ANALISIS KAJIAN MIMETIK DALAM
NOVEL TUHAN JANGAN PISAHKAN KAMI
KARYA DAMIEN DEMATRA
OLEH : HERIYANTI
A.
Pendekatan
Mimetik
Pendekatan
mimetik adalah pendekatan yang mengkaji karya sastra berkaitan dengan realitas
atau kenyataan. Mimetik dalam bahasa Yunani disebut tiruan. Pendekatan ini
memandang karya sastra sebagai imitasi dan realitas. Dalam pendekatan ini,
karya sastra merupakan hasil tiruan atau cermin dari kehidupan. Dalam mengkaji
sebuah karya sastra dengan menggunakan pendekatan mimetik, dibutuhkan data-data
yang berkaitan dengan realitas kehidupan yang ada dalam karya sastra tersebut. Karena pendekatan mimetik menghubungkan karya
sastra dengan realitas, maka kemudian muncul anggapan bahwa karya merupakan
cerminan dari realitas, sehingga hakikat karya sastra yang bersifat fiktif
sering kali dilupakan. Hal ini sangat berbeda dengan makna karya sastra yang
merupakan hasil karangan fiktif pengarang. Kajian
semacam ini dimulai dari pendapat plato tentang seni. Plato berpendapat bahwa
seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang tampak pada dunia nyata.
Ia berdiri di bawah kemyataan itu sendiri. Wujud yang ideal tidak bisa terjelma
langsung dalam karya seni. Seni yang terbaik lewat mimetik dan benar. Sedangkan
menurut Aristoteles, seniman tidak meniru kenyataan, manusia dan peristiwa
sebagaimana adanya. Seniman menciptakan dunianya sendiri. Dalam memilih tema
cerita, sastrawan harus punya kepekaan terhadap keadaan masyarakat dan
zamannya. Sastrawan harus bisa menangkap berbagai persoalan yang sedang
dihadapi oleh masyarakat. Sangat disayangkan bila karya sastra hanya
menggambarkan hal-hal yang indah dan baik, padahal masyarakat sekitarnya dalam
kesulitan dan kesusahan. Dalam
pandangan mimetik, karya sastra tidak mungkin dapat dipahami tanpa
mengkaitkannya dengan semesta sebagai sumber penciptannya.
Novel merupakan salah satu diantara bentuk
sastra yang paling peka terhadap cerminan masyarakat. Ruang lingkup novel
sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang
dijalin pengarang melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan terekam
terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya. Sketsa
kehidupan yang tergambar dalam novel akan memberi pengalaman baru bagi
pembacanya, karena apa yang ada dimasyarakat tidak sama persis deangan apa yang
ada dalam karya sastra. Novel Tuhan Jangan Pisahkan Kami adalah salah satu
novel yang beredar dimasyarakat Indonesia dan merupakan cerminan dari kehidupan
odapus. (orang yang hidup dengan lupus).
B.
Ulasan
tentang pengarang
Damien
Dematra adalah seorang novelis, penulis skenario, sutradara, produser, dan
pelukis. Sebagai penghargaan atas perjuangan para penderita lupus
yang dikenalnya, Damien Dematra menulis novel yang diberi judul Tuhan Jangan
Pisahkan Kami. Ia mempersembahkan novel ini kepada Tiara Savitri, Ketua
Yayasan Lupus Indonesia, dan semua odapus (orang yang hidup dengan lupus) di
Indonesia. Harapan mulia Damien karyanya ini bisa mengangkat kesadaran
masyarakat tentang penyakit lupus sekaligus memberikan semangat pada
penderitanya untuk meyakini bahwa lupus bukanlah akhir dari kehidupan. Menurut
pengakuannya, ia tersentuh dan terinspirasi oleh cinta seorang teman kepada
istrinya yang meninggal setelah berjuang melawan lupus. Dalam proses kreatifnya,
setelah riset selama satu bulan, novel ini bisa diselesaikan dalam waktu empat
hari pada akhir tahun 2009, sekaligus dengan skenario filmnya.
C.
Hubungan
antara novel Tuhan Jangan Pisahkan Kami dengan dunia nyata
Novel
Tuhan Jangan Pisahkan Kami sangat lekat sekali dengan kehidupan nyata. Pada
bagian awal cerita dikisahkan bahwa Tokoh Zahir hidup di kota metropolitan yang
bersifat individualis antara satu dengan yang lainnya. Layaknya seperti di
kehidupan nyata bahwa kehidupan di perkotaan bersifat individualis dan di
kawasan-kawasan elit yang bangunannya dibuat saling terpisah satu dengan yang
lainnya sehingga tidak tercipta keakraban dengan tetangga sekitar. Hal tersebut
terdapat dalam kutipan :
“Rumah indah itu terletak di kawasan elit yang
bangunan-bangunannya terpisah jauh dan tidak memiliki sedikit pun tanda-tanda
keakraban. Sesuatu yang wajar di Kota Jakarta yang serrba Individualistis.”
(Dematra, 2010 : 1)
Dengan
kehidupan tersebut anak-anak kadang tumbuh dalam sebuah keluarga yang serba
individualis dan orang tua yang sibuk sehingga sangat rentan konflik dalam
keluarga. Konflik keluarga yang timbul biasanya menyebabkan orang tua
bertengkar tanpa mempedulikan psikologis anak-anaknya. Hal tersebut tampak
dalam kutipan :
“Bunyi benda pecah dari arah bawah itu
terdengar sangat kencang. Zahir Amar, yang sedang berada dalam kamarnya,
menghela napas kesal. Ia berusaha menyembunyikan wajahnya dalam bantal yang
empuk. Ia baru pulang pukul tiga pagi dan sekarang… ia melirik jam wekwr di
sebelah tempat tidur. Pukul delapan pagi. Mereka yang bertengkar sepertinya
tidak mengenal istirahat dan waktu. Kapan pun hati merasa ingin diluapkan,
amarah dimuntahkan, kapan pun hasrat ingin dipuaskan, amarah disemburkan. Tidak
peduli tempat, tidak peduli ada yang merasa keberatan.” (Dematra, 2010: 1)
Kebahagiaan
dalam hidup tak bisa diukur dengan melihat tampilan luarnya saja, kehidupan
mewah dan keluarga yang masih lengkap kadang-kadang tidak menjadi jaminan
sebuah keluarga itu bahagia. Hal ini juga tampak dalam kutipan :
“Keluarga gue masih lengkap….tapi gue nggak
ngerasa punya keluarga…” Jawab Zahir. “Papa Mama gue demen banget berantem.
Tiap hari, pasti…. Ribut aja. Pecahin inilah, pecahin itulah…”(Dematra, 2010 :
61)
Selanjutnya
realitas yang terjadi di kehidupan nyata adalah pemuda yang tampan dan kaya
raya selalu diganrungi oleh perempuan-perempuan. Hal ini juga seperti tampak dalam kutipan di novel :
“Andaikata ia tidak membawa mobil hitam sport
mengkilap yang sekarang sedang dipakainya, dan tidak memiliki credit card yang
nyaris tanpa batas, ia mungkin tidak akan digandrungi oleh begitu banyak
wanita. Ia yakin akan hal itu.”(Dematra, 2010 : 22)
Dalam
kehidupan nyata seringkali kita putus asa saat masalah bertubi-tubi datang
dalam kehidupan. Termasuk saat divonis menderita penyakit seperti lupus. Biasanya
merasa ingin bunuh diri dan mati saja sehingga bebas dari semua permasalahan. dan hal ini tampak pula dalam kutipan novel :
“Prasasti ingin bunuh diri saja. Ia tidak
lagi merasa menjadi manusia. Semua ini terlalu berat baginya. Ia berada dalam
sebuah pertandingan melawan sesuatu yang tidak dikenalnya. Prasasti berteriak
sekuat yang dapat dilakukannya. Suaranya lemah dan kerongkongannya sakit.
Bahkan untuk menyuarakan sakitnya pun…. Ia sudah tidak sanggup. Dan kondisinya makin
parah.” (Dematra, 2010: 101)
Dalam
kehidupan ini kadang-kadang seseorang tidak menyadari kalau terkena penyakit
tertentu padahal tanda-tanda dalam tubuhnya sudah nampak. Penyakit lupus adalah
salah satu penyakit yang sulit dikenali karena biasanya mirip dengan penyakit
lain. Ciri-ciri odapus diantaranya, ruam di pipi, ngilu di persendian dan
rambut rontok, kulit seperti terbakar. Hal ini tampak juga di kutipan
“Matahari bersinar terik, dan prasasti merasa kulitnya bagai terbakar”
(Dematra, 2010 : 69)
“Kepalanya semakin pusing dan tubuhnya sakit.
Sesuatu dalam tubuhnya berteriak kesakitan, namun Prasasti tidak ingin
mendengarnya. Teriakan itu semakin keras, tubuhnya semakin sakit, dan
metabolismenya semakin tidak seimbang”.(Dematra, 2010 : 71)
Dalam
kehidupan odapus (orang yang menderita lupus) serangan tiba-tiba datang saat
penderita mengalami stress. Hal ini tampak pula dalam kutipan :
“Dia kena serangan. Kamu tahu, mereka yang
terkena lupus ngga boleh stress atau tertekan! Sang suster agak marah. Aku
panggil kamu supaya kamu bisa menghibur dia, bukan bikin dia tambah stress!
(Dematra, 2010: 135)
Odapus
(orang yang menderita lupus) apabila mampu berdamai dengan keadaannya dan
menikmati kehidupan dengan baik dan memanage stressnya dengan baik maka akan
bisa hidup layaknya orang yang sehat. Hal itu juga tergambar di kutipan :
“Sekilas, ia melirik penampilannya di cermin
dan tersenyum. Betapa kuatnya pengaruh hati yang bahagia terhadap fisiknya. Ia
terlihat sehat.” (Dematra, 2010 : 199)
Seseorang
yang pernah mengalami hal-hal sulit dalam hidupnya sebagai odapus sangat paham
dengan kondisi orang yang baru terkena lupus. Odapus yang biasanya remisi
(istilah untuk odapus yang sudah berhenti mengkonsumsi obat) atau odapus yang
sudah mampu berdamai dengan penyakitnya akan memilih menjadi pendamping buat
odapus baru serta bergabung dengan yayasan yang bergerak untuk membantu
penderita lupus lainnya. Hal ini pula yang dilakukan oleh tokoh prasasti dalam
novel. Ini tampak dalam kutipan berikut :
“um….aku….aku ngg mau duduk diem di rumah aja.
Aku mau ngebantuin yayasan, nolongin sesama temen aku yang lupus Pa.”(Dematra,
2010:211)
“Prasasti telah memiliki sebuah jaringan
pertemanan dan mengisi rubrik tentang penyakit lupus secara teratur di
internet. Selain itu, ia juga bergabung dengan yayasan Titania yang memiliki banyak
program untuk sesama odapus, namun kekurangan tenaga. Tidak banyak mereka yang
mengetahui tentang penyakit lupus, apalagi mempedulikannya, dan Prasasti ingin
mengubah paradigma itu.” (Dematra, 2010 : 213)
SINOPSIS NOVEL
TUHAN JANGAN PISAHKAN
KAMI
Prasasti Alanis seorang anak yatim piatu yang bekerja sebagai
penyobek tiket masuk Planetarium dan Bioskop itu menyukai anak kecil serta
berpenampilan sederhana, namun tetap anggun, menawan, dan keras kepala. Sasti
memiliki catatan masa lalu yang bisa dibilang tidak sebahagia orang lain.
Kehidupannya baik-baik saja, tetapi di suatu saat ia dihadapkan pada masa-masa
sulit. Pertemuan Sasti dengan Zahir –laki-laki yang sangat ia cintai- bermula
ketika Zahir menjemput adik laki-lakinya, Kersen di Planetarium tempat bekerja
Sasti. Zahir sendiri adalah laki-laki yang gagah, tampan, tidak suka pada
kemunafikan, tidak mengerti dirinya sendiri, sempurna dimata wanita dan digilai
oleh banyak wanita. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Sasti dan
mencintainya dengan tulus.
Selama ini Sasti merasa sehat dan baik-baik saja, namun
setelah pertemuannya dengan Zahir ia menyadari bahwa ia merasa sangat lelah dan
ia pun pingsan didalam bioskop. Sasti mendapat tawaran untuk menjadi model di
kelas lukis dengan imbalan akan mendapat uang saku tambahan. Disanalah ia
bertemu kembali dengan Zahir. Namun, di hari selanjutnya barulah Sasti dan
Zahir berkenalan.
Suatu hari Sasti tidak bekerja, bahkan keluar kamar. Ia
merasa seluruh persendiannya terasa ngilu dan sangat lelah. Zahir pun
menjenguknya dengan membawa setangkai mawar merah dan dua kotak pizza. Sasti
tau ada sesuatu sedang terjadi dengan dirinya, karena ia melihat rambutnya
banyak yang rontok. Zahir meminta Sasti untuk menjadi model lukisnya –bukan di
kelas lukis-, namun kala itu matahari bersinar dengan teriknya dan dalam tubuh
Sasti seperti ada yang berteriak kesakitan, semakin sakit, Sasti pun pingsan.
Zahir membawanya ke Rumah Sakit. Ketika bertemu dengan Dokter Asmawa, Zahir
ingin apapun tes laboratorium yang dibutuhkan oleh Sasti dilakukan. Sasti
diperbolehkan pulang.
Sasti
beristirahat, namun ia terpekik saat melihat dirinya di cermin. Pipi, leher,
bahu, dan punggungnya terlihat ada ruam merah dan rambutnya rontok seperti sebelumnya.
saat itulah Sasti merasa sesuatu sedang terjadi pada dirinya.
10 hari kemudian Dokter Adam dan Dokter Asmawa membicarakn
penyakit yang diderita oleh Sasti. Saat Sasti tahu bahwa ada perubahan dalam
dirinya, ia merasa segala sesuatunya sudah tak penting lagi dan ia hanya
menunggu kematian. Sasti ingin bunuh diri. Semua terlalu berat baginya. Kedua
Dokter tadi masuk untuk memberi tahu Sasti apa yang sedang ia alami dan
memberinya sebuah harapan baru. Dan disitulah Sasti tahu bahwa dirinya mengidap
Lupus.
Rambut Sasti mulai rontok hari demi hari. Suster Susana
memberinya penutup rambut bermotif bunga. Sangat cantik. Suster Susana tak
ingin Sasti tahu bahwa yang memberikan itu adalah Zahir. Salman menjenguk
Sasti. Salman sangat mencitai Sasti dan akan terus menunggunya. Dua bulan
berada di rumah sakit, Sasti diperbolehkan pulang. Kersen menjenguk Sasti,
membawakannya setangkai mawar merah. Kersen tidak menyukai Salman. Ketika pria
itu datang, Kersen berpamitan. Salman mengajak Sasti untuk makan malam. Namun,
Salman membuat suasana memburuk. Ia membahas tentang kedekatan Sasti dengan
Zahir dan Kersen. Ya, mereka tidak jadi makan malam dan pulang masing-masing.
Saat Sasti tiba di kamar kosnya ada sepucuk surat dari Salman. Setelah membaca
isi surat itu, Sasti kembali pingsan. Dan yang membawanya ke rumah sakit
bukanlah Salman, melainkan Rahman. Rahman menjaga Sasti hingga sadar dari
pingsannya. Sasti melihat kehadiran Salman disisi Rahman dan ia tersenyum penuh
kasih kepada Sasti. Rahman tidak sanggup menceritakan kepada Sasti apa yang
sebenarnya terjadi, namun akhirnya ia memberi tahu Sasti. Salman telah
meninggal 2 hari yang lalu -setelah koma selama 2 hari- saat mereka bertemu
untuk makan malam. Salman menitipkan permohonan ma’af untuk Sasti dan ia marah
karena ia sayang pada Sasti. Dalam saku celananya, ada sebuah kotak cincin. Dan
cincinnya sedang Salman kenakan saat ia mengalami kecelakaan. Sasti tidak
sanggup mendengar semua itu, ia kembali pingsan.
Sasti terkena serangan saat Zahir menjenguknya. Suster Susana
memberikan sebuah kartu nama untuk Zahir dan berharap Zahir dapat melakukan
research untuk hubungannya dirinya dan Sasti. Dari situlah ia tahu bahwa Suster
Susana juga seorang Odapus –orang dengan lupus-. Zahir bercerita kepada
sahabatnya ketika menuntut ilmu di New York, Karjono namanya. Zahir sudah tahu
apa yang akan ia lakukan. Meskipun Karjono tidak habis fikir, namun Zahir tetap
akan meninggalkan dunianya yang selama ini penuh dengan ke-glamour-an dan
hip-hip hura. Namun Pramana Widogdo tidak menyukai kedekatan Zahir dan Sasti.
Ia meminta Zahir untuk membawa Sasti dalam acara pesta klub golf di akhir
minggu.
Saat yang dinanti pun tiba. Akhir minggu. Zahir membawa Sasti
ke rumahnya, namun apa yang terjadi? Sasti melihat ada seorang laki-laki yang
dulu memiliki cerita dengan mendiang ibunya, Karina Maharani. Ya dia adalah
Aditya Arjuna. Pramana ingin tahu siapa orang yang sedang diperhatikan oleh
Aditya. Ia terpekik pada seseorang yang berdiri disisi Zahir. Sasti semakin
mempererat pegangan tangannya pada Zahir. Sasti sadar Pramana sedang melihat
kalung yang ia kenakan. Kalung itu adalah peninggalan ibunya. Kalung yang
berliontinkan cincin itu akan membawa Sasti untuk bertemu siapa ayah kandungnya
yang telah meninggalkan dirinya dan mendiang ibunya saat itu. Pramana
mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa Karina Maharani adalah istrinya
yang dulu hilang. Mendengar semua itu Sasti pingsan.
Sasti dibawa ke Rumah Sakit dan ia pingsan sangat lama.
Dokter Asmawa datang menghampiri Pramana dan menanyakan apa hubungan antara
dirinya dengan Zahir. Pramana pun melakukan tes DNA, begitu juga Zahir dan
Sasti. Hal itu ia lakukan untuk membuktikan kebenarannya. Dalam keterpurukan,
Titania mendampingi Sasti dan memberikan semangat hidup untuknya. Dari peristiwa
malam itu di pesta, terungkaplah cerita masa lalu antara 3 orang sahabat kecil
antara Karina Maharani, Pramana Widogdo, dan Aditya Arjuna. Pramana dan Karina
saling mencintai, namun Aditya juga mencintai Karina. Pramana berubah. Ia mabuk
dan selalu memukuli istrinya -Karina- dan ia menyadari bahwa dirinya sangat
mencintai Karina saat ia telah pergi meninggalkannya. Saat Karina jatuh, Aditya
datang mengisi hidupnya. Dan menjermuskannya dalam lubang hitam obat-obatan.
Hingga ajal datang padanya. Sekarang buah cinta dari Aditya Arjuna dan Aryanti
Amanda –yang sekarang menjadi istri Pramana-, yaitu Zahir telah menjalin kasih
dengan Sasti –buah cinta dari pernikahan Pramana dan Karina-. Aditya menganggap
hal itu adalah sebuah kado untuk Karina.
Sasti banyak belajar dari apa yang telah dialaminya selama
ini. Ia mengidap lupus dan Salman meninggalkannya untuk selamanya. “Aku tidak
ingin menghabiskan hidupku dalam kebencian sia-sia.” Dan Sasti tidak akan
berdiam diri karena penyakit yang dideritanya. Sasti ingin membantu yayasan
penderita odapus lainnya. Saat Sasti jatuh bangun, Suster Susana dan Titania
lah yang setia menemaninya, mendengarkan segala keluh kesahnya,dan
memberikannya semangat untuk menjalani hidup. Dan kini ia melakukan apa yang
dulu dilakukan oleh Suster Susana dan Titania terhadapnya. Sasti juga ingin
ikut tes UMPTN untuk dapat melanjutkan kuliahnya dan meraih cita-citanya
menjadi seorang penulis.
Sasti sangat aktif. Ia memulai kegiatannya di kelas Inggris
dan belajar sendiri. Ia cepat berkembang. Ia juga menulis cerpen untuk
menguatkan sesama penderita lupus, membuat celengan di internet untuk siapa
saja yang bersedia membantu, dan mengelola website profesional. Sasti merasa
tubuhnya mengirimkan signal yang sulit dipahami dan juga demam. Sasti terkena
serangan –lagi-. Untuk kesekian kalinya Sasti dibawa ke rumah sakit, namun kali
ini Dokter Asmawa –dokter yang selama ini menangani Sasti- mengatakan bahwa ada
Lesion dalam otak Sasti. Kemungkinan adalah karena tumor ganas atau peradangan.
Pramana gontai dan dalam do’anya ia berucap, “Tuhan.. Jangan Pisahkan
Kami.” Berbagai macam tes dilakukan terhadap Sasti. Jika tumor ganas harus
di chemoteraphy, tetapi jika tidak ganas dilakukan operasi untuk
mengangkat bagian tersebut. Lesion tersebut terletak dekat organ vital dan
operasi dapat menyebabkan kelumpuhan, koma, atau meninggal dunia. Pramana,
Zahir, dan Kersen sangat takut kehilangan orang yang sangat mereka cintai.
Dalam do’anya, Kersen bergumam, “Tuhan.. Jangan Pisahkan Kami.” Mereka
menunggu selama 10 jam. Akhirnya Dokter Bertran –sang ahli bedah- memberitahu
bahwa operasi yang dilakukan terhadap Sasti berhasil dan harus menunggu selama
3×24 jam untuk melihat hasilnya.
Pramana, Zahir, dan Keren telah menyiapkan hadiah untuk
Sasti. Mereka tidak memberitahukannya pada Sasti karena ingin Sasti melihatnya
sendiri. Tiba di halaman panggung yang besar, Sasti melihat teman sesama
penderita lupus dan ada musisi “DEBU” –musisi yang sangat disukai Sasti-.
Disanalah Zahir melamar Sasti untuk menjadi pendamping seumur hidupnya.
“Aku
tidak tahu, sampai berapa lama aku akan hidup, tapi aku tahu pasti, berapa lama
pun waktu yang dianugerahkan padaku, aku ingin menghabiskannya denganmu, Zahir.
Dan aku akan terus berjuang untuk teman-temanku. Untuk membagi arti dalam
hidup, bagaimanapun keadaanku dan keadaan mereka.”
“Tidak
harus melibatkan kepalan tangan, jika kau menyadari begitu singkatnya hidup
ini.”
Untuk
mengingat mereka yang telah pergi, “Untuk kita semua. Untuk kehidupan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar