Minggu, 28 Desember 2014

BAHASA DAN AGAMA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang efektif antar manusia. Dalam berbagai macam situasi bahasa dapat dimanfaatkan. Kemampuan berbahasa merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana keadaan manusia bila tidak ada bahasa yang berperan sebagai alat komunikasi. Kebudayaan dan peradaban tentunya tidak akan dapat berkembang dengan baik bila tidak ada bahasa.
Bahasa memegang peranan yang sangat vital dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Dapat dibayangkan bagaimana nasib manusia jika tidak memiliki bahasa sebagai media komunikasi dalam segala aspek kehidupannya. Manusia dikatakan sebagai makhluk yang berpikir dan berbudaya karena memiliki bahasa. Dengan bahasalah manusia dapat berpikir dan menyatakan sesuatu kepada orang lain. Selanjutnya karena manusia berpikir dan berbudaya, maka manusia berbeda dengan binatang. Binatang tidak dapat berpikir dan berbudaya sebagaimana manusia karena tidak mempunyai bahasa.
Salah satu aspek kehidupan manusia yang juga sangat penting selain bahasa adalah agama. Bahasa dan agama adalah dua hal dalam kehidupan manusia yang saling berkaitan erat. Bahasa bukan saja menjadi alat ekspresi dan diseminasi doktrin keagamaan, melainkan juga menjadi salah satu simbol identitas keagamaan. Dakwah merupakan suatu proses penyampaian pesan atau informasi keagamaan kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai sarana penyampaiannya. Banyak  pesan dakwah yang tidak sampai kepada khalayak karena kegagalan penggunaan bahasa di dalam menyampaikannya. Bahasa yang digunakan tidak komunikatif sehingga pesan yang ingin disampaikan tidak dapat dipahami dengan baik oleh khalayaknya. Karena kegagalan penggunaan bahasa, dakwah yang disajikan terasa kering, gersang, dan hambar. Begitu pentingnya bahasa dalam pengembangan agama dalam hal ini dakwah, maka bahasa yang digunakan sebagai sarana pengantarnya perlu diperhatikan dengan baik.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu
1.      Apa yang dimaksud dengan bahasa ?
2.      Apa yang dimaksud dengan agama ?
3.      Bagaimana hubungan antara bahasa dan agama ?
4.      Bagaimana peranan bahasa dalam pengembangan dakwah ?
C.    Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu
1.      Untuk  mengetahui tentang bahasa
2.      Untuk mengetahui tentang agama
3.      Untuk mendeskripsikan hubungan antara bahasa dan agama
4.      Untuk mendeskripsikan peranan bahasa dalam pengembangan dakwah

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Bahasa
Bahasa meupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya. Dengan menguasai bahasa, maka manusia dapat mengetahui dunia dan memperoleh pengetahuan yang belum pernah terpikir dan terbayangkan sebelumnya. Bahasa sebagai alat komunikasi dapat dilakukan secara lisan dan tulis.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiter, yan dipergunakan oleh sekelompok masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Menurut sumber dari Wilkipedia, bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adapt istiadat, tingkah laku, tata karma masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Fodor (1974) mengatakan bahwa bahasa adalah sistem simbol dan tanda. Yang dimaksud dengan sistem simbol adalah hubungan simbol dengan makna yang bersifat konvensional. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem tanda adalah bahwa hubungan tanda dan makna bukan konvensional tetapi ditentukan oleh sifat atau ciri tertentu yang dimiliki benda atau situasi yang dimaksud.
Dari defenisi di atsa maka dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah alat untuk berkomunikasi melalui lisan (bahsa primer) dan tulisan (bahasa sekunder). Berkomunikasi melalui lisan (dihasilkan oleh alat ucap manusia), yaitu dalam bentuk symbol bunyi, dimana setiap simbol bunyi memiliki cirri khas tersendiri. Suatu simbol bisa terdengar sama di telinga kita tapi memiliki makna yang sangat jauh berbeda. Misalnya kata ’sarang’ dalam bahasa Korea artinya cinta, sedangkan dalam bahasa Indonesia artinya kandang atau tempat. Tulisan adalah susunan dari simbol (huruf) yang dirangkai menjadi kata bermakna dan dituliskan. Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah setajam pisau / silet oleh karena itu sebaiknya dalam berkata-kata sebaiknya tidak sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan bicara / target komunikasi.
B.     Agama
Menurut Wikipedia, agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan / atau menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.
Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir perilaku, kependetaan, definisi tentang apa yang merupakan kepatuhan atau keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktek agama juga dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa atau dewi, pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan, layanan pernikahan, meditasi, doa, musik, seni, tari, masyarakat layanan atau aspek lain dari budaya manusia. Agama juga mungkin mengandung mitologi.
 Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman, sistem kepercayaan atau kadang-kadang mengatur tugas.  Namun, dalam kata-kata Émile Durkheim, agama berbeda dari keyakinan pribadi dalam bahwa itu adalah "sesuatu yang nyata sosial" Émile Durkheim juga mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya. Sebuah jajak pendapat global 2012 melaporkan bahwa 59% dari populasi dunia adalah beragama, dan 36% tidak beragama, termasuk 13% yang ateis, dengan penurunan 9 persen pada keyakinan agama dari tahun 2005.[5] Rata-rata, wanita lebih religius daripada laki-laki [6]. Beberapa orang mengikuti beberapa agama atau beberapa prinsip-prinsip agama pada saat yang sama, terlepas dari apakah atau tidak prinsip-prinsip agama mereka mengikuti tradisional yang memungkinkan untuk terjadi unsur sinkretisme

C.    Hubungan antara Bahasa dan Agama
Ada banyak  indikasi betapa bahasa dan agama memiliki kesalinghubungan yang unik dan menarik. Bahasa bukan saja menjadi alat ekspresi dan diseminasi doktrin keagamaan, melainkan juga menjadi salah satu simbol identitas keagamaan/paham teologis. Hal ini tampak dalam kasus Urdu yang menjelma menjadi identitas Islam di Pakistan dan beberapa negara sekawasan serta Melayu yang menjadi simbol identitas Islam di Asia Tenggara. Demikian pula halnya dengan Urdu dan Arab yang memisahkan pengikut Ahli Sunnah dengan Deobandi di Mauritania. Dalam lingkup yang lebih luas, pada tataran global, bahasa Arab telah lama dikenal sebagai salah satu identitas Islam. Sebaliknya, agama selain mewadahi ekspresi kebahasaan, ia juga turut memengaruhi dinamika kebahasaan baik dari segi bentuk (fonologi, leksikon, dan sintaksis), konten, maupun fungsi bahasa sehingga kita mengenal istilah bahasa laras keagamaan.    Dalam bahasa Indonesia, bunyi vokal rangkap /sy/ dan /kh/ merupakan bentuk nyata sumbangan fonetis Islam dengan atribut bahasa Arabnya. Selain itu, ada ratusan kosakata dan istilah Islam yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Hal yang sama berlaku pada bahasa-bahasa daerah termasuk Aceh. Dalam konteks ini pulalah kita mengenal bentuk dan gaya khas bahasa khutbah serta ceramah keagamaan. Fenomena ini tentu ditemukan pula pada agama lain dalam hubungannya dengan bahasa-bahasa tertentu.
Di sisi lain,  kesamaan bahasa telah menjadi unsur perekat antar-pemeluk agama yang bebeda-beda. Di India, meskipun kerapkali berkonflik, bahasa Hindi telah menjadi salah satu jembatan penghubung para pemeluk Islam dan Hindu. Lebih dekat lagi, di daerah Tapanuli, meskipun berbeda keyakinan, umat muslim di Selatan dan umat kristiani di Utara tetap hidup rukun dan damai. Selain faktor etnisitas dan budaya, kesamaan bahasa (Batak) memainkan peran penting dalam melanggengkan ikatan sosial emosional kedua subetnis berbeda keyakinan. Tidak salah apabila muncul pandangan yang menyatakan bahwa bahasa merupakan salah satu intrumen kohesi sosial serta katalisator harmoni dan damai saat isu-isu agama yang dikenal begitu sensitif rentan menimbulkan berbagai konflik dan gejolak sosial. Sebaliknya, keragaman bahasa dan etnis dapat pula dipersatukan oleh kesamaan agama. Baik Islam dan Kristen, maupun agama-agama besar lain memiliki pemeluk yang berasal dari berbagai latar belakang bahasa dan bangsa.
Yang lebih menarik adalah ketika agama menyematkan status tertentu pada sebuah bahasa dengan melabelinya sebagai bahasa resmi, istimewa, bahkan sakral dan transenden. Fenomena ini tampak pada Sankskerta bagi Hindu, Hebrew bagi Judaisme, Latin bagi Kristen, dan Arab bagi Islam. Mengingat-sebagaimana di singgung di atas, isu-isu keagamaan bersifat sensitif, maka wacana religiusitas atau status bahasa dalam perspektif keagamaan biasanya tidak saja melibatkan logika dan rasionalitas, melainkan juga menggugah tensi emosi, spiritualitas, kepentingan, dan berbagai isu lain sehingga melahirkan beragam isu, perspektif, sikap, dan perilaku berbahasa. Dalam konteks inilah kita bisa mencoba memahami mengapa dalam masyarakat muslim tradisional bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa kafir (Aceh: basa kafe) dan Arab sebagai bahasa Islam meskipun kemudian orang-orang muslim yang belajar bahasa Ingggris justrus lebih banyak daripada yang belajar bahasa Arab.
Dalam realitas sosial, wacana religiusitas bahasa telah membangun pandangan sosial yang menempatkan variabel sikap/perilaku berbahasa sebagai salah satu indikator keberagamaan. Pada tingkat yang lebih ekstrem, bahasa bahkan dianggap identik dengan agama. Itulah sebabnya mengapa dalam masyarakat kita banyak orang memiliki kecenderungan menggunakan istilah-istilah bergenre Arab atau bergaya arabi dalam berkomunikasi baik formal maupun informal. Singkat kata, satu hal yang mesti diingat: Orang boleh saja multilingual (berbahasa lebih dari satu), tetapi tak seorang pun boleh mengklaim dirinya sebagai orang yang multireligius (beragama lebih dari satu).
D.    Peranan Bahasa dalam Pengembangan Dakwah
Sebelum menguraikan tentang peranan bahasa dalam pengembangan dakwah, terlebih dahulu akan dikemukakan tentang pengertian dakwah. Pada bagian pendahuluan dikatakan bahwa dakwah merupakan suatu proses penyampaian pesan atau informasi kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai sarana penyampaiannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dakwah diartikan sebagai penyiaran atau propaganda; penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama (1997: 205). Selanjutnya, menurut definisi Alquranul Karim, dakwah adalah undangan menuju kepada semua yang baik dan harus dilaksanakan dengan rendah hati, bijaksana, dan penuh santun (Abidin Ass, 1996: 8).
Dalam makalah ini, dakwah dimaksudkan sebagai kegiatan penyampaian pesan-pesan atau seruan agama kepada pemeluknya, baik secara lisan maupun secara tertulis, agar pemeluk agama bersangkutan dapat mengambil hikmah dan menaati aturan agamanya.
Upaya penyebarluasan seruan agama kepada pemeluknya tidak dapat lepas dari bahasa sebagai medium utamanya. Beberapa peristiwa sejarah penyebaran agama telah membuktikan besarnya peranan bahasa dalam kegiatan dakwah.
Penyebaran agama Kristen misalnya. Pada tahun 1622 Paus Gregorius XV  membentuk sebuah komisi yang disebut Komisi Kardinal yang bertujuan menumbuhkan keimanan Kristiani di beberapa negara. Secara khusus misionaris itu ditugasi untuk menyebarkan doktrin Kristiani tersebut supaya bisa menarik beberapa ribu pemeluk baru (Nimmo, 1993: 124). Kegiatan ini tentu saja memanfaatkan bahasa untuk menjamin keberhasilan misinya. Para misionaris dalam kegiatan ini memaksimalkan peranan bahasa dalam fungsinya sebagai alat propaganda. Bahasa sebagai alat propaganda dapat digunakan untuk mempengaruhi seseorang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu.
Begitu pula dalam penyebaran agama lain, seperti agama Islam pada zaman Nabi Muhammad Saw. Pada mulanya agama Islam hanya disebarkan di kalangan keluarga dan kerabat Nabi Muhammad, kemudian secara berangsur-angsur menyebar ke seluruh pelosok tanah Arab, dan bahkan ke luar wilayah Arab. Penyebaran itu berkat adanya bahasa yang berfungsi sebagai sarana penyampai pesan atau informasi.
Peranan bahasa sebagai sarana pengembangan dakwah juga dapat diamati dalam sejarah penyebaran agama di Indonesia, terutama dalam penyebaran agama Islam. Agama Islam masuk di Indonesia diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Parsi dan Gujarat. Mereka memperkenalkan agama Islam  di daerah-daerah pantai yang menjadi pusat-pusat perdagangan pada waktu itu. Dalam perkembangannya, agama Islam telah menyebar hampir ke seluruh pelosok nusantara. Di mana-mana berdiri kerajaan-kerajaan Islam. Akibatnya dapat dilihat sekarang, Indonesia berpenduduk mayoritas muslim. Penyebaran Islam yang begitu cepat dan menjangkau wilayah yang sangat luas itu, tentu saja karena peranan bahasa.
Di Indonesia khususnya, peranan bahasa dalam pengembangan dakwah terlihat semakin meningkat. Hal itu dibuktikan oleh semakin banyaknya tayangan acara televisi tentang penyiaran agama, misalnya mimbar agama Islam, mimbar agama Kristen, mimbar agama Hindu, dan Mimbar agama Budha. Bukti lain yaitu, semakin banyaknya penerbitan buku keagamaan yang diterbitkan setiap tahunnya. Kedua hal ini semakin menunjukkan betapa besarnya peranan bahasa dalam kegiatan dakwah. Dengan bahasalah dakwah disampaikan secara lisan dan secara tertulis, seperti disebutkan di atas. Memang, tanpa bahasa tak ada yang terpikirkan dan tak ada yang terkatakan.
Selanjutnya, penggunaan bahasa pulalah yang sangat berperan dalam menentukan keberhasilan dakwah. Sebagai gambaran, dapat dilihat dan diamati bagaimana para da’i kondang, seperti Zainuddin MZ, Abdullah Gymnastiar, Arifin Ilham, dan Jefri Albukhari dalam meyampaikan pesan-pesan kebenaran dalam agama Islam. Bagaimana para pendeta Kristiani, Hindu, dan Budha dalam berupaya memberikan pemahaman tentang agamanya kepada khalayak. Mereka semua tentu saja berupaya mengemasnya dengan bahasa yang menarik dan dengan gaya masing-masing.   
Para remaja lebih tertarik kepada gaya penyampaian dakwah Ustad Jefri, kalangan orang tua lebih senang kepada gaya penyampaian dakwah Arifin Ilham, semua tingkatan usia menyenangi gaya penyampaian dakwah Aa Gym (Abullah Gymnastiar), dan lain-lain. Perbedaan itu lebih dikarenakan oleh teknik pemanfaatan bahasa yang bermacam-macam. Keberhasilan mereka dalam menarik perhatian khalayak tentu saja tidak dapat dipungkiri. Semua itu karena kelihaian mereka dalam “memainkan” bahasa.
Sebagai kegiatan yang menggunakan bahasa sebagai media utamanya, dakwah dapat dijadikan sebagai sarana pembinaan dan pengembangan bahasa. Hal itu dimungkinkan karena dalam kegiatan dakwah terjadi interaksi antara seseorang dengan orang lain. Untuk membina dan mengembangkan suatu bahasa, maka peggunaan bahasa dengan baik dan benar dalam interaksi tersebut secara tidak langsung akan menjadi model atau pajanan berbahasa bagi orang lain yang mendengarkan penggunaan bahasa tersebut.






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Bahasa sebagai alat komunikasi merupakan media yang tidak dapat dilepaskan dari agama. Bahasa mempunyai peranan yang sangat besar dalam sejarah perkembangan agama dan untuk menyebarluaskan agama melalui dakwah.
Sebagai kegiatan yang menggunakan bahasa sebagai media utamanya, dakwah dapat dijadikan sarana pembinaan dan pengembangan bahasa.
B.     Saran
Gunakan bahasa yang baik sebagai media untuk membawa pesan agama dalam kehidupan bermasyarakat. Penggunaan bahasa dengan baik dan benar oleh orang yang menyampaikan dakwah akan menjadi model berbahasa bagi pendengarnya/khalayak.







DAFTAR PUSTAKA
Abidin Ass, Djamalul. Komunikasi dan Bahasa Dakwah. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Halim, Amran (Ed). Politik Bahasa Nasional (Jilid 1 dan 2). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976.

Keraf, Gorys. Komposisi. Ende: Nusa Indah, 1980.

Nimmo, Dan. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Basar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar