya kamu bisa menghibur dia, bukan bikin dia tambah stress! (Dematra, 2010: 135)
Odapus (orang yang menderita lupus) apabila mampu berdamai dengan keadaannya dan menikmati kehidupan dengan baik dan memanage stressnya dengan baik maka akan bisa hidup layaknya orang yang sehat. Hal itu juga tergambar di kutipan :
“Sekilas, ia melirik penampilannya di cermin dan tersenyum. Betapa kuatnya pengaruh hati yang bahagia terhadap fisiknya. Ia terlihat sehat.” (Dematra, 2010 : 199)
Seseorang yang pernah mengalami hal-hal sulit dalam hidupnya sebagai odapus sangat paham dengan kondisi orang yang baru terkena lupus. Odapus yang biasanya remisi (istilah untuk odapus yang sudah berhenti mengkonsumsi obat) atau odapus yang sudah mampu berdamai dengan penyakitnya akan memilih menjadi pendamping buat odapus baru serta bergabung dengan yayasan yang bergerak untuk membantu penderita lupus lainnya. Hal ini pula yang dilakukan oleh tokoh prasasti dalam novel. Ini tampak dalam kutipan berikut :
“um….aku….aku ngg mau duduk diem di rumah aja. Aku mau ngebantuin yayasan, nolongin sesama temen aku yang lupus Pa.”(Dematra, 2010:211)
“Prasasti telah memiliki sebuah jaringan pertemanan dan mengisi rubrik tentang penyakit lupus secara teratur di internet. Selain itu, ia juga bergabung dengan yayasan Titania yang memiliki banyak program untuk sesama odapus, namun kekurangan tenaga. Tidak banyak mereka yang mengetahui tentang penyakit lupus, apalagi mempedulikannya, dan Prasasti ingin mengubah paradigma itu.” (Dematra, 2010 : 213)

SINOPSIS NOVEL
TUHAN JANGAN PISAHKAN KAMI

Prasasti Alanis seorang anak yatim piatu yang bekerja sebagai penyobek tiket masuk Planetarium dan Bioskop itu menyukai anak kecil serta berpenampilan sederhana, namun tetap anggun, menawan, dan keras kepala. Sasti memiliki catatan masa lalu yang bisa dibilang tidak sebahagia orang lain. Kehidupannya baik-baik saja, tetapi di suatu saat ia dihadapkan pada masa-masa sulit. Pertemuan Sasti dengan Zahir –laki-laki yang sangat ia cintai- bermula ketika Zahir menjemput adik laki-lakinya, Kersen di Planetarium tempat bekerja Sasti. Zahir sendiri adalah laki-laki yang gagah, tampan, tidak suka pada kemunafikan, tidak mengerti dirinya sendiri, sempurna dimata wanita dan digilai oleh banyak wanita. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Sasti dan mencintainya dengan tulus.
Selama ini Sasti merasa sehat dan baik-baik saja, namun setelah pertemuannya dengan Zahir ia menyadari bahwa ia merasa sangat lelah dan ia pun pingsan didalam bioskop. Sasti mendapat tawaran untuk menjadi model di kelas lukis dengan imbalan akan mendapat uang saku tambahan. Disanalah ia bertemu kembali dengan Zahir. Namun, di hari selanjutnya barulah Sasti dan Zahir berkenalan.
Suatu hari Sasti tidak bekerja, bahkan keluar kamar. Ia merasa seluruh persendiannya terasa ngilu dan sangat lelah. Zahir pun menjenguknya dengan membawa setangkai mawar merah dan dua kotak pizza. Sasti tau ada sesuatu sedang terjadi dengan dirinya, karena ia melihat rambutnya banyak yang rontok. Zahir meminta Sasti untuk menjadi model lukisnya –bukan di kelas lukis-, namun kala itu matahari bersinar dengan teriknya dan dalam tubuh Sasti seperti ada yang berteriak kesakitan, semakin sakit, Sasti pun pingsan. Zahir membawanya ke Rumah Sakit. Ketika bertemu dengan Dokter Asmawa, Zahir ingin apapun tes laboratorium yang dibutuhkan oleh Sasti dilakukan. Sasti diperbolehkan pulang.
Sasti beristirahat, namun ia terpekik saat melihat dirinya di cermin. Pipi, leher, bahu, dan punggungnya terlihat ada ruam merah dan rambutnya rontok seperti sebelumnya. saat itulah Sasti merasa sesuatu sedang terjadi pada dirinya.
10 hari kemudian Dokter Adam dan Dokter Asmawa membicarakn penyakit yang diderita oleh Sasti. Saat Sasti tahu bahwa ada perubahan dalam dirinya, ia merasa segala sesuatunya sudah tak penting lagi dan ia hanya menunggu kematian. Sasti ingin bunuh diri. Semua terlalu berat baginya. Kedua Dokter tadi masuk untuk memberi tahu Sasti apa yang sedang ia alami dan memberinya sebuah harapan baru. Dan disitulah Sasti tahu bahwa dirinya mengidap Lupus.
Rambut Sasti mulai rontok hari demi hari. Suster Susana memberinya penutup rambut bermotif bunga. Sangat cantik. Suster Susana tak ingin Sasti tahu bahwa yang memberikan itu adalah Zahir. Salman menjenguk Sasti. Salman sangat mencitai Sasti dan akan terus menunggunya. Dua bulan berada di rumah sakit, Sasti diperbolehkan pulang. Kersen menjenguk Sasti, membawakannya setangkai mawar merah. Kersen tidak menyukai Salman. Ketika pria itu datang, Kersen berpamitan. Salman mengajak Sasti untuk makan malam. Namun, Salman membuat suasana memburuk. Ia membahas tentang kedekatan Sasti dengan Zahir dan Kersen. Ya, mereka tidak jadi makan malam dan pulang masing-masing. Saat Sasti tiba di kamar kosnya ada sepucuk surat dari Salman. Setelah membaca isi surat itu, Sasti kembali pingsan. Dan yang membawanya ke rumah sakit bukanlah Salman, melainkan Rahman. Rahman menjaga Sasti hingga sadar dari pingsannya. Sasti melihat kehadiran Salman disisi Rahman dan ia tersenyum penuh kasih kepada Sasti. Rahman tidak sanggup menceritakan kepada Sasti apa yang sebenarnya terjadi, namun akhirnya ia memberi tahu Sasti. Salman telah meninggal 2 hari yang lalu -setelah koma selama 2 hari- saat mereka bertemu untuk makan malam. Salman menitipkan permohonan ma’af untuk Sasti dan ia marah karena ia sayang pada Sasti. Dalam saku celananya, ada sebuah kotak cincin. Dan cincinnya sedang Salman kenakan saat ia mengalami kecelakaan. Sasti tidak sanggup mendengar semua itu, ia kembali pingsan.
Sasti terkena serangan saat Zahir menjenguknya. Suster Susana memberikan sebuah kartu nama untuk Zahir dan berharap Zahir dapat melakukan research untuk hubungannya dirinya dan Sasti. Dari situlah ia tahu bahwa Suster Susana juga seorang Odapus –orang dengan lupus-. Zahir bercerita kepada sahabatnya ketika menuntut ilmu di New York, Karjono namanya. Zahir sudah tahu apa yang akan ia lakukan. Meskipun Karjono tidak habis fikir, namun Zahir tetap akan meninggalkan dunianya yang selama ini penuh dengan ke-glamour-an dan hip-hip hura. Namun Pramana Widogdo tidak menyukai kedekatan Zahir dan Sasti. Ia meminta Zahir untuk membawa Sasti dalam acara pesta klub golf di akhir minggu.
Saat yang dinanti pun tiba. Akhir minggu. Zahir membawa Sasti ke rumahnya, namun apa yang terjadi? Sasti melihat ada seorang laki-laki yang dulu memiliki cerita dengan mendiang ibunya, Karina Maharani. Ya dia adalah Aditya Arjuna. Pramana ingin tahu siapa orang yang sedang diperhatikan oleh Aditya. Ia terpekik pada seseorang yang berdiri disisi Zahir. Sasti semakin mempererat pegangan tangannya pada Zahir. Sasti sadar Pramana sedang melihat kalung yang ia kenakan. Kalung itu adalah peninggalan ibunya. Kalung yang berliontinkan cincin itu akan membawa Sasti untuk bertemu siapa ayah kandungnya yang telah meninggalkan dirinya dan mendiang ibunya saat itu. Pramana mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa Karina Maharani adalah istrinya yang dulu hilang. Mendengar semua itu Sasti pingsan.
Sasti dibawa ke Rumah Sakit dan ia pingsan sangat lama. Dokter Asmawa datang menghampiri Pramana dan menanyakan apa hubungan antara dirinya dengan Zahir. Pramana pun melakukan tes DNA, begitu juga Zahir dan Sasti. Hal itu ia lakukan untuk membuktikan kebenarannya. Dalam keterpurukan, Titania mendampingi Sasti dan memberikan semangat hidup untuknya. Dari peristiwa malam itu di pesta, terungkaplah cerita masa lalu antara 3 orang sahabat kecil antara Karina Maharani, Pramana Widogdo, dan Aditya Arjuna. Pramana dan Karina saling mencintai, namun Aditya juga mencintai Karina. Pramana berubah. Ia mabuk dan selalu memukuli istrinya -Karina- dan ia menyadari bahwa dirinya sangat mencintai Karina saat ia telah pergi meninggalkannya. Saat Karina jatuh, Aditya datang mengisi hidupnya. Dan menjermuskannya dalam lubang hitam obat-obatan. Hingga ajal datang padanya. Sekarang buah cinta dari Aditya Arjuna dan Aryanti Amanda –yang sekarang menjadi istri Pramana-, yaitu Zahir telah menjalin kasih dengan Sasti –buah cinta dari pernikahan Pramana dan Karina-. Aditya menganggap hal itu adalah sebuah kado untuk Karina.
Sasti banyak belajar dari apa yang telah dialaminya selama ini. Ia mengidap lupus dan Salman meninggalkannya untuk selamanya. “Aku tidak ingin menghabiskan hidupku dalam kebencian sia-sia.” Dan Sasti tidak akan berdiam diri karena penyakit yang dideritanya. Sasti ingin membantu yayasan penderita odapus lainnya. Saat Sasti jatuh bangun, Suster Susana dan Titania lah yang setia menemaninya, mendengarkan segala keluh kesahnya,dan memberikannya semangat untuk menjalani hidup. Dan kini ia melakukan apa yang dulu dilakukan oleh Suster Susana dan Titania terhadapnya. Sasti juga ingin ikut tes UMPTN untuk dapat melanjutkan kuliahnya dan meraih cita-citanya menjadi seorang penulis.
Sasti sangat aktif. Ia memulai kegiatannya di kelas Inggris dan belajar sendiri. Ia cepat berkembang. Ia juga menulis cerpen untuk menguatkan sesama penderita lupus, membuat celengan di internet untuk siapa saja yang bersedia membantu, dan mengelola website profesional. Sasti merasa tubuhnya mengirimkan signal yang sulit dipahami dan juga demam. Sasti terkena serangan –lagi-. Untuk kesekian kalinya Sasti dibawa ke rumah sakit, namun kali ini Dokter Asmawa –dokter yang selama ini menangani Sasti- mengatakan bahwa ada Lesion dalam otak Sasti. Kemungkinan adalah karena tumor ganas atau peradangan. Pramana gontai dan dalam do’anya ia berucap, “Tuhan.. Jangan Pisahkan Kami.” Berbagai macam tes dilakukan terhadap Sasti. Jika tumor ganas harus di chemoteraphy, tetapi jika tidak ganas dilakukan operasi untuk mengangkat bagian tersebut. Lesion tersebut terletak dekat organ vital dan operasi dapat menyebabkan kelumpuhan, koma, atau meninggal dunia. Pramana, Zahir, dan Kersen sangat takut kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Dalam do’anya, Kersen  bergumam, “Tuhan.. Jangan Pisahkan Kami.” Mereka menunggu selama 10 jam. Akhirnya Dokter Bertran –sang ahli bedah- memberitahu bahwa operasi yang dilakukan terhadap Sasti berhasil dan harus menunggu selama 3×24 jam untuk melihat hasilnya.
Pramana, Zahir, dan Keren telah menyiapkan hadiah untuk Sasti. Mereka tidak memberitahukannya pada Sasti karena ingin Sasti melihatnya sendiri. Tiba di halaman panggung yang besar, Sasti melihat teman sesama penderita lupus dan ada musisi “DEBU” –musisi yang sangat disukai Sasti-. Disanalah Zahir melamar Sasti untuk menjadi pendamping seumur hidupnya.
“Aku tidak tahu, sampai berapa lama aku akan hidup, tapi aku tahu pasti, berapa lama pun waktu yang dianugerahkan padaku, aku ingin menghabiskannya denganmu, Zahir. Dan aku akan terus berjuang untuk teman-temanku. Untuk membagi arti dalam hidup, bagaimanapun keadaanku dan keadaan mereka.”
“Tidak harus melibatkan kepalan tangan, jika kau menyadari begitu singkatnya hidup ini.”
Untuk mengingat mereka yang telah pergi, “Untuk kita semua. Untuk kehidupan.”

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar